Menuju konten utama
1 Februari 1979

Ayatullah Khomeini Kembali ke Iran Setelah 14 Tahun Diasingkan

Ayatullah Khomeini menyulut perlawanan meski dari tanah pengasingan. Menemukan momentumnya setelah kekuasaan Shah Iran bangkrut.

Ayatullah Khomeini Kembali ke Iran Setelah 14 Tahun Diasingkan
Ilustrasi Mozaik Ayatullah Khomeini. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 1 Februari 1979, tepat hari ini 42 tahun silam, Ayatollah Khomeini kembali ke tanah air tercintanya Iran setelah diasingkan sejak 1964. Selama 14, Khomeini hidup berpindah dari Turki, lalu ke Irak, dan terakhir ke Perancis. Meski begitu, dia tetap konsisten menyerukan perlawanan terhadap Shah Iran dan antek Amerikanya.

“Masa pembuangannya di luar negeri itu terutama dijalaninya di Najaf, Irak. Sedangkan pengusirannya dari Irak itu terjadi tatkala memanasnya pertentangan terhadap Shah (Raja) Reza Pahlavi di Iran, dan setelah Khomeini sendiri tanggal 9 September 1978 menyerukan dari Najaf, agar tentara Iran memberontak,” tulis jurnalis perang Ryszard Kapuscinski dalam Shah of Shahs (1994).

Seruan senada diulanginya lagi tiga hari setelah dia tiba di Prancis. Kepada para mahasiswa Iran, Khomeini menegaskan, mereka punya kewajiban membangkitkan semangat perlawanan tentara Iran terhadap kongkalikong Shah Reza dan penasihat-penasihat Amerikanya.

Bagi Khomeini, sejak semula, melawan Shah Reza berarti juga menyingkirkan pengaruh Amerika Serikat dan antek-anteknya.

Menantang Shah Iran

Ayatollah Rohullah Musavi Khomeini lahir di Kota Khomeyn pada 24 September 1902. Sejak kecil hingga dewasa, Rohullah Khomeini menempuh pendidikan Islam. Pada usia 27 tahun, dia mulai mengajar filsafat Islam, hukum, mistisisme, dan etika Islam. Pertama di Kota Isfahan dan kemudian dia pindah ke Kota Qom.

Pada 1925, Reza Shah didaulat menjadi Shah Iran yang baru. Menutup riwayat Dinasti Qajar dan memulai Dinasti Pahlavi. Sejak 1930-an, Reza Shah membawa modernisasi dan industrialisasi ke Iran. Kiblatnya tentu saja Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris.

Pemerintahan Reza Shah yang sekuler dan kebarat-baratan itu lantas menyulut ketidaksukaan para ulama dan Khomeini ada di barisan mereka.

Khomeini adalah salah satu penantang serius Dinasti Pahlavi. Dia mulai aktif berpolitik sejak Muhammad Reza Pahlavi naik takhta menggantikan Reza Shah pada 1941. Pada 1942, Khomeini menerbitkan Kashf al-Asrar (Unveiling the Secrets) yang isinya mengkritik kebijakan-kebijakan Shah Reza.

Pada Januari 1963, Shah Reza memberlakukan Revolusi Putih yang sekuler. Beberapa aspek dari kebijakan ini—di antaranya memperbolehkan nonmuslim memegang jabatan publik—membuat geram ulama-ulama Syiah. Imam Khomeini pun ikut dalam gerakan memprotes pemberlakuan Revolusi Putih.

Pada Juni 1963, di Kota Qom, Khomeini ditahan setelah berpidato mengecam Shah Reza sebagai “manusia celaka yang menyedihkan”. Penangkapan itu lantas memicu gelombang protes yang lebih besar dan melambungkan nama Imam Khomeini berkali-kali lipat. Terlebih lagi, begitu mendengar kasak-kusuk rencana para pejabat untuk mengeksekusi Imam Khomeini, Ayatullah Shariatmadari—ulama Iran paling senior dan dipercaya negara—justru menganugerahinya gelar Marja’ (Ayatullah Agung) agar dia terhindar dari tiang gantungan.

Setahun kemudian, Khomeini diasingkan ke Turki. Tapi, dia hanya sebentar di sana dan kemudian pergi ke Najaf, Irak. Di sanalah Khomeini menetap hingga 14 tahun kemudian.

Baqer Moin dalam Khomeini: Life of the Ayatollah (2000) mendedahkan, pengaruh Khomeini di Iran tumbuh secara dramatis sejak pertengahan 1970-an.

Kebijakan-kebijakan sekuler Shah Reza rupanya makin meresahkan kelompok-kelompok sosial tradisional. Mereka itu di antaranya para saudagar, kelas menengah urban, para ulama, dan orang-orang yang mengabdi pada lembaga-lembaga Islam. Kelompok ini frustasi karena modernisasi ala Shah Reza justru merusak basis ekonomi dan status sosial mereka.

Ketidakpuasan publik atas kepemimpinan Shah Iran dan kedekatannya dengan Barat itu jadi bahan bakar bagi perlawanan politik Imam Khomeini.

Dari tanah pengasingan, Imam Khomeini rajin memberi ceramah tentang pokok-pokok pemerintahan Islam. Dia juga membangun jejering dengan aktivis Ikhwanul Muslimin dan militan Palestina. Pidato-pidato Imam Khomeini itu direproduksi ke kaset-kaset dan kemudian disebarkan secara klandestin ke masjid-masjid sepenjuru Iran.

Agitasi politik Imam Khomeini mulai mendapat sambutan sekira 1977. Kala itu, pemerintahan Shah Reza mulai dirundung krisis akibat jatuhnya harga minyak dan krisis ekonomi.

Protes dan pemogokan segera menjadi pemandangan keseharian di ibu kota Tehran. Puncaknya, pada 8 September 1978 Shah mendeklarasikan darurat militer. Eskalasi protes anti-Shah Iran pun meningkat hingga Shah Reza terpaksa meminta bantuan Pemerintah Irak untuk mendepak Imam Khomeini dari sana.

Pada 6 Oktober 1978, Imam Khomeini pun angkat kaki dari Irak. Sang Imam selanjutnya mukim ke Prancis. Imam Khomeini pun memanfaatkan akses internasional yang kini didapatnya untuk mengabarkan kondisi Iran. Imam Khomeini pun segera dianggap sebagai juru bicara utama revolusi yang tengah mekar di Iran.

Pulang dan Memimpin Revolusi

Sementara itu, kala kelompok-kelompok sekuler tumpul akibat represi Shah Iran, kalangan ulama dan Islamis muda muncul sebagai penggerak protes di Iran. Jaringan kelompok ini cukup luas, meliputi sepuluh ribuan masjid dan lembaga-lembaga keislaman di seantero negeri.

Maryam Panah dalam The Islamic Republic and the World Global Dimensions of the Iranian Revolution (2007) menjelaskan, kelompok Islamis muda itu adalah mediator para ulama senior dengan masyarakat umum. Ada pula kelompok ulama struktural yang memfasilitasi penyebaran informasi melalui jejaring masjid itu.

Kala situasi Iran kian memanas pada awal 1979, Shah Reza beserta keluarganya kabur ke Mesir dan tidak pernah kembali lagi. Vakumnya kekuasaan mendorong Imam Khomeini pulang ke Iran pada 1 Februari 1978. Ribuan warga Iran menyambut dan mengelu-elukan namanya.

Meski begitu, situasi Tehran masih kacau. Intensitas bentrokan antara massa pro-Khomeini dan militer meningkat. Pada 11 Februari, Dewan Militer Agung Iran akhirnya mengumumkan netralitasnya untuk menghindari pertumpahan darah. Sejak itu, massa pro-Khomeini mengambil alih kendali gedung pemerintahan, stasiun radio dan televisi, hingga istana kerajaan.

Infografik Mozaik Revolusi Iran

Infografik Mozaik Revolusi Iran. tirto.id/Rangga

Michael Axworthy dalam Revolutionary Iran: A History of the Islamic Republic (2013) meneroka, ribuan rakyat Iran yang mengalami euforia revolusi berhamburan turun ke jalanan. Kaum perempuan bergerak beramai-ramai menerobos kerumunan massa untuk membagi-bagikan permen dan sharbat—minuman manis khas Iran. Kendaraan-kendaraan membunyikan klakson secara berirama sambil menyorotkan lampunya ke jalan utama kota. Padahal, beberapa hari sebelumnya, jalan itu adalah arena bentrokan berdarah antara para demonstran pro-Khomeini dan tentara.

Monarki Iran yang telah berusia 2.500 tahun akhirnya runtuh dan revolusi benar-benar mekar setelah itu. Iran kemudian malih rupa jadi republik Islam dan Imam Khomeini didaulat sebagai pemimpin tertingginya.

Imam Khomeini lantas mengimplementasikan ide-ide politik revolusionernya. Menurutnya, fungsi pemerintah adalah untuk menegakkan syariat Islam, memerangi penindasan, korupsi, ajaran sesat, dan “kesalahan yang diatur oleh parlemen palsu”. Dia pun berusaha membabat pengaruh Barat—terutama Amerika—dan mengekspor revolusi Islam.

Revolusi Iran memicu gerakan revivalis di tempat-tempat liyan di dunia Islam sepanjang dekade 1980-an. Namun, agresivitas revolusi ala Khomeini harus dibayar mahal dengan pengucilan Iran. Anne M. Todd dan Daniel E. Harmon dalam Ayatollah Ruhollah Khomeini (2005) menyebut, perang yang tidak pasti dengan Irak pecah pada 1982. Perang itu menguras banyak sumber daya manusia dan keuangan serta melemahkan posisi politik Iran.

Pada 1989, Khomeini menyerukan fatwa hukuman mati terhadap sastrawan Salman Rushdie gara-gara novel kontroversial The Satanic Verses.Fatwa itu lantas mamperburuk hubungan antara Iran dan negara-negara Barat.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI IRAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Politik
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Fadrik Aziz Firdausi