Menuju konten utama

MK Tolak Gugatan UU HPP, Tarif PPN Bisa Naik hingga 15%

MK tolak uji materi UU HPP khususnya terkait kenaikan tarif PPN. Ini tertuang dalam putusan perkara bernomor 11/PUU-XXIII/2025.

MK Tolak Gugatan UU HPP, Tarif PPN Bisa Naik hingga 15%
Suasana sidang putusan Pengujian Materiil Undang-Undang tentang Pilkada dan Pengujian Materiil Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Rabu (30/7/2025). Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian pada perkara Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sedangkan pada perkara Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. ANTARA FOTO/Fauzan/foc.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) khususnya terkait ketentuan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).

Putusan perkara Nomor 11/PUU-XXIII/2025 itu dibacakan dalam sidang pleno, Kamis (14/8/2025).

"Menolak permohonan para pemohon No.11/PUU-XXIII/2025 baik di dalam provisi maupun pokok permohonan," ujar Ketua MK, Suhartoyo, dilantik dari siaran YouTube MK, dikutip Senin (18/8/2025).

Sebagai informasi, para pemohon uji materi UU HPP tersebut berasal dari berbagai latar belakang, yaitu ibu rumah tangga, mahasiswa, pekerja swasta, pelaku usaha mikro, pengemudi ojek daring, serta organisasi yang bergerak di bidang kesehatan mental.

Mereka mengajukan uji materi terhadap pasal-pasal terkait PPN, antara lain Pasal 4A ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf a, g, j, serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU HPP pada 21 Februari 2025.

Adapun sidang uji materi mulai dilaksanakan sejak 10 Maret 2025 sebelum diputuskan ditolak pekan lalu.

Mengutip laman resmi MK, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam pertimbangan hukumnya menyampaikan bahwa dalil para pemohon dinilai tidak memberikan jaminan kepastian hukum.

Selain itu, dalil bahwa kenaikan PPN tak memberikan memberikan jaminan hidup layak untuk memenuhi barang-barang kebutuhan pokok, mendapatkan jasa pendidikan dan jasa pelayanan kesehatan, medis, jasa angkutan umum di darat dan di air, serta jasa angkutan udara dalam negeri dan jasa angkutan udara luar negeri, juga dinilai tidak berdasar.

Kemudian, terkait dalil para pemohon yang mempersoalkan penentuan kenaikan tarif 12 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b juncto Pasal 4 angka 2 UU 7/2021—yang dinilai menimbulkan ketidakkonsistenan antarperaturan—MK berpendapat sebaliknya. Setelah mencermati secara saksama, MK menilai norma dalam pasal tersebut, yang menetapkan tarif PPN sebesar 11 persen berlaku sejak 1 April 2022 dan 12 persen berlaku paling lambat 1 Januari 2025, merupakan perubahan atas ketentuan sebelumnya. Sebelumnya, tarif PPN sebesar 10 persen telah berlaku sejak terbitnya UU 8/1983 dan belum pernah diubah.

"Perubahan demikian Perubahan demikian perlu dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan negara dari penerimaan pajak yang terus meningkat," tulis MK dalam keterangan resminya.

Dengan ditolaknya uji materi ini, tarif PPN dapat disesuaikan dalam rentang 5-15 persen. Namun, menurut MK, rentang tarif tersebut adalah instrumen kebijakan fiskal yang bersifat fleksibel, sehingga penerapannya harus mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan kebutuhan fiskal negara.

"Sepanjang tetap mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat," lanjut MK.

Selain itu, MK menegaskan bahwa penetapan tarif hanya dapat dilakukan pemerintah setelah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

"Karena itu, pembentukan peraturan pemerintah sebagai pendelegasian undang-undang dilakukan dengan tetap berada dalam pelaksanaan fungsi konstitusional DPR karena masih dapat dinilai memenuhi prinsip no taxation without representation," tulis MK.

Baca juga artikel terkait UU HPP atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana