Menuju konten utama

Kisah Muslim & Yahudi Sosialis Berbareng Bergerak Gulingkan Shah

Komunitas Yahudi adalah salah satu pendukung Revolusi Iran yang militan. Namun, mereka tetap mengalami persekusi pascarevolusi.

Kisah Muslim & Yahudi Sosialis Berbareng Bergerak Gulingkan Shah
Mengenakan pakaian tradisional, wanita Muslim Syiah membawa poster Ayatullah Ruhollah Khomeini saat mereka berbaris menuju Lapangan Shayad Teheran Jumat, 20 Januari 1979 untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap permintaan Khomeini untuk pembentukan sebuah republik Islam. Foto AP / Robert Dear

tirto.id - Revolusi Iran yang berlangsung sekira empat dekade silam telah mengubah geopolitik Timur Tengah. Monarki sekuler yang pro-Barat runtuh berganti dengan negara Islam di bawah pemerintahan Ayatullah Ruhullah Khomeini.

Protes besar menentang rezim Shah Reza Pahlevi selama 1978-1979 melibatkan banyak orang dari berbagai macam latar belakang kelas sosial, politik, etnis, dan agama. Meski begitu, agaknya tak banyak yang tahu—atau tak mau mengakui—bahwa minoritas Yahudi juga aktif terlibat dalam Revolusi Islam Iran.

Komunitas Yahudi telah mendiami tanah Persia sejak periode Pembuangan ke Babylonia 2.700 tahun silam. Peran komunitas Yahudi dalam Revolusi Islam Iran dapat dibaca dalam studi sejarawan spesialis Iran modern Lior Sternfeld yang berjudul “The Revolution's Forgotten Sons and Daughters: The Jewish Community in Tehran during the 1979 Revolution” yang terbit di jurnal Iranian Studies (2014).

Sternfeld menyebut, sebuah rumah sakit amal milik komunitas Yahudi bernama Sapir di Teheran begitu vital perannya selama bulan-bulan protes. Pernah suatu hari, aparat keamanan dan SAVAK—dinas polisi rahasia Shah Iran yang terkenal kejam—mendatangi Rumah Sakit Sapir untuk memburu aktivis. Namun, setelah 24 jam menggeledah rumah sakit, mereka tak berhasil meringkus satu pun demonstran.

“Para demonstran tahu betul rumah sakit Yahudi akan merawat mereka dengan baik dan yang terpenting tidak akan menyerahkan mereka ke SAVAK. Mereka tak seperti rumah sakit pemerintah,” tulis Sternfeld.

Peran Intelektual Yahudi

Saat peristiwa Jumat Hitam 1978—penyerangan oleh pasukan militer Shah Iran yang menewaskan sekira 100 demonstran, salah seorang pejabat senior RS Sapir bernama dokter Jalali berkisah kepada Sternfeld bahwa, “Hampir 90 persen orang yang terluka datang ke sini. Kami merawat semuanya di empat ruang operasi."

Dokter Jalali berhubungan dekat dengan Ayatullah Mahmud Taleqani, ulama progresif yang populer selama revolusi sekaligus perwakilan Ayatullah Khomeini di Teheran. Taleqani mengerahkan tim paramedis untuk bekerjasama dengan pihak RS Sapir mengevakuasi para demonstran.

Selama peringatan Tasu’a dan Asyura pada 10–11 Desember 1978, misalnya, seluruh staf tetap siaga di rumah sakit. RS Sapir juga mengerahkan ambulans untuk menjemput pengunjuk rasa yang terluka.

Dokter Jalali juga meminjamkan gedung miliknya untuk aktivitas rekan-rekan Taleqani. Ketika Taleqani dibebaskan dari penjara Shah Iran, sejumlah pemuka agama Yahudi menjenguknya. Persahabatan mereka terjalin hingga Taleqani wafat pada September 1979.

Selain RS Sapir, ada pula Association of Jewish Iranian Intellectuals (AJII) yang secara politis mendukung protes anti-Shah. AJII adalah organisasi intelektual Yahudi Iran berhaluan kiri yang berdiri pada Maret 1978. Dua pendirinya, Harun Parvis Yesha’ya dan ‘Aziz Daneshrad, adalah aktivis Yahudi Iran yang pernah dipenjara rezim Shah karena mengorganisir pembangkangan anti-monarki.

Beberapa anggota AJII yang pernah dijebloskan ke penjara bertemu para aktivis dan bersama-sama turun ke jalan menyongsong revolusi. Mereka juga berkolaborasi dengan aktivis muslim, terutama dengan Ayatullah Taleqani.

Pada 11 Desember 1978 saat jutaan orang Iran melakukan demonstrasi terbesar melawan rezim Shah, ada 5.000 sampai 12 ribu orang Yahudi ikut serta mendukung revolusi.

“Para pemimpin agama Yahudi berbaris di barisan depan dan orang-orang Yahudi lainnya mengikuti mereka, menunjukkan solidaritas yang besar dengan rekan-rekan Iran kami,” ujar Hushang, salah seorang tokoh senior AJII dan komunitas Yahudi, sebagaimana dikutip Sternfeld dalam artikelnya yang lain.

"Saudaraku umat Yahudi, selamat datang, selamat datang," sambut para aktivis Muslim. “Diberkatilah solidaritas Muslim-Yahudi,” balas para pendemo Yahudi.

Dilema Revolusi

Ketika tiba kembali di Iran dari pengasingan pada 1 Februari 1979, Ayatullah Khomeini disambut rakyat Iran. Kontak antara komunitas Yahudi Iran bahkan terjalin sejak sang imam masih dalam pengasingan.

Pada akhir 1978, delegasi komunitas Yahudi terbang ke tempat pengasingan Khomeini di Paris. Delegasi ini menegaskan dukungannya pada revolusi sekaligus memastikan orang-orang Yahudi tidak akan dianggap sebagai musuh revolusi.

Memang, tak semua orang Yahudi Iran—terutama generasi tua—mendukung revolusi dengan sepenuh hati, sebagaimana juga muslim Iran. Pandangan sosial politik komunitas Yahudi Iran juga tak seragam. Ada yang nasionalis, zionis, anti-zionis, liberal, marxis, hingga yang mendukung para pemimpin Revolusi Islam.

Posisi komunitas Yahudi sebenarnya cukup diuntungkan selama era monarki. Shah membuat kaum minoritas termasuk Yahudi lebih dekat pada nasionalisme Iran. Mereka diakui dan diberi kelonggaran untuk berperan dalam bidang ekonomi dan pemerintahan. Pada era Shah, Iran menjalin hubungan baik dengan Israel.

Salah satu tokoh senior Yahudi yang berada di persimpangan adalah Hakham Yedidia Shofet. Semula, Shofet menilai bahwa komunitas Yahudi sudah hidup enak di era Shah. Ketika revolusi berlangsung, dia turut bersimpati, meski enggan ikut turun ke jalan. Shofet baru ikut demonstrasi setelah dibujuk tokoh komunitas Yahudi lain dengan alasan demi keamanan komunitas.

“Di setiap tempat kita tinggal, kita harus menghormati pendapat mayoritas dan menyetujui serta menghormati kepemimpinan mereka,” ujar Shofet sebagaimana dikutip Sternfeld. Meski demikian, dia tetap menyimpan kekhawatiran atas masa depan komunitasnya pascarevolusi.

Sebagian besar generasi muda Yahudi Iran melibatkan diri dalam revolusi Keterlibatan karena faktor ideologis. Tapi, mereka juga sadar bahwa keterlibatan mereka juga melindungi komunitas. Bagaimana pun, mereka adalah kelompok minoritas yang rentan diskriminasi dan persekusi.

Sebelum peristiwa Jumat Hitam meletus, sejumlah perwakilan Yahudi menemui Ayatullah Agung Muhammad Kazim Shari'atmadari. Mereka meminta agar ulama yang dihormati ini menghentikan hasutan kebencian terhadap orang Yahudi. Pasalnya, orang-orang Iran sering sulit membedakan Yahudi, Zionis, dan Israel.

Ayatullah Shari'atmadari secara diplomatis menyatakan bahwa nyawa orang Yahudi dilindungi kecuali jika mereka agen Israel. Jawaban ini dipandang bersayap dan tak cukup memuaskan perwakilan Yahudi karena tak menghilangkan potensi persekusi.

Kekerasan Pasca-Revolusi

Pada 9 Mei 1979, Ayatullah Khomeini memerintahkan eksekusi mati terhadap Habib Elqanian, seorang filantropis dan tokoh komunitas Yahudi. Elqanian dituduh sebagai “mata-mata Zionis” dan “berteman dengan musuh Allah”.

Elqanian menjadi orang Yahudi pertama yang dihabisi pasca-revolusi. Ketika rezim Shah berkuasa pun, dia sudah jadi sasaran persekusi dan pernah ditangkap pada 1975.

“Kejahatan kakek saya, menurut jaksa, adalah memberikan kontribusi keuangan kepada Israel dan bertemu dengan politisi Israel [...] Tapi, kerja kerasnya membangun hubungan baik dengan pengusaha muslim dan Armenia, merehabilitasi rumah sakit—termasuk rumah sakit tempat para pejuang revolusi dirawat, dan membantu anak-anak sekolah dan orang tua miskin tidak pernah diakui,” tulis Shahrzad Elghanayan, cucu Elqanian, dalam opininya yang terbit di Los Angeles Times.

Kejadian ini memicu kekhawatiran bahwa era baru penganiayaan terhadap Yahudi telah dimulai. Tiga hari setelah eksekusi Elqanian, sejumlah pemuka Yahudi terbang ke Kota Qom menemui Khomeini.

Sebagaimana pernah diutarakan kepada Shari'atmadari, para tetua Yahudi menegaskan bahwa Yudaisme dan Zionisme adalah dua hal yang berbeda. Pertemuan ini sekaligus bertujuan meredakan rumor bahwa semua orang Yahudi adalah agen Zionis yang menyamar.

Tokoh Yahudi Iran lainnya yang juga dieksekusi adalah Edna Sabet. Seturut studi Sternfeld yang tayang di laman Tablet, Sabet adalah aktivis kiri yang terkenal dan pendukung revolusi. Bersama suaminya yang seorang muslim, Sabet bergabung dengan organisasi muslim kiri Mujahidin Rakyat Iran (Mujahidin-i Khalq). Kelompok oposisi yang telah berdiri pada 1965 ini kini masih hidup dan begerak di sekitar Irak.

Setelah revolusi, Sabet ditangkap pasukan Garda Revolusi tanpa proses peradilan. Aktivitasnya di organisasi kiri dianggap berbahaya. Dia disiksa selama penahanan dan dieksekusi pada 12 Februari 1982. Suaminya lebih dahulu mengalami nasib serupa.

Infografik Orang Yahudi dalam Revolusi Iran

Infografik Orang Yahudi dalam Revolusi Iran. tirto.id/Fuad

Menurut Jewish Virtual Library, menjelang Revolusi Islam 1979, Iran memiliki 80.000 penduduk Yahudi. Namun, puluhan ribu orang akhirnya memilih minggat saat pergolakan terjadi. Sebagian yang pergi berasal dari golongan Yahudi kaya.

Setidaknya 13 orang Yahudi telah dieksekusi di Iran pasca-revolusi, mayoritas karena kaitan mereka dengan Israel. Misalnya, pada Mei 1998, pengusaha Yahudi Ruhullah Kakhodah-Zadeh digantung di penjara tanpa proses hukum. Belakangan, dia diduga membantu orang Yahudi untuk berimigrasi. Eksekusi ini merupakan bagian dari periode kekerasan revolusioner yang melanda Iran pasca-1979, seiring meletusnya perang Irak-Iran pada 1980 hingga 1988. Yang juga diburu oleh pemerintahan pasca-revolusi adalah kelompok-kelompok Islam kiri.

Hubungan Iran dan Israel pun memburuk setelah revolusi. Khomeini memutus hubungan diplomatik dan tak mengakui Israel sebagai negara berdaulat.

Belakangan, khususnya setelah Trump menjadi presiden AS, sejumlah negara Arab yang dulunya memusuhi Israel satu per satu memilih berdamai dan membuka hubungan diplomatik demi kepentingan bersama menghalau pengaruh Iran.

Dilansir dari USA Today (7/3/2018), populasi Yahudi Iran saat ini berkisar antara 12 ribu hingga 15 ribu. Jumlah ini membuat mereka menjadi komunitas Yahudi terbesar di Timur Tengah di luar Israel. Laporan yang sama menyebutkan kaum Yahudi tetap aman tinggal di Iran karena mereka menempatkan diri mereka pertama-tama sebagai warga Iran. Identitas Yahudi adalah hal sekunder. Mereka juga memiliki wakil di parlemen.

"Buat saya Israel bukan negara Yahudi karena tidak semua orang di Israel hidup berdasarkan ajarah Taurat. Inilah yang diyakini orang Yahudi Iran," ujar Siamak Moreh Sedgh, seorang Yahudi yang menjadi anggota parlemen Iran kepada USA Today.

Baca juga artikel terkait KOMUNITAS YAHUDI atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Fadrik Aziz Firdausi