Menuju konten utama

Berselancar di Keruh KEK Mentawai

KEK Mentawai bagai dua mata uang yang saling bertolak belakang: menguntungkan sekaligus bisa merugikan.

Berselancar di Keruh KEK Mentawai
Surfer berjalan di pinggir pantai Mentawai sambil membawa papan luncur. FOTO/Sarani Pitor Pakan

tirto.id - Dalam kata pengantar untuk Berebut Hutan Siberut (Darmanto & Abidah Setyowati), Koen Meyers, konsultan UNESCO yang lama tinggal di Siberut, bertanya lebih kepada dirinya sendiri: Mengapa proyek "pembangunan" di Siberut selalu gagal?

Di matanya, upaya "pembangunan" di Siberut mencerimankan pulau itu sendiri: “menantang, sulit untuk ditembus, dan sangat keruh”. Ketika berusaha memahami wacana tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mentawai, saya mendapati suara Meyers menggema di telinga.

KEK adalah babak terbaru dalam dinamika surfing dan "pembangunan" di Mentawai. Yang di depan sebenarnya masih misterius. Kita tak pernah tahu persis apa yang bakal terjadi di Mentawai andai KEK resmi dibangun.

Di satu sisi, kita bisa menanam retorika di kepala bahwa KEK akan "menyejahterakan masyarakat." Tentu saja tampak seperti retorika karena upaya itu justru dilakukan dengan meratakan ladang-ladang penduduk Mentawai dan menggantinya dengan fantasi turisme massal berbentuk kolam renang dan padang golf.

Di sisi lain, kita bisa bicara lantang dari luar tentang betapa tak adilnya KEK buat masyarakat lokal (secara ekonomis) dan tentang bahaya pudarya identitas budaya Mentawai karena tanah-tanah adat dialihkan ke tangan swasta. Toh, kenyataan di lapangan tak sesederhana itu.

Sejak 1950-an, orang Mentawai sudah terbiasa berhadapan dengan "proyek" dari luar; seperti upaya misionaris Protestan dan Katolik, intervensi negara lewat label "modernisasi", ekspansi kapitalisme dan perdagangan produk hutan, proyek konservasi lingkungan dan pembangunan manusia, serta gegap gempita wisata budaya dan selancar.

Dalam interaksi-interaksi itu, orang Mentawai selalu terbuka pada potensi perubahan seraya tetap menjaga apa yang mereka anggap penting. Ambivalensi dan ketegangan itulah yang membuat cerita "pembangunan" di Mentawai selalu menarik karena ia tak hanya punya satu wajah.

Menghindari atau Mendatangi

Ketika saya meneliti relasi manusia-ombak di Siberut, salah satu temuan terpenting adalah tentang "menghindari/mendatangi" (avoidance/encounter). Maksudnya: orang Mentawai, terutama yang tinggal di pesisir atau pulau-pulau kecil, hidup dalam ketegangan untuk mendatangi dan menghindari ombak.

Hidup dikelilingi samudra, mereka mau tak mau harus menemui ombak, entah dalam aktivitas mencari ikan, berselancar, atau perjalanan laut. Kendati begitu, dalam tiap pertemuan dengan ombak, orang Mentawai tahu persis bahwa mereka harus menghindarinya. Jika tidak, kemalangan bisa saja terjadi. Jadi, mereka menghindari/mendatangi ombak pada saat yang sama.

Lewat kontradiksi dan ambivalensi itulah manusia Mentawai berhubungan dan hidup bersama ombak-ombaknya. Menghindari tanpa mendatangi ombak sama saja tak masuk akal. Sebaliknya, mendatangi ombak tanpa menghindari sama dengan bunuh diri.

Konsep "menghindari/mendatangi" bisa kita pinjam untuk memahami interaksi antara Mentawai dan proyek "pembangunan", termasuk dalam konteks pariwisata seperti KEK.

“Orang Mentawai tak pernah punya mentalitas korban. Mereka cemas, tapi juga antusias,” ucap Darmanto, antropolog yang lama tinggal di Siberut ketika membahas KEK.

Tak ada yang tunggal di Mentawai. KEK memberikan antusiasme tentang turis-turis yang datang dari banyak tempat; tentang peluang pekerjaan dan tambahan pemasukan; tentang terbangunnya infrastruktur yang berguna untuk masyarakat.

Namun, barang yang sama itu, KEK Mentawai, juga bisa bikin waswas karena risiko beralihnya tanah adat ke tangan swasta; bahaya pembangunan skala besar pada lingkungan sekitar; juga kemungkinan tak adilnya keuntungan finansial yang didapat masyarakat lokal.

Seperti ombak, KEK Mentawai didatangi/dihindari.

Di pengujung tahun lalu, ribut-ribut soal KEK belum terdengar lantang di Ebay atau Siberut. Kendati begitu, orang-orang sudah membahas desas-desus pembangunan bandara dan dermaga wisata di wilayah Taileleu. Banyak orang, terutama yang terkait dengan industri wisata selancar, tampak antusias dengan wacana itu.

Mereka menganggap infrastruktur bandara dan dermaga wisata akan memudahkan akses peselancar ke Mentawai. Imbasnya, wisata selancar akan semakin berkembang, menguntungkan mereka yang terlibat di dalamnya, meningkatkan pendapatan daerah, dan secara tak langsung menyejahterakan masyarakat.

Jika infrastruktur fisik mengundang antusiasme, infrastruktur (sumber daya) manusia mengandung kecemasan. Valerius, wirausahawan wisata selancar di Siberut, meragukan kesiapan masyarakat Mentawai dalam menghadapi perkembangan pariwisata. Salah satu hal yang ia soroti adalah ketidakpedulian warga, termasuk pelaku bisnis selancar, terhadap kebersihan di lokasi-lokasi selancar.

“Mereka cuma mau uangnya aja. Kebersihan pantai enggak ada,” ujarnya ketus.

Selain itu, dia khawatir tradisi berladang orang Mentawai akan hilang karena tergerus pariwisata. Belakangan, banyak anak muda Mentawai yang lebih memilih aktif di wisata selancar daripada berladang. Padahal, menurutnya, urusan pariwisata dan ladang bisa sama-sama dijalankan dan keduanya tak mengganggu satu sama lain.

Infografik HL Indepth Mentawai

Tanah dan Hal-Hal Lain

Bahasan paling dominan dalam wacana KEK Mentawai adalah perihal tanah. Saat 2.600 hektare tanah di Taileleu direncanakan berpindah tangan ke swasta, yang ditakutkan adalah hilangnya identitas dan akses orang Mentawai terhadap tanah mereka. Ketakutan seperti ini sangat beralasan, tapi terlalu simplistik.

Di Siberut, tanpa aktor eksternal pun, rebutan tanah sudah pelik sejak dulu. Sebagai suku bangsa yang nomaden, tanah selalu dinegosiasikan ulang di Mentawai—milik siapa, di mana batasnya, dan sebagainya. Cerita tentang konflik internal dan horizontal terkait tanah telah jadi percakapan sehari-hari di teras-teras rumah. Sewa-menyewa tanah pun bukan hal baru di Siberut. Sejak dulu, tanah kerap disewakan oleh satu keluarga (lalep) atau suku (uma) ke lalep/uma lain untuk dibangun rumah atau diolah menjadi ladang kelapa dan cengkeh.

Ketika industri wisata selancar masuk ke Mentawai, sewa-menyewa tanah yang melibatkan pihak "luar" (non-Mentawai) makin intens terjadi.

Di wilayah Siberut Barat Daya, misalnya, banyak pulau kecil yang dulunya ladang-ladang warga berubah jadi resor-resor megah. Perusahaan swasta menyewa tanah-tanah milik warga untuk jangka waktu tertentu (10 tahun, 20 tahun, dll.), membabat pohon-pohon kelapa atau cengkeh di atasnya, dan membangun resor-resor bertarif jutaan rupiah per malam. Proses yang sudah berlangsung sejak 1990-an ini memperbarui pandangan orang Mentawai tentang pulau-pulau kecil yang tak dihuni secara permanen.

“Pulau itu surga,” kata seorang pemuda lokal saat saya hendak menuju Masokut. Saya tak yakin anggapan "pulau surga" itu eksis saat ia masih berupa ladang dan kandang babi.

Dalam wacana KEK, penting untuk melihat bahwa Mentawai tak semata masyarakat statik. Mereka telah bergerak bersama zaman, dan memperbarui diri dalam tiap kontak dengan dunia luar. Memang benar tanah adalah sentral bagi budaya Mentawai. Tapi kita tak bisa memahaminya secara nostalgik; karena jika begitu maka kita menyederhanakan persoalan dan mengabaikan kompleksitas di dalamnya.

Selain itu, jika kita enggan membenahi pandangan kita sendiri, kita akan menempatkan orang Mentawai hanya sebagai objek yang diam diterpa narasi pembangunan.

Bagi orang Mentawai, tak ada cara untuk sama sekali memunggungi narasi "pembangunan". Sudah menjadi karakter mereka untuk terbuka dan menerima "tamu" dari luar. Sebagai kelompok etnis yang egaliter (tak mengenal pemimpin adat) dan bersifat sangat komunal, keterbukaan terasa begitu wajar.

Namun, menjadi terbuka di Mentawai tak bisa diterjemahkan secara mentah sebagai pasrah menerima apa adanya. Proses negosiasi— entah atas dasar ekonomi, sosial, budaya, maupun politik—sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Mentawai sejak menjalin kontak dengan orang luar (sasareu).

Dalam konteks "pembangunan" skala besar seperti KEK Mentawai, perubahan itu niscaya. Persoalannya: apakah masyarakat Mentawai siap dengan perubahan yang mungkin terjadi?

Itu yang menjadi perhatian Valerius. Menurutnya, secara umum masyarakat Mentawai belum sepenuhnya siap terhadap pembangunan wisata yang ekspansif.

“Yang kita takutkan adalah kesiapan masyarakat untuk menerima perubahan-perubahan yang sekejap mata. Mudah-mudahan enggak sampai menyeleweng sampai seperti Bali,” tukas Valerius. Nada suaranya mengandung kegelisahan. Dan dia menyebut Bali yang, tak diragukan lagi, merupakan pelajaran paling nyata (dan problematis) mengenai pembangunan pariwisata.

Sebagai lanjutan dari kelindan surfing dan "pembangunan" di Mentawai, KEK Mentawai tak mudah dimengerti. Susah dipahami, susah pula untuk mengambil posisi dan membuat keputusan. Meminjam Meyers, KEK Mentawai akan penuh tantangan, sulit ditembus, dan sangat keruh.

Yang akan terjadi adalah proses interaksi alot dan melelahkan. Mungkin karena itulah "pembangunan" di Siberut selalu gagal. Orang Mentawai sudah terbiasa dengan ini semua, dengan interaksi yang alot dan melelahkan. Mereka siap berdebat sampai pagi jika itu menyangkut persoalan tanah mereka dan hal-hal lain di sekitarnya. Aktor-aktor dari luar—agen-agen "pembangunan" itu – mungkin tak memiliki energi yang sama untuk berdebat dan berproses.

Namun, ini bukan tentang kalah dan menang. Bahkan, ini bukan tentang pro-kontra. Sulit untuk menempatkan diri di satu sisi dalam kasus-kasus "pembangunan" di Mentawai.

Secara personal, susah untuk sepenuhnya kontra pada KEK karena saya tahu banyak orang Mentawai antusias menyambut proyek semacam ini. Di sisi lain, saya juga tak bisa pro begitu saja karena tahu betapa berisiko menyerahkan tanah milik warga ke tangan investor.

Jadi, sejatinya saya juga terjebak dalam kekeruhan ini. Entahlah. Mungkin sebenarnya kita tak perlu mengunyah satu perspektif saja. Kita bisa belajar memahami dari dekat, lalu menikmati segenap ketegangan, kontradiksi, ambivalensi, dan kompleksitas ini.

Dan, yang saya yakini, orang-orang Mentawai juga akan merayakan ketegangan-ketegangan ini. Mereka akan "dipaksa" berselancar di keruh KEK Mentawai.

Baca juga artikel terkait MENTAWAI atau tulisan lainnya dari Sarani Pitor Pakan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sarani Pitor Pakan
Editor: Nuran Wibisono