tirto.id - Monosodium glutamat (MSG) adalah penguat rasa yang sering ditambahkan dalam berbagai makanan. Penggunaannya sendiri sangat umum, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia.
Lalu, sejak memasuki tahun 1960-an muncul pendapat yang menyatakan bahwa MSG berbahaya. Pendapat tersebut dipercaya banyak orang sehingga memicu gerakan mengonsumsi 'makanan bersih' tanpa MSG.
Banyak komunitas dunia yang percaya bahwa tidak mengonsumsi MSG sama dengan mempromosikan gaya hidup sehat dan dapat membuat awet muda. Namun benarkah MSG bisa membuat awet muda jika dihindari?
Apa Itu MSG?
Melansir Healthline, MSG, vetsin, atau micin adalah penambah rasa yang berasal dari asam L-glutamat yang ditemui secara alami di banyak makanan. Asam L-glutamat sendiri adalah asam amino nonesensial yang artinya dapat diproduksi sendiri dan tidak selalu diperoleh dari makanan.
MSG dikenal memiliki rasa khusus yang dikenal sebagai umami. Umami adalah rasa dasar dari lima rasa yang bisa dirasakan manusia, yaitu manis, asam, asin, dan pahit.
Umami sendiri merupakan rasa khas atau penunjuk adanya protein di dalam makanan.
MSG dapat menginduksi sekresi air liur. Artinya, rasa umami dari MSG dapat meningkatkan produksi air liur yang dapat meningkatkan cita rasa makanan.
MSG dapat digunakan sebagai pengganti garam. Berdasarkan penelitian gastronomi, penggunaan MSG dalam makanan dapat mengurangi asupan natrium sekitar 3 persen tanpa mengorbankan rasa.
Sejarah MSG disebut Berbahaya
MSG pertama kali disebut berbahaya pada tahun 1960-an ketika mencuat peristiwa sindrom makanan Cina.
Dikutip dari American Association of Retired Persons (AARP) ini bermula dari sebuah surat yang dikirimkan seorang dokter bernama Robert Ho Man Kwok dimuat ke jurnal medis.
Melalui surat tersebut, sang dokter mengungkapkan bahwa dirinya mengalami sindrom aneh setiap kali makan di restoran Cina.
Ia mengungkapkan bahwa ia mengalami gejala mati rasa di belakang leher, secara bertahap menjalar ke kedua lengan dan punggung, kelemahan umum, dan jantung berdebar.
Artikel tersebut kemudian dimuat oleh media-media lain, termasuk The New York Times dan menciptakan kesan pubik bahwa MSG berbahaya. Namun, siapa sangka jika kesan tersebut bertahan lama bahkan hingga saat ini.
Hingga di tahun 1968, ditemukan bahwa klaim pada surat tersebut palsu. Hal ini ditemukan oleh seorang profesor di Universitas Colgate bernama Jennifer LeMesurier.
LeMesurier mengungkapkan bahwa nama Robert Ho Man Kwok tidak pernah ada. Surat itu ternyata dikirimkan oleh Dr. Howard Steel yang juga merupakan alumnus Colgate dan mantan wali sekolah.
Ia merupakan seorang ahli bedah ortopedi yang diketahui mengalami gejala sindrom tersebut setelah makan berlebihan dan minum terlalu banyak bir. Kondisinya itu memberikan inspirasi bagi Steel untuk menulis suratnya ke jurnal medis.
Tanpa diduga surat tersebut justru membuat pengaruh besar. Beberapa diantara pengusaha restoran Cina bahkan ikut terlibat.
Banyak dari pengusaha yang akhirnya mengklaim "tidak menggunakan MSG" pada makanannya untuk menghindari hal negatif. Uniknya, pelanggan justru lebih menghargai restoran-restoran yang mengaku tidak menggunakan "MSG."
Benarkah Menghindari MSG Membuat Awet Muda?
Salah satu pendapat yang saat ini sedang banyak dibicarakan adalah soal MSG membuat awet muda dan berumur panjang.
Ini berkaitan dengan masalah kesehatan yang sebelumnya dipercaya sebagai efek konsumsi MSG, yaitu:
- sakit kepala;
- nyeri dada;
- kemerahan;
- berkeringat;
- sesak napas;
- mati rasa, kesemutan, atau rasa terbakar di wajah dan leher;
- detak jantung cepat dan tidak beraturan;
- mual dan lemas.
Gejala-gejala ini dikaitkan dengan penurunan kesehatan hingga kematian dini. Namun menurut Mayo Clinic, tidak pernah ada bukti yang jelas tentang hubungan antara MSG dan gejala-gejala ini.
Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) memasukan MSG sebagai bahan makanan yang aman.
Selain itu, ada teori bias yang menyebabkan pandangan soal MSG dapat memicu beragam penyakit seperti hipertensi, diabetes, dan jantung. Hal ini karena kebanyakan makanan cepat saji yang tidak sehat rata-rata mengandung MSG.
Padahal, masih menurut Healthline bukan MSG yang menyebabkan hipertensi atau penyakit jantung setelah mengonsumsi makanan cepat saji, melainkan lemak jenuh dan gula.
Kendati demikian, penggunaan MSG dalam masih diperdebatkan sehingga FDA mewajibkan seluruh makanan yang mengandung MSG mencantumkan keterangan pada label.
Penggunaan MSG juga tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Jumlah aman penggunaan MSG adalah tidak lebih dari 30 miligram (mg) per kilogram (kg) berat tubuh per hari.
Mitos dan Fakta Soal MSG
Selain pendapat soal awet muda, konsumsi MSG juga lekat dengan berbagai mitos lainnya.
Menurut Layanan Informasi Glutamat Internasional, berikut beberapa mitos dan fakta soal MSG yang banyak beredar di masyarakat:
1. Mitos MSG menyebabkan efek pada otak
Faktanya jumlah penelitian menunjukkan bahwa MSG tidak memiliki efek negatif pada sistem saraf pusat otak.
Bahkan sebuah penelitian menemukan bahwa konsumsi tinggi glutamat, tidak membuatnya masuk ke dalam otak.
Otak memiliki fungsi efektif yang mampu mengeluarkan glutamat agar tidak masuk ke dalam otak.
2. Mitos MSG menyebabkan sakit kepala atau migrain
Faktanya MSG tidak memicu sakit kepala. MSG tidak pernah terbukti menjadi penyebab langsung makanan-makanan yang dikaitkan dengan migrain.
Bahkan, pada Januari 2018 International Headache Society menghapus MSG dari daftar faktor penyebab sakit kepala.
3. Mitos MSG menyebabkan obesitas
Mitos MSG menyebabkan obesitas muncul karena bahan dasar MSG berasal dari fermentasi gula atau molases yang dipercaya memicu obesitas serta diabetes.
Faktanya konsumsi MSG dalam jumlah normal atau bahkan dalam jumlah yang sangat tinggi, tidak meningkatkan konsentrasi glutamat dalam darah.
Ini karena sel usus dan sel hati melakukan metabolisme hampir semua glutamat makanan saat diserap. Kedua organ tubuh ini mereka menggunakan glutamat untuk menghasilkan energi.
Melalui studi yang diunggah di British Journal of Nutrition pada 2010 yang melibatkan 1.300 orang Cina selama 5 tahun ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi MSG dan penambahan berat badan.
Editor: Yantina Debora