tirto.id - Ico ka koat, anai sipu surfing!
(Lihat ke ombak, ada orang surfing!)
Seruan di atas adalah penggalan lirik lagu "Malainge Buggei, Koat Mentawai" dari Taluba, band lokal Mentawai. Lagu tersebut menceritakan pantai dan ombak Mentawai yang disukai turis-turis peselancar.
Surfing, tak dipungkiri, sudah terserap menjadi bagian dari wajah Mentawai kontemporer. Di desa-desa Muara Siberut, misalnya, papan selancar jamak ditemui di rumah warga. Di jalanan, tak sulit mendapati warga, dari anak kecil sampai orang tua, memakai kaos berlogo Hurley atau celana surfing Volcom. Yang juga mudah ditemukan adalah kaus bertuliskan nama resor-resor di Mentawai (misalnya, Kandui).
Ketika Scott Wakefield, Chris Goodnow, dan Tony Fitzpatrick "menemukan" ombak di Mentawai pada 1980-an, mereka mungkin tak mengira "penemuan" ini akan mendorong perubahan banyak hal. Lantas, muncul sosok Martin Daly pada 1990-an. Dengan kapal penyelamat miliknya, ia beberapa kali membawa peselancar profesional ke Mentawai untuk mencicipi surga selancar yang belum lama ditemukan itu.
Namun, Daly memakai metode mulut-ke-mulut saat mengajak peselancar ke sana. Dalam semesta surfing, "penemuan" ombak baru adalah sesuatu yang sakral. Di kalangan peselancar, sudah menjadi norma bahwa lokasi "ombak baru" harus disimpan rapat-rapat selama mungkin, sebisa mungkin.
Rahasia soal ombak Mentawai buyar pada 1994. Dua perusahaan yang berbasis di Australia mulai menjual tur selancar ke Mentawai secara terbuka ke publik. Cita-cita Daly dan peselancar awal lain di Mentawai untuk menjaga ombak Mentawai bagi kalangan sendiri pupus.
Maka, ombak Mentawai mulai jadi industri dan dijadikan jualan pariwisata.
Pada tahun-tahun setelahnya, makin banyak operator tur yang ambil bagian dalam bisnis ombak Mentawai. Mereka membawa turis-peselancar dengan kapal sewaan, tinggal di laut selama periode waktu tertentu, dan tak menyentuh daratan. Dunia selancar di Mentawai, pada awalnya, tak berisi interaksi dengan masyarakat lokal. Para peselancar cuma ingin bermain di ombak; mereka tak punya urusan apa-apa di darat. Toh, lagi pula, bahaya malaria mengancam di darat.
Dari Laut Naik ke Darat
Ketika kapal sewaan masih menjadi transportasi dominan dalam wisata selancar Mentawai, kehidupan masyarakat lokal di daratan hanyalah latar yang diabaikan. Lambat laun semakin dikenalnya Mentawai membuat wisatawan-pelancar dari kasta ekonomi lain juga tertarik. Ralf Buckley, Direktur International Centre for Ecotourism Research, Australia, melabeli jenis wisatawan ini sebagai surf backpacker: mereka yang tak punya cukup uang untuk tur mewah dengan kapal sewaan tapi tetap ingin mencicipi ombak Mentawai.
Jadi, para wisatawan ini pergi ke Mentawai dan mencari opsi untuk tinggal di daratan. Yang terjadi kemudian adalah interaksi manusia dan budaya: antara warga lokal dan peselancar, antara Mentawai dan budaya "Barat". Menurut Nick Towner, peselancar yang tinggal di laut (charter boat) hanya fokus ke ombak, sedangkan mereka yang tinggal di darat tak sungkan membenamkan diri ke kebudayaan Mentawai.
Mari kita ke Ebay, area penginapan para peselancar di Siberut Barat Daya. Alkisah, peselancar mula-mula datang dengan menumpang kapal nelayan. Nama Ebay belum ada saat itu. Orang Mentawai masih menyebutnya Mappadegat. Daerah itu bukan desa administratif, melainkan lahan berladang milik orang-orang dari Taileleu—desa yang belakangan ramai disebut-sebut karena direncanakan menjadi lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Yang mereka tanam kebanyakan adalah kelapa (untuk diolah jadi kopra) dan cengkeh. Lazimnya peladang, mereka pun memiliki pondok-pondok tempat mereka tinggal saat mengolah ladangnya. Rumah permanen mereka ada di Taileleu. Jadi, Mapaddegat hanya ditinggali saat musim olah dan musim panen.
Pondok-pondok kecil nan sederhana milik peladang-peladang di Mapaddegat inilah yang kemudian dilihat para peselancar sebagai peluang. Mereka meminta izin kepada pemilik pondok untuk bisa menumpang dan tidur di sana selama mereka mencari ombak-ombak untuk dikendarai. Peladang-peladang pun memberi izin peselancar tinggal di pondok mereka, biasanya berbulan-bulan, dengan membayar uang Rp5.000-Rp50.000 saat itu. Selain itu, para wisatawan asing membawa bahan makanan sendiri dan memasaknya sendiri.
“Kadang kami makan malam bersama-sama dengan mereka,” kenang Lemanus, salah satu peladang di Mapaddegat.
Ombak terdekat di permukiman peladang itu kemudian dinamai Ebay oleh peselancar—entah kenapa, yang jelas ia memang terletak di teluk (bay). Kini tak banyak orang yang menyebut Mapaddegat. Nama itu sudah kalah populer oleh nama Ebay.
Lambat laun wajah Ebay berubah. Semakin banyak peselancar yang ke sana, berubah pula kehidupan para peladang. Kini sudah banyak dari mereka yang mendirikan homestay atau surf camp khusus untuk turis-peselancar yang datang. Beberapa pun menyampingkan, atau bahkan meninggalkan, kegiatan berladang mereka dan fokus ke bisnis wisata selancar.
Tak hanya akomodasi, mereka juga menyediakan jasa sewa kapal ke titik-titik ombak di sekitar pulau. Lemanus, yang masih berladang dan tak merambah ke bisnis selancar, menegaskan kehadiran peselancar tak mengganggu aktivitas berladang warga. Justru ia senang karena pulau jadi lebih ramai karena kehadiran para peselancar. Hingga kini ladang dan wisata selancar adalah dua mode kehidupan dominan di Ebay; dan keduanya hidup harmonis.
Rebutan Ombak dalam Magnet Wisata Surfing
Pada akhir 1990-an, Mentawai semakin ramai oleh peselancar mancanegara: mereka yang dihipnotis gambar-gambar di majalah surfing tentang ombak-ombak tropikal. Puncaknya, Mentawai dipercaya menghelat kontes selancar kelas dunia, Op Pro 2001. Tak hanya itu, ombak-ombak Mentawai malang-melintang di media massa dan film-film bertema selancar, dari The September Sessions (2002), Alive (2017), hingga Discovering the Mentawais (2018).
Surf Aid International, organisasi kemanusiaan yang diinisiasi oleh peselancar, pun lahir di Mentawai. Wisata selancar di Mentawai berkembang sangat cepat. Mungkin terlalu cepat. Hingga akhirnya, setelah 2001, perkembangan itu pelan-pelan melambat.
Namun, tentu saja, selancar di Mentawai tak pernah berhenti. Ombak Mentawai kadung menjadi primadona bagi peselancar, komoditas bisnis, dan sumber daya daerah. Ribuan peselancar datang ke Mentawai setiap tahun. Pada 2017, diperkirakan lebih dari 10 ribu wisatawan asing berkunjung ke Mentawai. Tahun lalu pendapatan asli daerah Mentawai dari pariwisata mencapai Rp7,3 miliar, dan ini belum termasuk pajak bumi bangunan sekitar Rp4 miliar.
Resor-resor berdiri gagah, kebanyakan didirikan oleh modal dari luar negeri. Akomodasi di darat kian menjamur, termasuk pondok-pondok masyarakat yang disulap jadi penginapan. Charter boat pun masih berkeliaran di lautan Mentawai. Maka, rebutan ombak pun tak terelakkan di sana.
Selancar adalah olahraga yang pelik, apalagi dengan mantra "satu ombak, satu orang". Terlalu banyak peselancar di satu ombak tidaklah asyik. Terlebih bagi mereka yang menyetor banyak uang untuk bermain ombak sepuas-puasnya, rebutan ombak dengan sesama turis-peselancar bukanlah hal yang diharapkan.
Untuk mengatasi atau mencegah saling sikut di ombak, baik oleh peselancar maupun para pelaku industri wisata selancar, pelbagai peraturan pemerintah disusun dan diberlakukan. Negara akhirnya terseret ke keruhnya urusan ombak Mentawai.
Masuknya negara, secara tak langsung, membawa serta elemen lain yang sebelumnya kerap diabaikan: masyarakat lokal.
Dalam hal ini, retorika klasik dipinjam dari diktat-diktat tebal tentang "pembangunan". Kira-kira seperti ini: turis menikmati ombak Mentawai, tur operator asing meraup untung besar, tapi masyarakat Mentawai dapat apa?
Maka, selain mengelola dan mengawasi industri wisata selancar supaya tidak rusuh, negara (ingin) mengajak masyarakat untuk mencicipi "potongan kue" yang diberikan ombak Mentawai. Setidaknya retorikanya seperti itu. Ombak dibaca sebagai sumber daya daerah untuk mengangkat ekonomi masyarakat.
Retorika "pembangunan masyarakat" tak hanya diusung oleh negara, melainkan pelaku bisnis. Lewat artikel “Surf Tourism in the Mentawais: What is it Really All About?”, Glenn Reeves menjelaskan "pembangunan" adalah alat yang dipakai resor dan perusahaan yang beroperasi di Mentawai untuk melegitimasi bisnis masing-masing.
Tiap aktor bisnis berargumen bahwa unit operasi mereka pada akhirnya akan menyejahterakan masyarakat, entah lewat uang yang dibayar untuk sewa tanah, pajak-pajak terkait tanah, bangunan, dan usaha bisnis; maupun kesempatan kerja di resor atau charter boat. Jadi, narasi soal "pembangunan" sama-sama dipakai oleh negara dan pelaku bisnis atau koalisi keduanya.
Babak Baru: Kawasan Ekonomi Khusus Mentawai
Surfing dan "pembangunan" telah lama berkelindan di Mentawai, baik secara natural maupun artifisial. Kelindan keduanya begitu keruh, tak mudah dipahami. Jika kita ibaratkan ombak sebagai teks, ia dibaca berbeda-beda oleh tiap aktor dalam wisata selancar Mentawai.
Peselancar membaca ombak dan selancar sebagai "kesenangan", pebisnis sebagai "uang", dan pemerintah sebagai "aset daerah". Sementara orang Mentawai mengasosiasikan ombak dengan banyak hal: badai, kepiting, ancaman, hiburan, kemalangan, pendapatan, dan sebagainya. Lagi-lagi harus dibilang: relasi manusia-ombak Mentawai sangatlah ambivalen.
Belakangan, hubungan antara wisata selancar dan "pembangunan" di Mentawai memasuki babak terbaru dalam tajuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Tentu saja, KEK bukan hanya tentang selancar. Namun, sulit untuk menampik bahwa ombak dan selancar adalah daya tarik penting milik Mentawai. Dan tanpa keduanya, investor KEK mungkin tak akan berencana membangun apa-apa di Taileleu. Ombak, selancar, dan proses-proses yang menautkan keduanya selama ini telah membangun imajinasi tentang investasi miliaran rupiah di Taileleu.
Rencananya, 2.600 hektare ladang kelapa dan cengkeh akan disulap jadi bangunan-bangunan penyokong pariwisata. Selain bandara dan dermaga, akan didirikan hotel, restoran, padang golf, perkantoran, pusat rekreasi, dan lain-lain. Mungkin KEK akan menjadi bentuk paling masif, intensif, dan ekspansif dari pembangunan wisata (selancar) di Mentawai. Pemerintah memperkirakan KEK Mentawai akan menelan dana Rp11 triliun.
KEK bisa dibilang lebih menantang ketimbang proses-proses sebelumnya, seperti pembangunan resor-resor bertarif jutaan rupiah per malam. Resor-resor dibangun di pulau-pulau kecil yang bukan tempat tinggal permanen masyarakat, melainkan ladang-ladang kelapa dan cengkeh mereka. Sedangkan rencana lokasi KEK Mentawai dekat dengan permukiman permanen warga Taileleu. Jika KEK jadi dibangun, masyarakat lokal akan terpapar imbasnya, baik positif maupun negatif, secara langsung.
Proposal KEK Mentawai sudah ada di Jakarta untuk dievaluasi pemerintah pusat. Pemerintahan Joko Widodo akan memutuskan apakah proposal itu layak dieksekusi atau tidak.
Di tempat lain, di lokasi-lokasi surfing Mentawai, rutinitas sehari-hari berjalan apa adanya. Masyarakat berladang seperti biasa. Peselancar masih datang pada musim ombak yang baru saja usai. Ladang dan selancar hidup bersama, berdampingan. Selalu begitu sejak dulu.
Apakah tetap akan begitu juga saat era KEK kelak?
Editor: Nuran Wibisono