tirto.id - Perempuan bule duduk di bawah pohon rindang, ia berceloteh soal rasa iri pada orang Indonesia yang punya alam indah yang beragam. Orang Indonesia tak perlu melancong ke luar negeri untuk menikmati keindahan bawah laut dan dinginnya suhu pegunungan.
“Tanpa paspor di atas namamu, kamu bisa pergi ke pantai, surving, diving, ikan-ikan dari seluruh dunia lewat di sini. Oh di sana ada kapal kecil, sepertinya mau tenggelam, tapi tak apa, naik saja. Lima jam kemudian kamu sudah sampai di pulau kosong dimana ada biawak segede gini,” ujar perempuan bule itu sambil merentangkan tangannya.
Ini adalah curhatan Sacha Stevenson dalam video “Enaknya Jadi Orang Indonesia Menurut Bule” yang diunggahnya pada akun YouTube. Indonesia memang dikenal dengan pelbagai keanekaragaman dan keindahan alam khususnya di bawah laut.
Beragam terumbu karang yang berwarna-warni, ikan, dan biota laut lainnya dapat dijumpai hampir di setiap wilayah laut Indonesia. Dive Magazine, sebuah majalah diving terkemuka yang menjadi referensi para penyelam-penyelam dunia sempat menobatkan Indonesia sebagai negara dengan tujuan wisata diving terbaik dunia melalui survei di 2016.
“Dari Raja Ampat ke Bali, dari Komodo ke Sulawesi, Indonesia punya lebih banyak spot menyelam yang sudah mendunia dibandingkan negara lain,” tulis survei tersebut dalam divemagazine.co.uk.
Setelah Indonesia, peringkat kedua diisi oleh Papua Nugini lalu Filipina, disusul oleh Meksiko. Maladewa yang terkenal dengan wisata baharinya hanya di peringkat kelima. Setelah itu ada Australia, kawasan Laut Merah, Thailand, Bahama dan Palau.
Ironi Alam Bawah Laut
Hasil survei Dive Magazine sebenarnya tak mengherankan. WWF Indonesia pernah melansir bahwa potensi wisata bahari Indonesia mendominasi hingga 60 persen, wisata bentang laut seperti cruise, yacht mencapai 25 persen, dan wisata bawah laut seperti snorkeling dan diving mencapai 15 persen. Pemerintah memang sudah sadar potensi ini sebagai sumber devisa negara. Kementerian Pariwisata, menargetkan pemasukan devisa US$ 4 miliar atau sekitar Rp 54,5 triliun dari wisata bahari pada 2019.
Sayangnya, semakin terkuaknya kemolekan wisata bahari di Indonesia, di saat bersamaan potensi kerusakan bahari semakin besar. Salah satu biota laut yang kerap menarik perhatian wisatawan adalah terumbu karang. Belum lama ini media sosial diramaikan dengan foto-foto karang laut yang dicoret-coret oleh tangan jahil.
Padahal, terumbu karang merupakan ekosistem laut yang terdiri dari flora dan fauna laut yang umumnya didominasi oleh karang batu dan sebagai rumah bagi hewan laut. Ensiklopedia Nasional Indonesia menyatakan susunan biota ini terdiri dari beberapa macam organisme yang memiliki kalsium karbonat pada kulitnya. Indonesia, memiliki terumbu karang terbanyak di dunia, yakni 15 persen dari seluruh lautan di Bumi.
Namun, berdasarkan hasil riset Coremap LIPI dan LAPAN akhir 2008 lalu, hampir sepertiga kondisi terumbu karang di Indonesia berkategori rusak. Hanya sekitar 5 persen terumbu karang berkategori sangat baik, 25 persen baik, 30 persen sedang, dan 31,5 persen rusak.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga pernah mengungkapkan sebanyak 70 persen dari 2,5 juta hektar terumbu karang dalam keadaan rusak dan rusak berat. Sekitar 10 persen terumbu karang yang mengalami kerusakan di Indonesia berada di wilayah wisata dan industri seperti: Bali (Sanur), Bengkulu (Pulau Enggano), Jawa Barat (Pantura), Pulau Weh, Irian Jaya Barat (Kepulauan Raja Ampat), dan Kepulauan Seribu (Pulau Kelapa).
Kerusakan terumbu karang di Indonesia tentu berdampak pada kerusakan terumbu karang secara global. Saat ini kira-kira 20 persen terumbu karang di dunia sudah musnah. Sebanyak 30 persen lagi sudah menampakkan tanda-tanda kemusnahan serius dalam jangka waktu 30-40 tahun ke depan apabila tak segera ditangani.
World Conservation Union (WCU) meramalkan separuh dari terumbu karang di dunia akan lenyap menjelang 2045. Ini sangat mungkin juga melanda Indonesia yang kaya dengan terumbu karang. Ini tentu tak diharapkan. Persoalannya apakah geliat wisata bahari yang positif bagi ekonomi dan sosial, bisa diimbangi dengan kemampuan menjaga warisan alam yang sangat berharga? Jawabannya, bisa dimulai dari tak mencoret-coret terumbu karang.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra