Menuju konten utama

Meretas Jalan Menuju Generasi Melek Data

Anak-anak kita tumbuh sebagai warga digital sejak dini. Maka, memperkenalkan konsep data menjadi penting. Bagaimana caranya?

Meretas Jalan Menuju Generasi Melek Data
Header Perspektif Arif Perdana. tirto.id/Ecun

tirto.id - Di tengah gempuran teknologi dan arus informasi yang tiada henti, anak-anak kita tumbuh sebagai warga digital sejak usia dini. Mereka menonton video berdasarkan algoritma, mendapat rekomendasi lagu dari sistem cerdas berbasis akal imitasi, dan bahkan keputusan mengenai di mana sekolah mereka bisa dipengaruhi oleh sistem penilaian berbasis data.

Namun ironisnya, meskipun hidup mereka dijejali oleh data, pemahaman mereka tentang apa itu data, bagaimana data bekerja, dan apa dampak sosialnya, masih sangat terbatas. Ilmu data kerap dianggap sebagai ranah para profesional di universitas atau perusahaan teknologi, padahal justru kini saatnya mengenalkan ilmu ini sejak bangku sekolah dasar, bukan dengan menambah beban mereka tetapi dengan cara yang menyenangkan.

Literasi data, atau kemampuan untuk membaca, memahami, menganalisis, dan berargumentasi menggunakan data, bukan lagi sekadar kecakapan tambahan. Ia telah menjadi fondasi penting bagi siapa pun yang ingin berpikir kritis dan membuat keputusan yang bertanggung jawab di era digital.

Namun, mengajarkan ilmu data di kelas bukan berarti menjejalkan rumus statistik atau sintaksis pemrograman ke kepala siswa yang masih belia. Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang menyenangkan, relevan dengan kehidupan mereka, dan bertahap. Dengan cara inilah ilmu data bisa menjadi jembatan, bukan jurang, dalam pendidikan anak-anak kita.

Membumikan Ilmu Data dari Hal yang Mereka Cintai

 anak belajar coding

anak belajar coding. foto/istockphoto

Kunci agar siswa tertarik belajar ilmu data bukan pada seberapa canggih alat yang digunakan, tetapi pada seberapa dekat topik pembelajarannya dengan dunia mereka sendiri. Penelitian David Weintrop dan Rotem Israel-Fishelson menyoroti bahwa ketika anak-anak diberikan kebebasan untuk memilih set data berdasarkan minat mereka, apakah itu musik favorit, video game, atau tim olahraga kesayangan, motivasi belajar mereka meningkat.

Proyek “API Can Code” adalah salah satu contohnya. Dalam program ini, siswa tidak sekadar belajar tentang API dan analisis data, tetapi mereka mempelajari data dari hal-hal yang benar-benar mereka sukai. Seorang siswa, misalnya, bisa mengeksplorasi data tentang penyanyi idolanya, dan dari sana belajar tentang kueri data, visualisasi, hingga interpretasi pola.

Anak-anak sejatinya memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap dunia sekitar mereka. Ketika kita mengaitkan pelajaran dengan rasa ingin tahu itu, kita tidak sedang mengajar, tetapi sedang menyalakan api pengetahuan.

Ilmu data menjadi alat untuk mengeksplorasi dunia, bukan tujuan akhir itu sendiri. Misalnya, di sekolah dasar, siswa bisa menghitung jenis-jenis tanaman yang tumbuh di taman sekolah, mengelompokkan warna bunga, dan menggambarkannya dalam grafik sederhana. Di tingkat menengah, mereka bisa menyurvei konsumsi makanan di kantin atau kebiasaan penggunaan media sosial. Semua itu adalah pintu masuk yang alami ke dalam dunia data.

Namun, di balik keseruan itu, tetap ada fondasi konseptual yang perlu dibangun. Siswa perlu mengenal siklus ilmu data secara bertahap: mulai dari bertanya, mengumpulkan data, mengeksplorasi dan menganalisis, hingga menyajikan temuan.

Mereka juga perlu memahami bahwa data tidak selalu netral; ada bias, ada kekurangan, dan ada tanggung jawab etis dalam menggunakannya.

Ini bukan soal mengajarkan statistik rumit sejak SD, tetapi menyisipkan konsep-konsep penting dengan cara yang sesuai usia dan pengalaman mereka. Di sinilah peran guru menjadi krusial, guru tidak hanya dituntut pintar dalam topik yang diajarkan tetapi juga pandai dalam menyampaikan topik tersebut dengan cara yang sederhana.

Menyesuaikan Alat dan Pendekatan untuk Meminimalkan Beban, Memaksimalkan Rasa Ingin Tahu

 anak belajar coding

anak belajar coding. foto/istockphoto

Tantangan utama dalam mengajarkan ilmu data kepada anak-anak bukan terletak pada ketersediaan materi, melainkan pada metode penyampaiannya.

Di era sekarang, tersedia banyak alat untuk analisis data, namun tidak semuanya sesuai untuk pemula. Meminta siswa sekolah dasar langsung belajar menggunakan R atau Python bisa menimbulkan rasa takut dan kebingungan. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih visual dan intuitif, seperti penggunaan antarmuka seret dan lepas atau pemrograman berbasis blok, dapat menjadi langkah awal yang lebih ramah untuk mengenalkan konsep data dan pemrograman secara bertahap.

Kerangka Literasi Data untuk Generasi Muda

Kerangka Literasi Data untuk Generasi Muda. (Sumber: Arif Perdana/Monash University Indonesia)

Pendekatan bertahap seperti "Gunakan → Modifikasi → Ciptakan" terbukti efektif. Siswa pertama-tama menggunakan kode atau template yang sudah ada, lalu mereka memodifikasi sesuai kebutuhan, dan akhirnya menciptakan proyek sendiri. Ini membangun kepercayaan diri secara progresif dan menghindari beban kognitif berlebih.

Bahkan untuk siswa sekolah dasar, konsep dasar seperti “data sebagai kumpulan informasi” atau model 5V (volume, velocity, variety, veracity, value) bisa dikenalkan lewat permainan dan observasi sederhana. Misalnya, menghitung berapa jenis makanan yang dibawa teman-teman ke sekolah dalam seminggu dan membuat grafik batang dari temuan itu.

Hal yang tidak kalah penting adalah memberi ruang untuk kesalahan.

Ketika siswa melakukan pengumpulan data sendiri dan menghadapi tantangan nyata seperti data yang “kacau” karena angin atau alat ukur yang tidak konsisten, mereka belajar bahwa ilmu data adalah proses yang dinamis dan penuh tantangan. Di situlah proses pembelajaran sejati terjadi, bukan dari jawaban benar, tapi dari pertanyaan dan perbaikan.

Menumbuhkan Rasa Memiliki terhadap Pengetahuan dan Menyiapkan Generasi Kritis

Lebih dari sekadar keterampilan teknis, ilmu data mengajarkan agensi, yakni rasa memiliki atas proses belajar. Ketika siswa diizinkan memilih topik, merumuskan pertanyaan, dan melakukan penyelidikan sendiri, mereka bukan sekadar belajar, mereka menjadi peneliti.

Konsep agensi ini dibagi menjadi tiga: agensi material (alat dan dunia nyata), agensi pribadi (inisiatif dan pilihan siswa), dan agensi disipliner (norma dan praktik bidang ilmu). Ketiganya perlu dihadirkan secara seimbang.

Guru tidak perlu menjadi ahli ilmu data. Cukup menjadi fasilitator yang mampu menciptakan ruang aman bagi eksplorasi dan kesalahan.

Rencana renovasi 10.440 sekolah di tahun 2025

Siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar di salah satu ruang kelas yang rusak di SD Negeri Alang-Alang, Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten, Senin (5/5/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto/bar

Tentu, dalam konteks Indonesia, ada tantangan besar: tidak semua sekolah memiliki infrastruktur teknologi yang memadai, belum semua guru siap, dan kurikulum yang ada pun sudah penuh sesak. Namun bukan berarti ilmu data tidak bisa diajarkan. Banyak pendekatan kreatif yang bisa digunakan.

Aktivitas “unplugged” tanpa komputer bisa memperkenalkan konsep data dengan benda nyata. Integrasi ilmu data ke dalam mata pelajaran yang sudah ada, seperti matematika atau ilmu pengetahuan sosial (IPS), bisa menjadi solusi. Dan yang paling penting, program pelatihan dan pendampingan guru harus menjadi investasi prioritas.

Kita tidak sedang mencetak ilmuwan data di usia dini. Kita sedang membangun pondasi bagi warga yang kritis, mampu berpikir berbasis bukti, dan memahami bahwa di balik angka selalu ada cerita.

Literasi data adalah senjata penting di masa depan, bukan hanya untuk memahami dunia, tetapi untuk membentuknya. Generasi muda Indonesia yang melek data bukan hanya akan lebih siap menghadapi era digital, tetapi juga lebih berdaya untuk ikut menentukan arah masa depan bangsanya.

Dan semua itu bisa dimulai dari kelas-kelas kecil di pelosok negeri, dengan pertanyaan sederhana: "Data apa yang ingin kamu cari hari ini?"

*Penulis adalah Dosen Fakultas Teknologi Informasi Monash University Indonesia dan Direktur Action Lab, Indonesia

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.