Menuju konten utama

Menyoal Logika Bobby Nasution Mendukung Tembak Mati Pelaku Begal

Aksi tembak mati mungkin bisa membuat pelaku tak mengulanginya. Namun kecil sekali kemungkinan mengurangi kemunculan pelaku kejahatan baru.

Menyoal Logika Bobby Nasution Mendukung Tembak Mati Pelaku Begal
Wali Kota Medan Bobby Nasution( kiri) menyambut kedatangan Menteri Pendidikan Singapura Chan Chun Sing (kanan) saat kunjungan kerja di Medan, Sumatera Utara, Senin (10/7/2023). ANTARA FOTO/Yudi/hp.

tirto.id - Upaya penyelesaian masalah kejahatan jalanan dengan penembakan pelaku kembali menjadi perbincangan. Hal ini tidak lepas dari pernyataan Wali Kota Medan, Bobby Nasution yang mendorong tembak mati pelaku begal.

“Bila perlu pelaku begal dan sejenisnya ditembak mati,” kata Bobby dalam keterangan di Medan, Senin (10/7/2023) sebagaimana dikutip Antara.

Hal ini tidak lepas dari keberhasilan Satreskrim Polrestabes Medan yang menembak mati pelaku begal sadis bernama Bima Bastian alias Djarot di daerah Deli Serdang, Sumatera Utara, Minggu (9/7/2023).

Bobby menilai kejahatan seperti begal dan pelakunya tidak ada tempat di Medan. Aksi tersebut meresahkan sehingga tepat jika aparat bertindak tegas. Ia pun menilai, ketegasan tersebut bisa membuat begal jera.

Namun, aksi Bobby justru menuai kritik, salah satunya dari Institute Criminal and Justice Reform (ICJR), lembaga yang berfokus pada isu hokum. ICJR mengingatkan bahwa ada regulasi penggunaan senjata api agar tidak sembarangan.

“Kami perlu mengingatkan agar kepolisian tetap mematuhi peraturan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang diatur dalam secara rinci dalam Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009," kata peneliti ICJR, Girlie Aneira Ginting dalam keterangan tertulis.

Aturan tersebut adalah pedoman Polri dalam menggunakan senjata sehingga terhindar penggunaan senjata berlebihan. Pasal 5 ayat (1) Perkap 1/2009 menjelaskan sebelum melakukan penembakan dengan senjata api, aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu 6 tahapan tindakan sehingga ada prinsip yang harus dipenuhi.

Kepolisian, kata Girlie, boleh menggunakan senjata ketika api atau alat lain dengan tujuan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan. Penembakan senjata api memang dapat dilakukan tanpa peringatan atau perintah lisan, tetapi hanya dalam keadaan apabila terdapat ancaman yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota polisi atau masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (3) Perkap 1/2009.

Oleh karena itu, aparat disarankan hanya menggunakan senjata api untuk tindakan terakhir yang bersifat melumpuhkan.

ICJR, kata Girlie, berharap agar Bobby tidak sembarangan dengan mendukung aksi penembakan penjahat. Ia mengingatkan dorongan kepala daerah dapat memicu aksi dugaan pelanggaran HAM di masa depan.

"ICJR juga meminta Wali Kota Medan untuk berhati-hati bicara tembak mati pelaku kejahatan. Dorongan demikian dari kepala daerah dapat mengakibatkan situasi pelanggaran HAM yang serius dari mulai masalah prosedur sampai dengan salah sasaran," kata Girlie.

ICJR juga meminta wali kota untuk memgedepankan pendekatan sistemik dalam menanggulangi kejahatan, wali kota memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat dan melindungi hak warganya, sekalipun pelaku kejahatan.

“Untuk itu ICJR, meminta agar sekali lagi Wali Kota Medan berhati-hati menyampaikan komentar terkait tembak di tempat dan kepada aparat kepolisian agar tetap mematuhi peraturan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang diatur dalam secara rinci dalam Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 (Perkap 1/2009) dan meminta agar setiap pelaku kejahatan untuk diadili melalui pengadilan yang adil, berimbang dan sesuai prosedur dalam menentukan yang bersangkutan benar bersalah atau tidak," kata Girlie.

Kritik juga disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak KEkerasan (KontraS). Mereka menyoalkan sikap Bobby yang mendukung penembakan pelaku kejahatan. Mereka menilai Bobby perlu meminta maaf dan menarik pernyataannya meski memahami bahaya begal.

“Kami memahami bahwa begal telah meresahkan dan merugikan masyarakat Kota Medan, namun pernyataan yang dilontarkan oleh Wali Kota Medan merupakan pernyataan abai terhadap HAM dan seolah-olah mendukung kepolisian untuk melakukan kesewenang-wenangan," ucap Wakil Koordinator Advokasi Kontras, Tioria Pretty dalam keterangan tertulis, Rabu, 12 Juli 2023.

Dalam penelusuran Tirto, gagasan tembak mati yang didukung kepala daerah baru dilakukan Bobby Nasution. Selama ini, narasi tembak mati penjahat kerap dilakukan para petinggi daerah di tubuh kepolisian seperti di Kota Padang, Jawa Barat pada 2022, hingga Polda Metro Jaya pada 2016.

KontraS juga mengingatkan bahwa penggunaan senjata api sudah diatur lewat Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindak Kepolisian maupun Perkap Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia. Menurut KontraS, Bobby selaku kepala daerah harus mengedepankan upaya melindungi dan mengayomi rakyat.

Tioria mengingatkan bahwa selama Juli 2022-Juni 2023 telah terjadi 29 peristiwa penembakan dengan total 41 korban meninggal. Selain itu, berdasarkan pemantauan KontraS setahun terakhir telah terjadi dua kasus extrajudicial killing dan empat kasus penyiksaan yang terjadi di Sumatera Utara.

Hal tersebut membuat Sumatera Utara termasuk kota sebagai salah satu provinsi dengan jumlah kekerasan aparat tertinggi se-Indonesia. “Pernyataan dari Wali Kota Medan dapat melegitimasi tindakan semacam itu dan meningkatkan eskalasi kekerasan sehingga berpotensi menambah jumlah korban," kata Tioria.

Bukan Kebijakan Pemerintah yang Baik

Research And Policy Analyst Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro menilai, upaya mendukung tembak begal menandakan kegagalan pemerintah daerah. Ia menilai, pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan lain jika ingin menyelesaikan masalah keamanan daripada tembak mati begal.

“Pernyataan itu aku nilai sikap putus asa kepala daerah. Masih ada instrumen lain yang bisa dilakukan untuk cepat dan tangkal kejahatan," kata Riko.

Riko menuturkan, strategi penanganan kejahatan lewat tembak mati belum pernah dilakukan kepala daerah. Ia menambahkan, "Kepala daerah dukung sikap tembak ditempat. Berbeda dengan dukung tembak mati.”

Riko mengingatkan, pertahanan dan keamanan adalah wewenang absolut pemerintah pusat sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kepala daerah, dalam kacamata Riko, seharusnya cukup berkoordinasi dengan Polda maupun Polres sesuai tingkat masing-masing untuk membahas upaya peningkatan keamanan daerah. Penanganan kejahatan pun bukan parameter keberhasilan kepala daerah, melainkan aparat keamanan, yakni kepolisian.

Bagi Riko, penguatan basis keamanan komunitas bisa menjadi solusi penyelesaian masalah keamanan daripada tembak mati begal. Di sisi lain, pemerintah daerah bisa mengembangkan sistem keamanan secara terintegrasi dengan memanfaatkan CCTV maupun hotline layanan keamanan selain penguatan koordinasi dengan pemerintah daerah.

”Lagi pula penanganan kejahatan tidak selalu berorientasi penegakan hukum juga pada pencegahan," kata Riko.

Analis pertahanan dan keamanan sekaligus Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, dukungan Bobby terhadap tindak tembak mati penjahat bukan solusi dalam menciptakan keamanan. Ia khawatir aksi tersebut malah memicu ketakutan dan simbol pemerintah yang putus asa dalam memberikan rasa aman pada publik.

“Praktik seperti ini hanya akan menghadirkan kepanikan dan ketakutan sesaat. Dukungan pada aksi tembak mati ini menunjukkan masyarakat sudah 'gedek', tapi pemerintah termasuk kepolisian sudah hampir putus asa mengatasi kejahatan jalanan," kata Fahmi keada reporter Tirto.

Ia menambahkan, "aksi tembak mati bagi pelaku kejahatan [jalanan] adalah sebentuk hukuman putus asa. Artinya, pemerintah dan kepolisian setempat gagal mengelola keamanan, meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerahnya dan mencegah kejahatan dari akarnya, yaitu ketidaktertiban social.”

Fahmi mengatakan, keberanian pelaku kejahatan muncul jika aparat mulai kehabisan energi dalam menciptakan keamanan. Ia mengingatkan Indonesia sudah melakukan hal serupa lewat aksi model penembakan misterius atau dikenal dengan "petrus". Sejumlah negara seperti El Salvador dan Filipina juga melakukannya beberapa waktu lalu.

Dalam kacamata Fahmi, Bobby mungkin lupa bahwa Polri bukan pengadil. Dalam sistem hukum yang berlaku, perannya adalah menangkap orang-orang yang diduga menjadi pelaku kejahatan, supaya bisa dibawa ke pengadilan. Semua tindakan hukum harus didasari asas praduga tidak bersalah. Hakim, kata Fahmi, yang memastikan para terduga pelaku itu bersalah atau tidak.

“Jika hakim meyakini bahwa mereka telah terbukti bersalah, hukuman pidana dijatuhkan. Jika tidak bersalah, mereka harus dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya. Nah bagaimana jika korban aksi tembak mati itu ternyata tidak bersalah?” kata Fahmi.

Di sisi lain, aksi tembak mati menandakan pemerintah tidak bisa melakukan perbaikan tata kelola di wilayah. Ia mengingatkan salah satu indikator kualitas hidup masyarakat dapat dilihat dari kenyamanan warga. Hal ini berkaitan dengan ketertiban sosial sebagai salah satu tolok ukur di luar aspek lain seperti sanitasi maupun ancaman kebakaran.

Ketidaktertiban sosial seperti mabuk, madat dan judi, kerap disandingkan dengan Faktor Korelatif Kriminogen dan menjadi pemicu kejahatan jalanan, di mana pelaku dan korbannya pun tidak pilih-pilih. Bisa orang-orang terdekat, bisa orang tak dikenal.

"Sedihnya, aparatur daerah dan kepolisian nyaris tak punya pemahaman sosio-kultural yang cukup untuk memfasilitasi disepakatinya ambang batas ketidaktertiban sosial di satu wilayah," tutur Fahmi.

Fahmi mengingatkan pentingnya memahami keberadaan hukum pidana. Hukum pidana adalah upaya pembinaan agar pelaku kejahatan menyadari kesalahan, memperbaiki perilaku dan tidak mengulangi ketika kembali ke publik. Tembak mati tidak bisa memberikan efek jera, melainkan hanya menekan angka kejahatan selama pemerintah berupaya serius untuk menghilangkan ketidakadilan, kemelaratan dan kebodohan. Hal tersebut, kata Fahmi, juga berarti soal pengelolaan harapan, bukan rasa takut.

Aksi tembak mati memang bisa membuat pelaku tak mampu mengulangi perbuatannya. Namun kecil sekali kemungkinan untuk dapat mengurangi kemunculan pelaku kejahatan baru.

“Kejahatan jalanan itu berkelindan dengan masalah ketidaktertiban sosial dan disparitas layanan dasar pemerintah. Selama ketidaktertiban sosial dan layanan dasar tak dibereskan, ancaman kejahatan jalanan akan selalu hadir. Siapapun yang berada dalam spektrum ketidaktertiban sosial, jika tak menjadi pelaku, ya akan berpotensi menjadi korban kejahatan," kata Fahmi.

Baca juga artikel terkait BEGAL atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz