tirto.id - Pada mulanya adalah ombak. Lalu para peselancar berdatangan ke Mentawai. Setelahnya, semua tak sama lagi.
Pada 2017, saya berangkat ke Mentawai karena rasa ingin tahu yang sederhana: apa makna ombak buat orang Mentawai? Di kalangan peselancar dunia, Mentawai adalah nama besar.
“Mentawai adalah Mekkah-nya peselancar. Semua peselancar di dunia ingin ke Mentawai,” kata Julien, turis-peselancar dari Perancis, pada suatu pagi di Ebay, salah satu area surf homestay di Siberut Barat Daya.
Peselancar melabeli ombak-ombak Mentawai sebagai "kelas dunia." Tapi, tak banyak yang tahu—atau ingin tahu—apa arti ombak buat orang Mentawai. Di situlah saya mendapati diri saya berdiri di hadapan puluhan tanda tanya.
Surfing—berdiri di atas papan seluncur di atas ombak—datang dari luar. Sebelum peselancar pertama tiba di Mentawai, anak-anak Mentawai sudah bermain dengan ombak. Mereka merebahkan badan di atas papan kayu—biasanya dari kayu pulai (Alstonia scholaris)—dan membiarkan ombak mengayun-ayun mereka. Aktivitas semacam ini dimainkan di ombak-ombak dekat bibir pantai, tidak di tengah laut.
Kendati begitu, berdiri di atas ombak yang besar dan berbentuk seperti lubang (barrel) adalah sesuatu yang baru bagi orang Mentawai. Pelbagai kisah tentang pengalaman pertama orang-orang Mentawai melihat surfing selalu mengandung kekaguman dan ketidakpercayaan.
“Dari ujung pulau yang satu ke ujung yang lain, banyak orang menonton surfing waktu pertama ada, entah tahun 2000-an atau 1990-an. Heran. Kenapa orang berdiri di atas ombak itu? Kok bisa? Aneh,” cerita Joni, salah satu anak muda Mentawai yang aktif berselancar.
Dengan nada serupa, Hiber, seorang warga lokal, juga berkisah dengan takjub: tidak mungkin orang bisa masuk dalam ombak, di antara pecahan ombak. Sewaktu masih sekolah, Hiber tak pernah percaya kisah itu karena belum melihat sendiri. Akhirnya, ketika libur main ke pantai, kebetulan saat itu ada turis asing yang sedang berselancar.
"Di sana kami percaya bahwa surfing memang benar. Kami dulu hanya menganggapnya candaan, bohong saja. Ternyata memang benar, orang itu bisa masuk dalam lubang pecahan ombak," kata Hiber.
Namun, jauh sebelum surfing tiba, orang Mentawai sudah berhubungan dengan ombak. Menjadi bagian tak terpisahkan buat orang Mentawai terlebih buat mereka yang tinggal dan beraktivitas di pesisir atau pulau-pulau kecil. Ombak adalah realitas sehari-hari. Datangnya surfing memperbarui relasi manusia-ombak Mentawai. Ada hal-hal baru yang dihasilkan oleh kehadiran peselancar di Mentawai dan perlahan tumbuhnya industri wisata selancar di sana.
Persepsi Orang Mentawai terhadap Ombak
"Dulu kami takut sama ombak besar. Sekarang, kalau ombak kecil malah dibilang tidak bagus."
Bapak Jam mengucapkan itu dengan santai. Matahari bulan November di Mentawai perlahan tenggelam. Sore di Ebay segera berakhir.
"Tapi kalau ombak kecil bagus buat mancing, kan?" tanya saya.
"Ya, itu benar juga," balas Jam sembari tersenyum.
Dalam konteks wisata selancar, persepsi warga Mentawai terhadap ombak memang banyak berubah. Pertama, orang Mentawai sekarang, terutama yang terlibat dalam bisnis wisata selancar, menganggap ombak besar sebagai hal yang bagus. Ombak besar jadi bagus karena akan mendatangkan para turis-peselancar ke pulau. Itu berarti pemasukan.
Kedua, ketakutan pada ombak besar tidak lagi sama seperti dulu. Ini dimungkinkan karena proses wisata selancar yang telah berlangsung bertahun-tahun di Mentawai. Karena itu pula para warga Mentawai tahu bahwa ombak besar bukan hanya badai atau malapetaka, tapi juga bisa berarti permainan dan kesenangan.
Memang ombak raksasa tetap menakutkan, tapi itu bukan persepsi satu-satunya. Bersama itu mereka tahu bahwa ombak besar punya banyak sisi lain— seperti bisa dipakai surfing, bisa menghasilkan pendapatan, dan bisa ditonton sebagai hiburan.
Ketiga, persepsi orang Mentawai terhadap ombak sebenarnya saling bertentangan. Tak ada persepsi tunggal. Ombak kecil bisa berarti bagus dan buruk buat orang yang sama pada situasi yang sama.
Bapak Jam, misalnya, tahu bahwa ombak kecil berarti tak akan ada atau tak banyak peselancar yang datang ke homestay-nya. Namun, pada saat yang sama, dia tahu ombak kecil bagus untuk memancing atau menjaring ikan. Sebaliknya, ombak besar akan mendatangkan peselancar dan pemasukan, tapi orang jadi tak bisa pergi ke laut—entah untuk mencari ikan atau berpergian antarpulau.
Pada dasarnya, entah saat kecil atau besar, orang Mentawai selalu punya alasan untuk merayakan ombak.
Perubahan relasi manusia dan ombak di Mentawai juga ditangkap Gerard Persoon lewat artikel “Conflict over Trees and Waves on Siberut Island”. Antropolog dari Universitas Leiden ini menyebut sebelumnya ombak tak punya nilai lokal apa pun di Mentawai. Orang Mentawai menganggap ombak sebagai ancaman dan sesuatu yang harus dihindari.
Ombak besar bisa berbahaya bagi pompong (sampan) kecil yang mereka naiki. Situasi kemudian berubah setelah sekumpulan bule datang dan mengapresiasi ukuran serta frekuensi ombak-ombak di perairan Mentawai. Dalam konteks sekarang, di Mentawai, sulit untuk melepaskan bahasan tentang ombak dari wisata selancar.
Salah satu hal menarik yang saya temukan di Siberut saat meneliti tentang relasi manusia-ombak Mentawai adalah istilah "ombak mereka." Di sini, ombak seperti terbelah jadi dua: "ombak mereka" untuk selancar dan "ombak kita" untuk aktivitas non-selancar.
Darius, salah satu karyawan resor selancar di Masokut, adalah yang pertama kali menyebut istilah ini kepada saya. Saat itu ia bercerita tentang sekelompok turis-peselancar Australia yang pulang lebih awal dari jadwal karena tak ada lagi ombak-ombak yang bisa diselancari. Musim ombak sudah usai di Mentawai, akhir November itu.
“Tidak ada ombak mereka,” kata Darius.
Hal senada diucapkan seorang lelaki paruh baya di sebuah teras di Desa Puro 2. “Cuaca badai berarti ombak bagus buat mereka (peselancar). Sedangkan kami takut sama badai,” ungkapnya.
Dua jenis ombak ini lantas makin terlihat berbeda bila diteropong dari kacamata pajak peselancar (surfer tax).
Di Mentawai, pemberlakuan retribusi pajak selancar diberlakukan sejak 2016. Setiap peselancar mancanegara diwajibkan membayar Rp1 juta untuk durasi 15 hari. Lewat jangka waktu itu mereka harus membayar lagi jumlah yang sama. Sedangkan, "peselancar Nusantara"—alias peselancar Indonesia dari luar Mentawai—mesti membayar Rp100 ribu per 15 hari. Satu-satunya kelompok yang tak perlu membayar untuk menikmati ombak Mentawai adalah mereka yang terdaftar sebagai warga Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Narasi soal "ombak mereka", "ombak kita", "ombak berbayar", dan "ombak gratis" ini dimungkinkan oleh perspektif utilitarian dalam memandang ombak. Persoon memakai istilah resource (sumber daya) untuk menganalisis persepsi terhadap ombak dalam konteks wisata selancar.
Chrisdianto, pegawai Tourist Information Center (TIC) Siberut, mendapuk ombak Mentawai sebagai "salah satu kekayaan dan aset daerah." Dia melihat dari sudut pandang otonomi daerah dan sepaham bahwa laut punya negara atau Pemda Mentawai.
“Mereka (peselancar non-Mentawai) menggunakan ombak Mentawai. Jadi, wajib dong mereka bayar retribusi,” ujarnya.
Roh di Ombak dan Ketegangan di Darat
Sudut pandang "ombak sebagai aset" bukanlah sudut pandang satu-satunya dalam memahami ombak di Mentawai. Secara tradisional, orang Mentawai percaya semua hal di alam semesta memiliki roh, termasuk laut dan ombak.
Batista, sikerei (dukun) yang saya temui di Siberut, menjelaskan ada tiga jenis roh di ombak: roh baik (simaeru), roh jahat (simakataik), dan roh penyabar (simaubaga). Saat manusia berada di ombak, ketiga roh ini berdebat satu sama lain. Roh baik ingin membawa manusia ke nasib baik, roh jahat ke nasib buruk, dan roh penyabar berperan sebagai penengah di antara keduanya.
Jadi, ketika orang Mentawai berada di ombak (entah lewat aktivitas selancar, mencari ikan, atau berpergian antarpulau), mereka sebenarnya tak hanya bertemu ombak tapi juga ketiga roh itu. Nasib mereka di laut ditentukan perdebatan ketiganya. Kepercayaan inilah yang mendasari "ketegangan" pada persepsi manusia Mentawai terhadap ombak.
Di satu sisi, mereka takut karena ombak berisi roh jahat yang bisa menuntun ke musibah. Di sisi lain, mereka percaya jika manusia berlaku baik dalam hidupnya, roh baik akan melindungi ketika berada di laut dan ombak.
“Kadang dalam perjalanan (melalui laut) saya berpikir: kalau ada ombak, apakah ombak ini akan menyelamatkan orang atau mematikan orang?” kata Joni.
Dalam konteks wisata selancar, saya mendapati relasi manusia-ombak di Mentawai adalah relasi yang bertolak belakang dan penuh ketegangan. Ombak bisa jadi baik dan jahat. Ombak bagus bisa berarti kecil atau besar. Ombak besar membikin takut, tapi juga menyenangkan buat (menonton) surfing.
Musim ombak diasosiasikan dengan musim kepiting (aggau) yang berarti rezeki, tapi juga musim badai yang berarti musibah. Ombak mesti dihadapi saat di laut (entah untuk selancar, mencari ikan, atau berpergian antarpulau), tapi juga harus dihindari. Dalam ketegangan-ketegangan itulah, orang Mentawai dan ombaknya hidup dengan intim. Bahwa hidup (bersama ombak) tak selamanya enak-enak tapi juga penuh onak.
Kemudian, wacana Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mentawai muncul ke permukaan. Pada mulanya adalah ombak. Lalu peselancar. Lalu investor dan Jokowi. Lalu apa lagi?
Editor: Nuran Wibisono