Menuju konten utama
Dua Negara dari Timur Tengah

Iran-Israel Tak Selalu Bermusuhan, Dulu Mereka Pernah Mesra

Hubungan Iran-Israel pernah mesra sebelum Republik Islam Iran berdiri pada 1979. Banyak kerja sama terjalin karena perasaan senasib.

Iran-Israel Tak Selalu Bermusuhan, Dulu Mereka Pernah Mesra
Ilustrasi Bendera Iran dan Bendera Israel. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Baru-baru ini lagu nasyid berjudul Salam Farmande tengah populer di Iran. Di setiap baris liriknya tersurat harapan agar generasi muda tetap setia pada rezim islamis—yang dimulai sejak revolusi empat dekade silam.

Selain itu ia juga bisa dibaca sebagai propaganda untuk “mengekspor” revolusi ke luar negeri. Buktinya, lagu ini tersedia di banyak bahasa, dari mulai Arab, Urdu, Swahili, bahkan Indonesia.

Seperti bisa diduga, upaya menciptakan—atau memperkuat—hegemoni ini ditanggapi dengan gusar oleh Israel, musuh tradisional Iran. Stasiun televisi milik pemerintah, Kan 11, misalnya, blak-blakan menyebut Salam Farmande sebagai ancaman.

Anggapan bahwa lagu dapat mengancam stabilitas negara mungkin terkesan berlebihan. Namun segala hal yang berasosiasi dengan Iran memang dipandang mengerikan oleh elite politik Israel, terutama tiga perdana menteri terakhirnya: Benjamin Netanyahu, Naftali Bennett dan yang baru saja berkuasa, Yair Lapid.

Di berbagai forum internasional, mereka menekankan bahwa Israel berhak membela diri dari Iran, bahkan tak menutup kemungkinan dengan cara kekerasan atau militer.

Pernah Mesra

Perselisihan antara Iran dan Israel dimulai sejak 1979, tepatnya ketika aliansi unik kaum komunis dan ulama Syiah mendirikan republik Islam. Sejak itu Iran hanya punya satu keinginan terhadap Israel: mengenyahkannya dari muka bumi.

Apa yang terjadi sebelum itu adalah kebalikannya. Kedua belah pihak punya hubungan baik yang dilandasi perasaan senasib dan kepentingan strategis. Relasi ini dibangun saat Iran berada di bawah kediktatoran monarki Shah Mohammad Reza Pahlavi, yang berkuasa sejak 1941. Negara Israel didirikan tujuh tahun setelah Shah Pahlavi berkuasa.

Semua negara yang berbatasan langsung dengan Israel—meliputi Mesir, Yordania, Lebanon, Suriah, termasuk Palestina—didominasi penduduk dari etnis budaya Arab dan beragama Islam, yang secara historis sulit akur dengan komunitas Yahudi. Karena itu Israel mempertimbangkan masak-masak siapa saja yang bisa diajak, dan bersedia, jadi sekutunya.

Perdana menteri pertama Israel David Ben-Gurion dan pakar politik Eliahu Sassoon lantas mengembangkan strategi geopolitik bernama “periphery doctrine”. Doktrin ini mengarahkan Israel agar menjalin relasi dengan negara-negara non-Arab yang mayoritas penduduknya muslim—Iran, Turki, Etiopia. Termasuk yang dirangkul adalah minoritas seperti grup etnoreligius Kristen Maronit di Lebanon dan Kurdi.

Strategi ini dipakai karena anggapan bahwa kalangan non-Arab relatif lebih ramah dan terbuka pada negara-negara di Barat, di samping punya perasaan senasib seperti Israel—terisolasi di Timur Tengah—karena latar sosial-budaya yang berbeda.

Berpegang pada doktrin tersebut, Israel berharap bisa menetralisir energi permusuhan dari negara-negara Arab, menemukan solusi dari boikot dagang, sekaligus menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan sekitar seiring pesatnya gerakan nasionalisme Arab atau Pan-Arabisme—yang di dalamnya mengandung sentimen anti-Yahudi.

Iran di bawah kepemimpinan Shah Pahlavi, yang rezimnya kebarat-baratan, tentu saja bisa dimasukkan sebagai mitra ideal meskipun lokasi kedua negara lumayan jauh—dipisahkan oleh Irak dan Yordania sejauh 2.000 km.

Mereka sukses menjalin hubungan erat. Marta Furlan dalam studi berjudul “Israeli-Iranian relations: past friendship, current hostility” (2022) menjabarkan bahwa persahabatan keduanya dapat terwujud karena dipersatukan oleh rasa takut yang sama terhadap ancaman di sekitar sekaligus berbagi banyak kepentingan geopolitik.

Baik Iran dan Israel merasa canggung dan dipojokkan oleh gerakan Pan-Arabisme yang dikampanyekan oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser selama dekade 1950-1960. Mereka juga sama-sama merasa ngeri terhadap Uni Soviet, yang memberikan bantuan ekonomi dan militer terhadap rezim-rezim Arab demi memperluas pengaruh Blok Timur di Timur Tengah.

PM Ben-Gurion pernah menyampaikan di hadapan parlemen, Knesset, pada 1960 bahwa “persahabatan [Israel dan Iran] ada dan stabil karena dilandasi oleh keuntungan yang dinikmati kedua negara dari kerja samanya.”

Salah satu bentuk kerja sama itu di bidang energi. Sebagai produsen minyak yang besar, Iran dapat memperluas jangkauan ekspornya ke Israel, yang bukan penghasil minyak dan diboikot oleh negara-negara Arab. Kerja sama dimulai pada dekade 1950-an dan mencapai puncaknya pada 1968, ketika jaringan pipa Eilat-Ashkelon yang menghubungkan Laut Merah dan Mediterania berhasil dibangun lewat skema government to government (G2G).

Proyek ini membuat Iran bak kejatuhan durian runtuh. Alih-alih sekadar digunakan untuk mempermudah transportasi minyak di teritori Israel, jaringan pipa ini juga bisa memperluas pasar minyak Iran sampai ke Eropa. Pendapatan Tehran dari hasil penjualan minyak pun meningkat pesat.

Dalam Perang Arab-Israel (1948-49), hubungan kedua negara juga tampak nyata. Kala itu Shah Pahlavi mengizinkan negaranya dijadikan jalur aman bagi komunitas Yahudi yang diusir dari Irak.

Akses tersebut kembali dibuka pada 1960-1970 untuk militer Israel yang menyokong masyarakat Kurdi yang memberontak dari pemerintah pusat Irak.

Baik Iran dan Israel sama-sama melihat Irak sebagai ancaman terutama karena program-program nuklirnya. Di mata Shah Pahlavi, segala hal yang dapat melemahkan Irak perlu didukung demi mewujudkan ambisi Iran jadi kekuatan dominan di Teluk Persia.

Masih dipetik dari studi Furlan, hubungan dengan Israel mendorong Shah Pahlavi lebih bersemangat untuk memajukan dan memodernisasi negaranya. Shah Pahlavi lantas mempekerjakan para ahli asal Israel di berbagai sektor: pertahanan, pembangunan, sampai pertanian dan pengelolaan sumber daya air.

Furlan mencatat, sekolah bahasa Yahudi pernah didirikan di Tehran untuk memfasilitasi anak-anak para staf Israel yang ditugaskan di sana. Di samping itu, penerbangan Tel Aviv dan Tehran rutin dibuka.

Infografik Kisah Sebelum Dendan Iran Israel.

Infografik Kisah Sebelum Dendan Iran Israel. tirto.id/Quita

Ada satu faktor lain yang membuat Iran era Shah Pahlavi begitu terbuka menyambut Israel. Dalam buku Israel and Iran: A Dangerous Rivalry (2011) dari think tank RAND Corporation, Shah Pahlavi berharap kedekatannya dengan Israel dapat meningkatkan daya tawar dan citra positif Iran di mata Washington. Hal ini penting karena administrasi Presiden John F. Kennedy ternyata cukup kritis terhadap rezim Pahlavi.

Karena latar belakang itulah, meskipun popularitas Israel sempat turun di mata publik Iran setelah Israel mengalahkan koalisi negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah) dalam Perang Enam Hari pada 1967, Shah Pahlavi tetap percaya diri untuk melanjutkan kerja sama dengan Israel.

Masih dilansir dari laporan Rand, kerja sama yang kuat ini termasuk di bidang intelijen dan militer. Sejak 1958, misalnya, sudah mulai terjalin kerja sama trilateral antara intelijen Israel, Iran, dan Turki (kode namanya Trident atau 'trisula'). Ikatan ini kelak semakin diperkuat antara Iran dan Israel.

Tahun 1977, militer dua negara kembali bekerja sama, kali ini mengerjakan Proyek Bunga, sistem rudal canggih. Risetnya dipimpin oleh Israel, sementara Irak membangun fasilitasnya dan melakukan uji coba. Proyek tersebut merupakan satu dari enam kontrak dengan Israel—total senilai 1,2 miliar dolar—yang dibayar Iran dengan keuntungan dari penjualan minyaknya.

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino