Menuju konten utama

Teruntuk Mentawai: Pesan dari Hawaii dan Madeira

Kebudayaan selancar di Hawaii dan ombak alamiah di Madeira rusak karena industrialisasi pariwisata.

Teruntuk Mentawai: Pesan dari Hawaii dan Madeira
Seekor anjing dipinggir pantai Mentawai. FOTO/Sarani Pitor Pakan

tirto.id - Surfing sebenarnya sederhana.

Bagi Andrew Warren dan Chris Gibson, penulis Surfing Places Surfboard Makers, selancar pada dasarnya adalah bentuk interaksi antara manusia dan lingkungan—persisnya ombak dan laut. Interaksi itu lantas mendunia lewat era surf craze pada 1960-an dan terbawa ke pelosok-pelosok dunia.

Dengan itu, surfing menjadi tak begitu sederhana lagi. Ia bertaut dengan banyak hal dan mendorong proses sosial-budaya yang kadang rumit. Ketika surfing berhubungan dengan pembangunan, semisal di Mentawai, ia sudah memasuki semesta yang berbeda. Ia tak lagi hanya tentang manusia di ombak.

Mentawai bukan kasus spesial. Sudah banyak tempat di dunia yang bersinggungan dengan keruhnya pembangunan pariwisata gara-gara diberkahi ombak-ombak besar nan konsisten. Dalam konteks Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mentawai, penting untuk tidak mengisolasi Mentawai dari narasi-narasi "pembangunan" di surga-surga selancar lain.

Secara khusus, saya mengingat Hawaii dan Madeira. Mungkin keduanya bisa memberi pesan tersirat untuk Mentawai. Semacam suara dari Pasifik dan Atlantik untuk Hindia. Seperti membayangkan tiga samudra berdialog panjang lebar tentang manusia dan nafsu maniaknya untuk membangun sekaligus menghancurkan.

Tiap cerita punya tensinya masing-masing. Pertautan surfing dan "pembangunan" tidak terjadi pada ruang hampa. Mentawai, Hawaii, dan Madeira mengandung konteks dan kompleksitas tersendiri. Hawaii menarik karena ia adalah rumah spiritual selancar; tempat selancar dirayakan sebagai komuni suci dengan ombak. Sedangkan Madeira, seperti Mentawai, telah "ditemukan" peselancar Barat. Ombak memberi Madeira peluang untuk berubah bersama narasi-narasi pembangunanisme ala Uni Eropa.

Wisata Selancar sebagai Industri Neokolonial

Hawaii dan selancar mirip kisah cinta yang pelik. Hawaii dipercaya sebagai tempat kelahiran surfing (meski ada versi yang menyebut Peru). Bermain dan menari bersama ombak—dengan bantuan papan—adalah tradisi yang sudah berlangsung berabad-abad. Orang Hawaii menyebutnya he’e nalu.

Berselancar, bagi orang Hawaii, adalah sesuatu yang sakral dan religius. Mereka punya heiau (kuil batu) yang dikhususkan untuk selancar—agar selamat saat berselancar—dan menyembah Kanaloa sebagai dewa samudra. Selain itu, saat membuat papan selancar, ada ritual-ritual sakral yang harus dilalui supaya mereka baik-baik saja di ombak. Terakhir, Hawaii punya nyanyian khusus untuk memanggil ombak saat lautan tenang.

“Bangkitlah ombak besar dari Kahiki / gelombang ombak yang hebat,” begitu bunyinya.

Itu masa-masa sebelum Hawaii berhubungan dengan dunia luar. Selancar sempat dilarang oleh misionaris kulit putih yang menganggapnya sebagai praktik budaya yang menjauhkan orang Hawaii dari tuhan dan etik kerja modern. Pada akhir abad 19, budaya surfing dibangkitkan lagi.

Tak hanya lahir kembali, surfing juga tersebar ke Amerika daratan dan tempat-tempat lain. Pada awal abad 20, promotor pariwisata di Hawaii melihat selancar sebagai daya tarik yang bisa mendatangkan turis. Hubungan selancar dan pariwisata pun dimulai: selancar menjadi simbol untuk Hawaii. Strategi itu terbukti sukses dan hingga kini Hawaii dikenal sebagai salah satu tujuan utama untuk selancar.

Lalu, bagaimana perkembangan pariwisata memengaruhi hubungan (yang sebelumnya) sakral antara manusia, surfing, dan ombak di Hawaii?

Waves of Knowing, karya Karen Imamoto Ingersoll pada 2016, membuat saya tertegun. Ingersoll bercerita tentang manusia dan ombak di Hawaii dari dekat, seraya menaruhnya dalam konteks wisata selancar sebagai industri neokolonial. Wisata selancar adalah penjajahan gaya baru? Industri wisata telah membanalkan surfing dan relasi manusia-ombak di Hawaii.

Laut dan ombak yang sakral itu diubah menjadi medan untuk mengakumulasi kapital, untuk dikonsumsi dan ditaklukkan para turis-peselancar. Meminjam istilah Jim Nendel, surfing di Hawaii telah mengalami proses Amerikanisasi; dari pengalaman rohani menjadi olahraga kompetitif. Lewat gelontoran modal dari luar, Hawaii disulap jadi orgy bagi surfing ala AS.

Penjajahan baru dalam konteks wisata selancar Hawaii memiliki dua mekanisme yang saling terkait. Pertama, secara nyata, tanah dan laut di Hawaii direbut dari pribumi untuk kepentingan turisme. Garis-garis pantai diprivatisasi, lalu diubah jadi promenade, hotel, bar, restoran, sekolah surfing, toko cenderamata, dan pelbagai hal lain yang menyenangkan turis-peselancar.

Kedua, secara ideologis, tanah dan laut di Hawaii telah dicabut dari akar budayanya untuk kepentingan turisme. “Laut adalah tempat kami membersihkan diri, menari, bermain, berlatih, dan mati,” tulis Ingersoll.

Namun, dalam industri wisata selancar yang kolonial, laut sebagai sumber daya budaya (cultural resource) berubah jadi sekadar sumber daya ekonomi (economic resource). Pengetahuan lokal tentang laut dipinggirkan atas nama profit; persepsi lokal terhadap ombak didangkalkan jadi sebatas eskapisme yang turistik.

Pada titik itulah, saat tradisi selancar ala Hawaii kian tergerus, ombak menjelma sebagai area tempat pribumi Hawaii menampilkan resistensi, otonomi, dan gairah untuk bertahan (cultural survival). Ingersoll begitu tajam dalam mencecar industri wisata selancar di Hawaii. Tapi, ia tak lantas terlampau emosional dan menelan mentah-mentah narasi soal pembangunan.

Seperti yang digemakan Robert Fletcher, antropolog dari Universitas Wageningen, Belanda, pembangunan pariwisata harusnya tak dilihat hanya sebagai proses kapitalisme global yang satu arah. Di lokasi-lokasi wisata, termasuk di Hawaii dan Mentawai, yang terjadi adalah proses resistensi, negosiasi, pengolahan, dan perubahan yang kompleks. Unsur-unsur lokal bukan cuma objek yang bungkam dijejali narasi pembangunan, tapi aktif mengambil peran dalam kerumitan itu.

Membangun Pariwisata, Merusak Ombak

Surfing dimulai di Hawaii dan bergerak ke mana-mana, termasuk Madeira, Daerah Istimewa di Portugal.

Seperti Mentawai, perairan Madeira punya ombak-ombak besar tapi tak mengenal surfing sampai para peselancar Barat singgah di sana. Madeira dikenal sebagai favorit bagi big wave surfer, mereka yang menyukai ombak-ombak berskala gigantis. Dengan ombak-ombak itu, cerita jadi klasik bagi Madeira. Peselancar "menemukan" Madeira lalu muncul di majalah-majalah surfing, lalu makin banyak peselancar datang, lalu wisata selancar makin mapan seiring waktu.

Setelahnya, proyek-proyek pembangunan datang. Pemerintah melihat pariwisata sebagai celah untuk mengangkat ekonomi masyarakat Madeira, yang dianggap tak seberkembang mereka yang tinggal di Portugal daratan. Uang pinjaman Uni Eropa lalu mengalir ke pulau kecil di Atlantik itu.

Memoar soal perubahan Madeira, dalam konteks wisata selancar, dituangkan dengan manis oleh William Finnegan dalam otobiografi Barbarian Days. Sejak 1994 hingga 2003, kolumnis The New Yorker itu menyambangi Madeira secara berkala. Ia pertama kali melihat ombak Madeira di sebuah majalah surfing, lalu pergi ke sana dan jatuh cinta hingga bertahun-tahun lamanya.

Pada awalnya Madeira masih sepi. Finnegan berkali-kali cerita soal pengalamannya berselancar sendirian di tengah lautan Atlantik. Perlahan, Madeira makin dikenal dan antrean di ombak jadi tak terelakkan.

“Madeira akan segera kacau dan penuh seperti Bali dan lusinan Mekkah selancar lain di dunia. Kita harus berselancar sekarang sebelum ia jadi neraka,” tulis Finnegan.

Ramalan Finnegan menjadi kian nyata saat pemerintah lokal berencana mengembangkan pariwisata Madeira. Ombak Madeira dilihat sebagai aset yang menjual. Proposal kemudian diajukan ke Uni Eropa untuk "membangun" Madeira atas nama kesejahteraan masyarakat.

Lalu duit dari Brussels—kantor pusat Uni Eropa—tiba di sana dan diterjemahkan dalam bentuk beton-beton di garis-garis pantai Madeira. Jalan raya dibangun untuk menghubungkan satu desa dengan desa lain, dan satu lokasi surfing dengan lokasi surfing lain; untuk memudahkan akses warga lokal dan peselancar. Kemudian didirikan restoran, hotel, promenade, dan sarana-sarana pariwisata lain. Sejak 2003, bukit-bukit berbatu yang alami perlahan hilang di Madeira. Tembok laut (sea wall) didirikan untuk mencegah terjangan ombak ke darat.

Yang terjadi setelahnya adalah ironi.

Dari sudut pandang selancar, pembangunan wisata menjadi blunder. Jardim do Mar, ombak paling terkenal di Madeira, rusak karena proyek itu. Intervensi terhadap laut dan pesisir di dekat titik surfing (dalam bentuk pembangunan tembok laut, promenade, dan sebagainya) mengubah karakter ombak. Pelbagai faktor alam yang membentuk Jardim do Mar—seperti gelombang laut, pasang surut laut, pasir, karang, dan angin—jadi tak sama lagi setelah tembok laut berdiri.

Ukuran ombak Jardim do Mar jadi tak sebesar dan sekonsisten dulu, yang membuatnya dikagumi. Ia hanya bisa dimainkan jika ada gelombang laut yang sangat besar dari samudra dan saat pasang surut. Jika tidak, ia terlalu bahaya untuk diselancari.

Padahal Jardim do Mar yang membuat Madeira terkenal. Ombak itu dijuluki "permata Atlantik". Namun, ambisi untuk mendatangkan lebih banyak turis dan uang—lewat mantra "pembangunan" dan "kemajuan"—justru merusak daya tarik itu. Ombak mati, peselancar pergi. Ironis.

Rusaknya Jardim do Mar (serta dua ombak lain, Ponta Delgada dan Lugar de Baixo) adalah pelajaran berharga. Sepuluh tahun setelahnya, rencana pembangunan tembok laut dicanangkan di Paul do Mar, titik surfing lain di Madeira. Peselancar dan masyarakat lokal khawatir apa yang terjadi di Jardim do Mar akan berulang. Beruntung, meski tembok laut tetap didirikan, ombak Paul do Mar selamat dari dari nafsu maniak untuk membangun.

Infografik HL Indepth Mentawai

Pelajaran untuk Siberut

Kita bisa belajar dari cerita-cerita di tempat yang jauh. Selancar ada di banyak tempat. Demikian pula pembangunan wisata di lokasi-lokasi surfing terkenal. Jadi, Mentawai tak sendirian dalam pengalaman ini.

Kawasan Ekonomi Khusus Mentawai adalah cerita yang bersinggungan dengan cerita-cerita di tempat lain, termasuk Hawaii dan Madeira. Ia bermula dari ombak, lalu ramainya turis-peselancar di tengah laut, lalu ambisi "pembangunan" skala besar. Sekarang, pertanyaannya: Apa pelajaran yang bisa diambil dari Hawaii dan Madeira untuk memahami KEK Mentawai?

Jawabannya kurang lebih seperti ini: Hawaii memberi Mentawai pesan dari sisi kultural, sedang Madeira dari sisi lingkungan.

Ketika proyek pembangunan masuk dari luar, ia mau tak mau akan berbenturan dengan apa-apa yang ada di dalam. Benturan nilai-nilai tak bisa dihindari. Ketika wisata selancar dibangun sebagai industri, itu artinya nilai-nilai ekonomis menyetir praktik-praktik di laut dan darat. Pada titik itulah, kontestasi budaya yang kompleks terjadi.

"Aktor-aktor" pembangunan akan berusaha mendominasi "yang lokal" sekuat tenaga. Namun, penting untuk tak melihat masyarakat lokal hanya sebagai objek yang kalah, yang diam, yang pasif. Di lapangan, mereka sebenarnya aktif melakukan negosiasi dan/atau resistensi terhadap narasi pembangunan yang asing itu.

Dan penting untuk mengurai dampak lingkungan yang mungkin terjadi. Tanah, laut, dan ombak turut berubah bersama narasi "pembangunan". Kerusakan lingkungan karena ambisi untuk "berkembang" dan "maju" sudah terjadi di banyak tempat dan banyak konteks (bukan cuma pariwisata).

Ironi yang terjadi di Madeira pun bukan kasus satu-satunya dalam dunia selancar. Ada banyak ombak legendaris lain yang rusak atau mati karena obsesi manusia terhadap beton-beton megah di bibir pantai.

Membangun boleh saja, tapi apa guna jika ombak-ombak itu berakhir jadi nostalgia masa lalu ketika semuanya baik-baik saja tanpa perlu dibangun apa pun?

Baca juga artikel terkait MENTAWAI atau tulisan lainnya dari Sarani Pitor Pakan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sarani Pitor Pakan
Editor: Nuran Wibisono