tirto.id - Perselisihan antara Iran dan Israel dimulai sejak 1979, tepatnya ketika Shah Mohammad Reza Pahlavi dilengserkan oleh kalangan komunis dan ulama Syiah. Republik Islam Iran hanya punya satu keinginan terhadap Israel: mengenyahkannya dari muka bumi.
Pemerintah Iran menolak mengakui kedaulatan atau eksistensi Israel, yang dilihat sebagai penjajah Palestina sekaligus perpanjangan tangan imperialis Amerika Serikat. Ulama Syiah pendiri republik sekaligus pemimpin tertingginya, Ayatollah Ruhollah Khomeini, menjuluki Israel “Setan Kecil”, sedangkan “Setan Besar”-nya AS.
Menariknya, walaupun pemerintahan baru Iran gencar menyatakan kebencian pada Israel, kedua negara masih memandang satu sama lain sebagai mitra strategis di bidang keamanan, terutama dalam menghadapi agresi Irak dan Saddam Hussein.
Kemitraan ini berjalan seiring dengan berlangsungnya Perang Iran-Irak (1980-1988). Konflik yang dipicu oleh perebutan teritori ini diawali oleh serangan Irak, yang pemerintahannya masih belum stabil dan angkatan bersenjata pun belum kompak di bawah rezim baru.
Israel memutuskan membantu Iran. Di mata Israel, Irak masih jadi ancaman keamanan nasional karena program-program nuklirnya. Israel bahkan melancarkan Operasi Opera sendiri, yang melibatkan delapan unit jet tempur Falcon F-16 dan enam unit Eagle F-15. Tujuannya tidak lain untuk menyerang fasilitas-fasilitas nuklir Irak.
Selain itu, dengan menyokong Iran, Israel juga berharap negara tersebut mau kembali menjalin persekutuan lama yang dibangun oleh rasa kesamaan nasib, kepentingan geopolitik, sampai kerja sama dagang—yang hancur setelah revolusi.
Think tank RAND Corporation dalam buku Israel and Iran: A Dangerous Rivalry (2011) mengatakan bantuan Israel sudah datang pada tahun pertama perang. Ketika itu PM Israel Menachem Begin menyetujui pengiriman roda pesawat tempur dan senjata.
Sebagai balas budi, Ayatollah Khomeini mengizinkan sejumlah besar warga Iran keturunan Yahudi untuk pergi ke Israel atau AS.
Langkah ini sebenarnya melanggar kebijakan Washington, yang melarang pengiriman senjata untuk Iran sebelum warga AS yang disandera oleh militan Iran di Kedutaan AS di Tehran dibebaskan. Dalam hal ini elite politik Israel juga diam-diam melobi Washington—yang terang-terangan berpihak di sisi Irak—dan berhasil.
Sepanjang 1985-1987, AS setuju untuk menjual senjata kepada Iran dengan Israel sebagai perantara. Dalam kesepakatan, AS juga meminta agar warga mereka yang ditawan oleh grup Islam militan sokongan Iran di Lebanon, Hezbollah, dibebaskan.
Yang membuat peristiwa ini semakin kontroversial adalah uang hasil penjualan senjata kelak dipakai Washington untuk membiayai gerakan gerilyawan Contra di Nikaragua, Amerika Latin, yang ketika itu dikuasai oleh pemerintahan marxis.
Perjanjian ini kelak dikenal sebagai skandal Iran-Contra.
Singkat kata, meskipun rezim islamis Iran gencar menyuarakan kebencian kepada Israel dan mulai aktif menyokong grup-grup militan anti-Israel, kedua negara sebenarnya masih sempat menjalin kerja sama keamanan meskipun lingkupnya terbatas dan rahasia.
Gareth Porter dalam studi berjudul “Israel’s Construction of Iran as an Existential Threat” diJournal of Palestine Studies (2015) menjelaskan, sampai 1989, intelijen Israel masih belum menganggap Iran sebagai ancaman berarti.
Ancaman terbesar bagi Israel adalah gerakan perlawanan intifada Palestina, diikuti oleh Suriah, Irak, Libya, dan Mesir. Kepala intelijen Israel Mossad kala itu, Shabtai Shavit, menganggap Iran masih direpotkan dengan Irak. Iran juga dianggap belum punya kemampuan mumpuni untuk memproduksi rudal balistik maupun senjata nuklir yang bisa mengancam dalam waktu dekat.
Situasi baru berubah memasuki dekade 1990-an. Porter menuturkan, narasi tentang ancaman nuklir dan rudal balistik dari Iran serta ambisinya untuk menyebarluaskan paham Islam fundamentalis ke Timur Tengah pertama kali digaungkan oleh administrasi PM Yitzhak Rabin pada 1993. Semenjak itu, setiap perdana menteri Israel selalu menyinggung Iran sebagai ancaman eksistensial mereka.
Menurut Porter, dengan menampilkan Iran sebagai musuh utama atau penjahat, administrasi PM Rabin berharap proses negosiasi damai yang dilakukannya dengan Palestina dapat berjalan lebih lancar dan menuai lebih banyak dukungan dan popularitas dari publik Israel (Perjanjian Oslo dengan Palestine Liberation Organization yang dimediasi AS pada 1993 dan 1995).
Alasan lainnya sudah tentu untuk menciptakan musuh bersama dengan negara-negara Arab, sehingga ancaman yang selama ini Israel rasakan dari mereka perlahan dapat dikurangi.
Perang Bayangan
Hal menarik lain dari relasi Iran-Israel pasca-revolusi adalah, alih-alih berkonfrontasi langsung—yang tentu saja berpotensi disorot komunitas internasional, Iran dan Israel memutuskan untuk berperang “diam-diam”. Perseteruan ini dilakukan baik di teritori musuh maupun di luar negeri. Situasi ini populer dengan istilah perang bayangan.
Perang bayangan terlama antara Iran dan Israel berlangsung di Lebanon sejak 1985. Di sana Iran mulai menyokong Hezbollah, gerakan politik Syiah yang dibentuk pada 1982 untuk memerangi Israel karena pendudukannya di teritori selatan Lebanon.
Konflik bayangan lain berlangsung di Suriah, tepatnya sejak perang sipil meletus pada 2011. Iran hadir di sana untuk menyokong rezim Presiden Bashar al-Assad dalam menumpas grup-grup pemberontak, yang di antaranya didukung oleh AS dan negara-negara Arab Teluk Qatar dan Arab Saudi.
Sementara Israel, yang kerap melakukan serangan udara ke ibu kota Suriah di Damaskus, punya kepentingan sendiri: menghalau Iran agar pengaruh dan ancamannya tak sampai merambah ke Israel (yang sisi utaranya berbatasan dengan Suriah) sekaligus mencegah penyelundupan senjata dari Iran untuk Hezbollah di Lebanon (yang lokasinya diapit Israel dan Suriah).
Kekacauan juga mereka giring sampai ke Irak. Awal tahun ini, misalnya, Iran mengirim rudal balistik ke fasilitas intelijen Israel di Erbil, Irak, sebagai pembalasan dendam atas serangan udara Israel ke pabrik drone Iran.
Sebagaimana plot dalam kisah-kisah spionase menegangkan, konflik turut melibatkan agen rahasia yang misinya spesifik: melumpuhkan aktivitas nuklir musuh. Selama ini, intelijen Israel dianggap sudah biasa menyusup ke teritori Iran untuk melakukannya.
Juli kemarin, misalnya, Iran menangkap jaringan mata-mata yang berafiliasi dengan Mossad. Jaringan dicurigai akan bikin kacau di situs-situs nuklir pemerintah.
Otoritas Iran juga rutin menuding Israel berada di balik kematian misterius para ilmuwan nuklirnya (mencapai lima korban jiwa sepanjang 2010-2020). Juni kemarin, agen Israel kembali dicurigai telah meracuni dua ilmuwan, masing-masing pakar geologi dan teknologi pesawat, sampai mereka meregang nyawa.
Intelijen Israel turut disinyalir membunuhi figur-figur militer penting dari Pasukan Pengawal Revolusi Iran (IRGC). Bulan Mei kemarin, Kolonel Sayad Khodayee tewas ditembak secara misterius di Tehran. Khodayee merupakan salah satu pemimpin pasukan dalam grup elite Quds yang menjalankan misi-misi rahasia di luar negeri, termasuk menculik dan membunuh warga Israel dan warga negara sekutu Israel di Eropa atau AS.
Dua tahun sebelum itu, Israel juga terlibat dalam serangan rudal militer AS yang membunuh perwira tinggi IRGC sekaligus komandan Pasukan Quds, Mayor Jenderal Qasem Soleimani.
Di samping melangsungkan operasi rahasia, pemerintah Iran juga secara terbuka berusaha memelihara sentimen anti-Israel di dalam negeri, misal dengan beragam perayaan. Setiap tahun sejak Revolusi 1979, persisnya menjelang akhir Ramadan, pemerintah menyelenggarakan perayaan Al-Quds (bahasa Arab untuk Yerusalem) sebagai ekspresi dukungan warga Iran untuk rakyat Palestina.
Pada hari Al-Quds, ribuan warga dilaporkan turun ke jalan sembari menyerukan, “Mati Israel! Mati Amerika!”
Editor: Rio Apinino