tirto.id - Waralaba film Pirates of the Caribbean memperkenalkan kepada banyak orang tentang dunia para perompak yang keras, brutal, dan penuh tipu daya. Meskipun karakter utama waralaba film tersebut, Kapten Jack Sparrow, merupakan rekaan, dalam pertualangan-pertualangannya dia banyak berjumpa dengan tokoh yang terinspirasi dari kehidupan nyata.
Di Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides, misalnya, Kapten Sparrow dan krunya harus menghadapi tantangan dari salah satu perompak paling masyhur sepanjang sejarah, Blackbeard. Dalam film itu, Blackbeard dikisahkan tengah mencari sumber air ajaib yang dipercaya bisa memperpanjang hidup seseorang. Blackbeard pun di situ digambarkan sebagai praktisi ilmu sihir.
Namun, dalam kehidupan nyata, Blackbeard tidak seperti itu. Dia memang jahat dan kejam seperti yang digambarkan dalam film. Akan tetapi, sihir tidak pernah menjadi bagian dari legendanya. Justru, sosok bernama asli Edward Teach tersebut boleh dibilang merupakan seorang politikus.
Mengapa demikian? Ya, karena, pada suatu titik dalam perjalanannya, Blackbeard pernah menjadi salah satu tokoh penting sebuah "negara" di kawasan Karibia, tepatnya di kota Nassau yang kini menjadi ibu kota Bahama.
Republik Perompak Nassau (1706–1718)
Pada awal abad ke-18, Nassau mencuat menjadi salah satu markas perompak yang paling ditakuti. Di sana, para perompak seperti Blackbeard dan Charles Vane (yang juga ada versi fiktifnya di seri Pirates of the Caribbean) banyak menghabiskan waktu kala tidak melaut dan menjarah kapal-kapal dagang yang malang.
Lokasi Nassau yang strategis di Kepulauan Bahama membuatnya jadi tempat ideal bagi para perompak itu untuk menyusun strategi sebelum menjarah kapal-kapal yang jadi incaran.
Kala itu, Nassau sebetulnya sudah menjadi bagian dari imperium Kekaisaran Britania karena kota ini didirikan oleh sekawanan bangsawan Inggris. Namun, jaraknya yang jauh dari pusat kekuatan maritim Britania membuat pengawasan kolonial di sana menjadi sangat minim. Inilah faktor lain yang membuat Nassau menjadi surganya para bajak laut.
Nassau tidak cuma dijadikan tempat berkumpul dan menyusun strategi para perompak tadi. Lebih dari itu, di kota ini, mereka mendirikan sebuah pemerintahan mandiri yang secara kolokial acap disebut sebagai Republik Perompak. Republik ini "secara resmi" berdiri pada 1706 dan dipimpin secara de facto oleh Benjamin Hornigold dan Henry Jennings. Hornigold dan Jennings adalah rival yang akhirnya bersekutu dan membentuk kelompok baru bernama The Flying Gang.
Satu hal menarik dari Republik Perompak ini adalah mereka sudah mempraktikkan demokrasi dalam menunjuk kapten kapal. Penunjukan kapten kapal selalu dilakukan lewat pemungutan suara yang diikuti seluruh awak. Di samping itu, muncul pula sebuah perjanjian antarkelompok perompak yang memastikan agar setiap kelompok memperlakukan kelompok lainnya dengan penuh hormat.
Sayangnya, ada sisi negatif dari sistem pemerintahan tersebut. Tanpa ada sosok yang benar-benar mampu menundukkan semua orang, yang kemudian terjadi adalah persaingan antarperompak untuk jadi yang nomor satu. Alhasil, kekacauan pun sering kali terjadi di Nassau, dan ini membuat kekuatan kolonial di Eropa semakin khawatir akan stabilitas wilayah Karibia.
Sejumlah sumber mengatakan bahwa, pada masa jayanya, Nassau dihuni oleh lebih dari seribu perompak. Awalnya mereka hidup berdampingan dengan para kolonis. Namun, dengan semakin banyaknya perompak yang menyukai Nassau karena posisi geografisnya yang mudah untuk dipertahankan, para kolonis pun tersisih. Akhirnya, keberadaan para perompak pun tidak bisa dikendalikan lagi.
Liarnya pergerakan para perompak ini membuat semakin banyak kapal dagang yang diserang dan dijarah. Peristiwa ini, tentu saja, membuat pemerintah Britania, khususnya, mendapat tekanan hebat dari para saudagar yang mengalami kerugian. Inilah yang kemudian membuat aktivitas militer maritim Britania dan negara-negara Eropa lain akhirnya mulai digalakkan di kawasan tersebut.
Kembalinya Nassau ke Pelukan Britania
Pada 1718, Raja George I yang muak dengan gangguan para perompak Nassau mengirim pasukan yang dipimpin Gubernur Woodes Rogers, seorang mantan samun laut (pada dasarnya versi legal dari bajak laut) untuk merebut kembali kota tersebut. Setibanya di Nassau, Gubernur Rogers langsung memberikan dua pilihan: menyerah atau mati. Mereka yang menyerah akan diampuni, sementara yang melawan bakal dieksekusi.
Besarnya ekspedisi Rogers membuat para perompak kewalahan dan akhirnya memilih untuk menyerah. Dengan demikian, berakhirlah era keemasan perompak di Nassau. Kota ini pun dengan segera disulap menjadi pusat kekuatan maritim Kekaisaran Britania di wilayah Karibia.
Sejak berakhirnya era perompak, Nassau berubah menjadi sebuah kota yang perekonomiannya didorong oleh pertanian, perdagangan, serta aktivitas laut lainnya. Pulau ini menjadi titik penting bagi kapal-kapal Britania yang hendak menuju ke koloni mereka di Amerika dan begitu pula sebaliknya.
Nassau memang masih bergantung pada laut tetapi jenis aktivitasnya yang berubah. Lenyap sudah penjarahan dan perompakan, diganti dengan perikanan, pembangunan kapal, dan perdagangan.
Untuk mencegah kembali maraknya perompakan, pemerintah kolonial melakukan berbagai upaya ekstra, di antaranya membangun sejumlah benteng dan menggalakkan patroli laut. Upaya ini, pada akhirnya, berhasil mengubah Nassau dari yang tadinya merupakan surga para perompak, menjadi jalur perdagangan legal yang sangat menguntungkan.
Selain perdagangan laut, pertanian juga menjadi kekuatan ekonomi tersendiri bagi Nassau era kolonial. Dua produk utamanya adalah kapas dan nanas yang semuanya menjadi komoditas ekspor.
Transformasi Jadi Wisata Mewah
Memasuki abad ke-20, terjadi lagi sebuah transformasi di Nassau. Era perdagangan dan pertanian memang belum lewat sepenuhnya, tetapi seiring dengan semakin majunya moda transportasi yang membuat akses ke sana jadi semakin mudah, Nassau turut bersalin rupa menjadi destinasi wisata populer.
Keindahan alam Kepulauan Bahama membuat banyak turis asing, khususnya dari Amerika Serikat, yang mengunjungi Nassau. Dari sanalah kemudian pemerintah kolonial Britania memutuskan untuk menjadikan Nassau, khususnya, sebagai kawasan wisata luks dengan pembangunan hotel dan kasino.
Berkembangnya industri aviasi kian membuat Nassau semarak. Selebritas Hollywood, politikus, dan para taipan menjadikan Nassau sebagai taman bermain. Di sana mereka bisa menikmati keindahan alam, bersantai di resor-resor mewah, menikmati kehidupan malam yang bergairah, serta berjudi. Dilegalkannya perjudian pada 1960-an membuat Nassau pada akhirnya jadi surga judi setara Makau, Las Vegas, dan Monte Carlo.
Singkat kata, Nassau yang sekarang sudah berbeda jauh dengan Nassau yang dulu dihuni para perompak. Pertanyaannya, masih adakah sisa-sisa jejak para perompak dalam sendi kehidupan masyarakat Nassau modern?
Well, suka tidak suka, sejarah Nassau adalah sejarah bajak laut. Industri pariwisata Nassau, misalnya, tidak bisa lepas dari sejarah ini di mana Museum Perompak Nassau menjadi salah satu destinasi terpopuler. Selain itu, berbagai festival bertema perompak juga sering digelar di sana. Suvenir-suvenir bajak laut pun masih laris manis hingga kini.
Jika digali lebih dalam lagi, kultur perompak masih bertahan dalam industri lain yang menopang perekonomian Nassau dan Bahama. Yakni, industri perbankan. Dengan regulasi pajak minimum dan hukum yang menjaga kerahasiaan nasabah, bank-bank di Nassau menjadi idaman orang-orang super kaya yang ingin hartanya tidak diutak-atik pemerintah. Bisa dibilang, ini adalah praktik penyelundupan harta dari satu tempat ke tempat lain dan, tentu saja, penyelundupan adalah praktik yang biasa dilakukan oleh para perompak masa lalu.
Satu hal lain yang, kurang lebih, mengingatkan pada era perompak adalah disparitas antara para pendatang dan warga lokal. Dulu, para perompak yang merupakan pendatang berhasil menggusur warga lokal. Kini, warga lokal pun kembali tersisih dalam kehidupan sosial Nassau dan Bahama.
Bahama merupakan salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Namun, angka itu berasal dari para pendatang kaya yang ingin menghindari pajak di negara asalnya. Sementara itu, para warga lokal sering kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Artinya, Nassau belum bisa betul-betul lepas dari masa lalunya yang kelam.
Namun, tentu saja, evolusi Nassau belum selesai. Kota ini masih terus berbenah untuk menyiapkan masa depan. Salah satunya dengan gerakan menuju pariwisata yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Tujuan utamanya adalah menjaga kelestarian alam. Dari sini, diharapkan, perekonomian warga lokal pun bisa lebih meningkat dengan semakin kayanya sumber daya yang bisa dimanfaatkan. Ketergantungan pada sektor turisme pun, secara otomatis, dapat ditekan.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi