tirto.id - Lagu dan musik acapkali jadi medium yang efektif untuk menyuarakan kepentingan atau cita-cita politik. Dalam konteks itu mungkin tak ada yang melebihi The Internationale.
The Internationale, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Hadjar Dewantara, adalah mars bagi gerakan sosialis seluruh dunia yang dikumandangkan sejak akhir abad ke-19. Lagunya dipakai untuk membangkitkan semangat juang kaum tertindas. Liriknya menyerukan harapan tentang masyarakat egalitarian.
Di Iran, baru-baru ini muncul sebuah lagu yang dibuat dengan tujuan serupa. Lagu yang satu ini dimaksudkan untuk membangkitkan semangat religius-nasionalis para pendengar dan pelantunnya.
Lagu ini dalam bahasa Farsi berjudul Salam Farmande (bisa diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Salute Commander, atau dalam bahasa Indonesia jadi Salam Komandan atau Wahai Pemimpin). Penyanyinya adalah Abouzar Rouhi yang diiringi paduan suara anak-anak.
Video klipnya, keluar April silam, menampilkan Rouhi bernyanyi bersama anak laki-laki dan perempuan dalam dua barisan terpisah. Syuting dilakukan di area dalam masjid, pelataran masjid, sampai ladang terbuka di sekitar perbukitan.
Ketika lagu mencapai bagian refrain (“Salam Farmande!”) semua anak berdiri tegak sempurna sembari memberi hormat dengan antusias layaknya tentara.
Berbeda dari The Internationale yang temponya cepat seperti orang berbaris dan liriknya penuh gairah untuk melawan penindasan, Salam Farmande berjenis himne. Melodinya cenderung mendayu, sementara isinya lebih mirip doa ratapan.
Salam Farmande dibuka dengan ekspresi cinta dan kerinduan terhadap Muhammad al-Mahdi al-Hujjah, imam Syiah ke-12 atau yang terakhir.
Konsep tentang Imam Mahdi—pemimpin terakhir dunia Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad—sangatlah penting bagi kelompok Syiah terbesar, Dua Belas Imam. Kelompok ini, yang berkuasa di Iran setelah Revolusi 1978-1979, memilih untuk berpihak pada 12 imam atau barisan pemimpin dari garis keturunan Ali bin Abi Talib, menantu Nabi.
Imam Mahdi diyakini disembunyikan secara gaib sejak 870-an Masehi. Kehadirannya dinanti-nanti pada akhir zaman sebagai juru selamat yang akan menegakkan keadilan di muka bumi.
“Cintaku, pemimpinku hari ini… Cintaku, dunia tanpamu tak bermakna apa pun…” demikian kira-kira arti sebagian lirik lagunya di awal (diterjemahkan dari versi bahasa Inggris yang mengiringi teks lagu di keterangan videonya).
Yang menarik, teks setelah itu langsung menyinggung lanskap politik hari ini: “Sayyid Ali telah memanggil generasi tahun 1390-an... Salam Farmande...”
Sayyid Ali yang dimaksud tidak lain adalah Sayyid Ali Hosseini Khamenei atau Ayatollah Khameini, pemimpin tertinggi Iran sejak 1989 yang baru-baru ini bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin. Sementara generasi 1390 dalam perhitungan tahun ala Iran adalah mereka yang lahir pada 2010-an alias Generasi Alfa—pembawa lagu sekaligus, tentu saja, sasaran lagu itu sendiri.
Siapa yang dipuja—apakah Al-Mahdi, Khamenei, atau dua-duanya—semakin tidak jelas dalam baris-baris lirik selanjutnya.
“Aku berjanji akan jadi seperti Ali ibn Mahziar[al-Ahvazi]... Aku bersumpah akan jadi Qasem Soleimani bagimu setiap kali engkau membutuhkanku... Aku bersumpah menjadi pelayanmu seperti [Ayatullah] Bahjat dan tentara rahasia di pasukan intelijen. Aku bersumpah untuk setia pada negara Islam ini...”
Nama yang disebut pertama, Al-Ahvazi, merupakan cendekiawan Syiah abad ke-9. Ia dikenal sebagai sahabat sekaligus pengikut setia beberapa figur Dua Belas Imam. Sementara Ayatollah Muhammad Taqi Bahjat adalah tokoh yang hadir satu milenium kemudian. Seperti Al-Ahvazi, Bahjat (1916-2009) juga intelektual Syiah namun memiliki gelar marja, posisi tinggi dalam otoritas keagamaan yang dapat memberikan saran atau keputusan terkait perkara agama bahkan politik.
Sementara Mayor Jenderal Qasem Soleimani adalah perwira tinggi Pasukan Pengawal Revolusi Islam (IRGC). Selama dua dekade terakhir, ia mengomando cabang elite Pasukan Quds yang menjalankan operasi intelijen di luar negeri termasuk menyokong grup-grup militan di Lebanon (Hezbollah), Palestina (Hamas, Palestinian Islamic Jihad) sampai pemberontak Houthi di Yaman.
Pada 2020, Soleimani dibunuh oleh serangan drone militer Amerika Serikat. Rezim Khameini tak hanya menangisi kepergian Soleimani sebagai tragedi nasional, melainkan juga memaknainya sebagai kepedihan dunia Islam. Upacara pemakamannya dihadiri jutaan orang dan dikabarkan menghabiskan anggaran besar.
Khameini sendiri memuji Soleimani sebagai syahid. Lebih spesifiknya, ia dipandang sebagai “model dan pahlawan bagi kaum muda di dunia Islam” sekaligus “simbol harapan, kepercayaan diri, keberanian, dan rahasia ketahanan serta kemenangan” di kawasan mereka.
Salam Farmandeh memang awalnya terkesan seperti lagu religius karena kontennya berangkat dari pemahaman Syiah Dua Belas Imam berikut figur-figur pemikir di belakangnya. Namun, seiring dengan disisipinya referensi tentang Ayatollah Khameini, Mayjen Soleimani, dan seruan untuk setia terhadap Iran pasca-Revolusi, lagu ini jadi sangat berbeda maknanya.
Ia mudah dibaca sebagai propaganda pemerintah untuk mendulang kesetiaan rakyat—termasuk generasi muda bahkan yang masih bayi atau belum lahir (perhatikan saja lirik penutupnya: “Jangan khawatir, tuanku! Pasukanmu dilahirkan pada tahun 1400-an” [tahun 2022 ke atas menurut kalender Gregorian]). Ya, setidaknya demikian pendapat pengguna media sosial Reddit.
Dalam konteks membangun semangat nasionalisme, Salam Farmande tampaknya cukup efektif. Hasilnya dapat disaksikan di video akhir Mei silam. Ketika itu lagu ini dinyanyikan oleh seratus ribu warga, dari anak-anak kecil, kaum ibu, sampai orang-orang tua di Stadion Azadi, Teheran.
Setiap wajah yang disorot kamera terlihat fasih melafalkan lirik sembari memberi hormat, meletakkan telapak tangan di dada, mengibarkan poster Khameini, Soleimani, atau bendera Iran dengan penuh haru nan sukacita.
Di sisi lain, Salam Farmande juga dapat dimaknai sebagai ekspresi Iran dalam mensyukuri—atau setidaknya menyadari—bahwa negaranya mampu bertahan sampai hari ini terlepas dari berbagai dinamika sosio-ekonomi domestik dan relasi luar negeri yang rumit setelah Revolusi meletus pada 1978-79.
Editor: Rio Apinino