tirto.id - Revolusi Iran 1978-1979 awalnya adalah cita-cita bersama kelompok marxis dan ulama islamis yang bertujuan mendirikan pemerintahan yang prorakyat kecil. Sebelum revolusi, Iran berada di bawah rezim kediktatoran monarki Mohammad Reza Shah Pahlavi yang sekuler dan kebarat-baratan (pro-Amerika Serikat dan Inggris).
Kebijakan Pahlavi cenderung membela kepentingan masyarakat urban dan elite. Ia memang sempat menerapkan serangkaian reformasi, tapi prestasinya tergerus oleh inflasi dan problematika ekonomi lain yang membuat kelompok kelas menengah bawah kian terpojok.
Era Pahlavi kemudian digantikan oleh rezim islamis baru di bawah ulama Syiah, Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini. Ia hadir dengan visi mewujudkan keadilan sosial dan membebaskan negara dari belenggu imperialisme Barat (maksudnya pengaruh AS dan antek-anteknya).
Apakah cita-cita tersebut pada akhirnya tercapai? Jawabannya agak kompleks.
Menurut Ali Fathollah-Nejad dalam studi yang terbit di situs think tank Brookings Institution pada 2019 lalu, stabilitas tidak juga tercipta di negara tersebut setelah beberapa dekade revolusi.
Kebanyakan rakyat masih mengalami kerentanan sosio-ekonomi. Dari populasi sekitar 80 juta jiwa, 12 juta di antaranya masih berada di kemiskinan akut, sementara 25-30 juta lain berada di bawah garis kemiskinan. Sepertiga populasi, termasuk di dalamnya 50-70 persen pekerja, berisiko jatuh miskin.
Ketimpangan pendapatan dianggap tidak mengalami perubahan berarti antara 1972 sampai 2002. Dominasi dan intervensi pemerintah dinilai menghambat perkembangan swasta terutama di sektor minyak dan gas (migas). Pemerintah juga dianggap gagal mendorong ketersediaan lapangan kerja meskipun sempat ada boom minyak (rata-rata tingkat pengangguran menembus 10 persen setiap tahun).
Dalam hal politik, relasi luar negeri terutama dengan negara adidaya AS berubah kacau dan tak kunjung membaik. Sampai sekarang, Iran masih dihujani sanksi oleh AS, juga PBB dan Uni Eropa, di antaranya karena dianggap terlibat menyokong terorisme dan pengembangan senjata nuklir.
Hukuman dari AS dan sekutunya, yang menyasar industri minyak, bahkan sempat bikin Iran terjerembap dalam resesi ekonomi beberapa tahun lalu.
Hubungan mesra juga sulit ditemui bahkan dengan sejumlah besar tetangga di kawasan Arab, terutama negara-negara Teluk sesama penghasil minyak. Jangan lupa juga permusuhan dengan Israel yang dipandang sebagai agen imperialisme Barat sekaligus sasaran empuk untuk dihancurkan dengan senjata nuklir.
Karut-marut di atas, terutama pada sektor ekonomi, dapat menjelaskan kenapa belakangan ini muncul protes antipemerintah.
Pertengahan tahun ini dilaporkan sejumlah pensiunan berdemonstrasi di kota Isfahan dan mengatakan Revolusi 1978-1979 adalah “penyebab bangsa jatuh miskin.” Ada pula laporan tentang mogok kerja dan protes guru yang berujung penahanan.
Namun, kembali mengutip pengamatan Ali Fathollah-Nejad dari Brookings, Iran pasca-revolusi sebenarnya juga punya rekam jejak progresif. Sebagai contoh, layanan pendidikan dan kesehatan berekspansi sampai kawasan perdesaan atau pinggiran. Hal ini mampu menekan tingkat kemiskinan dari 25 persen pada 1970-an jadi di bawah 10 persen pada 2014.
Kebijakan yang cenderung berpihak pada kelompok miskin juga bisa menjelaskan kenapa Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Iran meningkat dan poinnya relatif aman. Lalu, semakin luas pula warga yang dapat mengakses infrastruktur dan berbagai layanan dasar. Kaum perempuan juga kian terdidik dan tingkat literasi meningkat.
Awal tahun ini, nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Iran dilaporkan mengalami pertumbuhan sampai 4,3 persen. Meskipun tidak punya banyak sekutu, negara itu toh mampu mempertahankan relasi dagang dengan mitra utama seperti Taiwan dan Republik Rakyat Cina, India, dan Korea Selatan.
Selama pandemi Covid-19 berlangsung, Iran juga berusaha mengembangkan vaksin buatan dalam negeri.
Segelintir poin pencapaian di atas itulah yang mungkin menjadi “nyawa” untuk setiap baris teks dalam lirik Salam Farmande, sebuah lagu baru yang kentara betul dibuat sebagai propaganda pemerintah untuk mendulang kesetiaan rakyat.
Judul lagu itu bisa diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Salute Commander, atau dalam bahasa Indonesia jadi Salam Komandan atau Wahai Pemimpin. Lagu ini pertama kali dinyanyikan pada 21 Maret lalu, tepat sebelum Tahun Baru Iran.
Seruan dalam lagu untuk senantiasa setia pada negara dan rela berkorban jadi terkesan masuk akal. Sebab, terbukti setelah diguncang berbagai drama politik dan ekonomi selama lebih dari empat dekade, Iran masih bertahan sampai sekarang.
Selain untuk kepentingan dalam negeri, Salam Farmande juga tak bisa dipisahkan dari kebijakan politik luar negeri Iran. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai versi luar negeri Salam Farmandeh.
Lantas, bagaimana efektivitas Salam Farmande untuk, setidaknya, memopulerkan rezim Syiah?
Lirik lagu tersebut sangat menekankan Ayatollah Khameini sebagai perwakilan sah Mahdi di muka bumi. Namun rupanya pandangan tersebut tidak diamini oleh setiap komunitas Syiah di luar Iran, catat Ali Alfoneh dalam artikel di situs think tank Arab Gulf States Institute in Washington.
Alfoneh mendapati versi bahasa Arab di Bahrain—berjudul Salām Yā Mahdī, mendulang lebih dari 10 juta pemirsa di Youtube—tidak menyinggung nama Ayatollah Khameini dalam liriknya.
Lagu versi bahasa Swahili di Tanzania juga tidak menyisipkan nama Khameini.
Demikian juga versi bahasa Indonesia yang videonya bisa ditemukan di kanal Youtube AlQurba TV. Liriknya lagi-lagi sebatas berisi pemujaan terhadap Mahdi.
Selain itu lagu ini juga terkesan ditargetkan untuk audiens penutur bahasa Jawa karena judulnya juga ditulis dalam bahasa Jawa (Enggal Rawuh Sinuwun Satrio Piningit). Penyanyi utamanya pun mengenakan kemeja batik dan blangkon, sementara anak-anak di sekitarnya mengibarkan bendera merah-putih.
Menurut Alfoneh, referensi terhadap Ayatollah Khamenei hanya ditemui di versi asli bahasa Farsi dan bahasa Azeri di Azerbaijan.
Singkatnya, di mata komunitas Syiah di berbagai belahan dunia, Khamenei hanya dipandang sebatas pemimpin Iran, bukan “sumber panutan, apalagi khalifah/wakil pemimpin Mahdi.”
Ini menunjukkan bahwa Salam Farmande, sebagai propaganda Iran ke luar negeri, kurang berjalan mulus .
Editor: Rio Apinino