tirto.id - Setiap tahun, World Economic Forum (WEF) merilis laporan yang ditunggu pemerhati pariwisata dunia: The Travel & Tourism Competitiveness Report. Tahun ini laporannya diberi judul Paving the Way for a More Sustainable and Inclusive Future. Seperti judulnya, laporan ini berkeinginan agar industri pariwisata bisa menjadi lebih berkesinambungan, terutama terkait alam dan komunitas lokal di dalamnya.
Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) mengukur faktor-faktor dan kebijakan pemerintah yang bisa mengembangkan sektor pariwisata dan perjalanan suatu negara. Sektor pariwisata dan perjalanan ini yang kemudian berkontribusi kepada perkembangan dan daya saing wisata suatu negara. Tahun ini, ada 136 negara yang turut dimasukkan dalam daftar daya saing pariwisata dunia ini.
Indeks daya saing ini terdiri dari 4 sub index, yakni Enabling Environment (iklim yang mendukung), Travel and Tourism Policy and Enabling Conditiong (kebijakan dan kondisi yang mendukung pariwisata), Infrastruktur, dan Sumber Daya Alam dan Budaya. Empat sub-index ini kemudian memiliki 14 pilar lain, serta 90 indikator. Masing-masing memiliki angka dan ukuran sendiri.
Jika ditilik secara garis besar, ada 10 negara yang memiliki daya saing pariwisata terbaik. Negara-negara ini memang sudah lama jadi tujuan wisata, kebanyakan adalah negara maju yang daya dukung dan infrastruktur pariwisatanya sudah amat maju. Peringkat pertama adalah Spanyol, berhasil mempertahankan posisinya seperti tahun lalu. Diikuti oleh Prancis, Jerman, Jepang, Britania Raya, Amerika Serikat, Australia, Italia, Kanada, dan Swiss.
Di kawasan Asia, pariwisata makin bergairah karena ekonomi yang berkembang. Ada lima negara Asia yang masuk dalam daftar negara paling berkembang di bidang perjalanan dan pariwisata. Yakni Jepang, Korea Selatan, India, Vietnam, dan Bhutan. Negara-negara di Asia Tenggara adalah daerah tujuan wisata yang paling punya harga bersaing. Kekurangannya adalah infrastrukturnya masih kurang baik.
"Meningkatkan kebijakan visa regional bisa meningkatkan perjalanan dan pariwisata lebih lanjut," tulis laporan ini.
Laporan TTCI 2017 ini punya empat temuan penting. Pertama, daya saing pariwisata meningkat terutama di daerah negara berkembang, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Kedua, meski di beberapa negara ada kebijakan proteksi --yang salah satunya dipicu oleh omongan Donald Trump-- tapi industri pariwisata dan perjalanan terus berjalan, menjadi jembatan alih-alih tembok. Salah satu indikatornya adalah meningkatnya jumlah perjalanan lintas batas negara, dan tren negara yang lebih melonggarkan kebijakan visanya.
Temuan ketiga adalah, konektivitas menjadi amat penting bagi negara-negara yang ingin pariwisatanya maju. Karena banyak negara sudah mengembangkan strategi digital. Keempat, meski kesadaran terhadap kelestarian lingkungan sudah mulai meningkat, tapi industri perjalanan dan pariwisata masih kesulitan mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan.
Daya Saing Pariwisata Indonesia
Indonesia tahun ini berada di peringkat 42 dalam senarai TTCI secara umum. Naik 8 peringkat dari tahun sebelumnya. Skor Indonesia adalah 4,16 dari total 7. Pencapaian ini memang lebih baik dari tahun sebelumnya. Secara peringkat, kita lebih baik ketimbang Turki, Barbados, Arab Saudi, Vietnam, atau Filipina. Namun, kita masih tetap ngos-ngosan mengejar negara raksasa pariwisata di Asia Tenggara seperti Thailand (peringkat 34, naik 1 peringkat), Malaysia (26, turun 1 peringkat), dan Singapura (13, turun 2 peringkat).
Yang patut dicermati, Malaysia dan Singapura peringkatnya turun. Sedangkan Thailand hanya naik 1 peringkat. Ini tentu menjadi kesempatan Indonesia untuk bisa mengejar tiga negara itu. Jika perbaikan terus dilakukan, bukan tidak mungkin dalam 4 atau 5 tahun lagi kita bisa menyamai Thailand atau Malaysia.
Indonesia punya keunggulan dalam hal sumber daya alam, dalam hal ini Indonesia punya wisata alam yang sukar ditandingi di kawasan Asia. Kita punya pantai, gunung, hutan, danau, hingga gurun pasir. Di dunia, daya saing wisata alam Indonesia berada di peringkat 14. Di Asia Tenggara, peringkat kita hanya kalah dari Thailand.
Selain perkara sumber daya alam, Indonesia juga amat unggul dalam pilar Price Competitiveness (PC), alias daya saing harga. Biaya hidup di Indonesia memang dianggap murah di seluruh dunia. Dalam pilar kedelapan ini, kita berada di peringkat 5 di seluruh dunia. Hanya kalah oleh Iran, Mesir, Malaysia, dan Algeria. Ini artinya, dengan biaya hidup dan biaya wisata yang dianggap murah, Indonesia akan menjadi tujuan wisata. Sebab daya saing harga adalah komponen amat penting dalam indeks daya saing pariwisata sebuah negara (tengok Forsyth dan Dwyer, 2014).
Ada dua faktor harga yang kemudian menjadi PC secara keseluruhan. Pertama adalah harga relatif dari negara asal turis dan negara tujuan. Contoh, di Amerika Serikat, uang 1 dolar mungkin hanya bisa membeli satu kudapan. Namun di Indonesia, dengan kurs Rp13.500, 1 dolar bisa untuk membeli satu porsi nasi lengkap beserta lauk. Faktor kedua adalah harga relatif yang bersaing antar negara tujuan wisata. Semisal, satu porsi nasi di Indonesia adalah Rp15 ribu, dengan lauk yang sama di Singapura harganya Rp45 ribu. Dalam hal ini, biaya hidup di Indonesia jauh lebih murah ketimbang di Singapura. Perbandingan seperti ini amat penting, terutama bagi wisatawan muda atau backpacker yang biasanya sensitif dengan harga.
Kelemahan Indonesia saat ini adalah soal layanan infrastruktur pariwisata. Kita hanya berada di peringkat 96. Begitu juga soal kesehatan dan higienitas. Kita hanya berada di peringkat 108. Kelemahan lain adalah kesiapan di bidang Information and Communication Technology (ICT). Kita hanya duduk di peringkat 91. Ini artinya, Indonesia kalah dari negara seperti Namibia, Botswana, Vietnam, atau Trinidad and Tobago.
Di zaman sekarang, ICT menjadi faktor penting bagi pariwisata sebuah negara. Internet menjadi alat komunikasi vital. Dan saat ini ada banyak penyokong industri pariwisata yang mengandalkan jaringan internet. Mulai dari penyedia tiket, biro perjalanan, restoran, hingga hotel. Maka pertanyaan "internet cepat untuk apa" jelas adalah penistaan terhadap perkembangan dunia pariwisata.
Ke depan, kita memang patut optimistis terhadap perkembangan pariwisata Indonesia. Pemerintah saat ini sedang mengebut pembangunan infrastruktur, mulai jalan tol hingga bandara. Tidak hanya di Jawa, tapi juga di Sumatera, Kalimantan, juga Papua. Perbaikan infrastruktur akan bisa meningkatkan daya saing infrastruktur yang saat ini masih berada di peringkat 96. Selain itu, keterbukaan Indonesia terhadap wisatawan internasional juga lebih baik. Tahun ini kita berada di peringkat 17, naik 38 peringkat dari tahun lalu. Ini adalah pengaruh dari kebijakan bebas visa bagi beberapa negara baru.
Namun, ada pula catatan yang penting untuk digarisbawahi. Sebagaimana yang ditulis di atas, kekuatan utama Indonesia adalah wisata alam (peringkat 14). Sayang sekali, ada banyak kasus perusakan alam di Indonesia. Mulai dari pembukaan hutan lindung untuk pertambangan emas, reklamasi untuk kepentingan bisnis, penggundulan hutan, hingga menghancurkan karst untuk tambang semen. Jika alam Indonesia rusak atau hancur, maka daya saing pariwisata kita akan merosot jauh. Apalagi kita jelas belum bisa bersaing di wisata buatan manusa (man-made tourism) melawan Singapura.
Jika pemerintah Indonesia memang serius mengembangkan pariwisata sebagai tulang punggung pendapatan negara, sudah seharusnya kelestarian alam menjadi prioritas.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti