Menuju konten utama

Legenda Bajak Laut Berlanjut

Asia Tenggara termasuk kawasan dagang yang selalu diincar bajak laut. Selat Malaka dan Laut Sulu adalah daerah yang cukup sering mendapat gangguan bajak laut.

Legenda Bajak Laut Berlanjut
Komandan pos angkatan laut pulau Nipa Letda laut teknik Asep (kanan) memimpin patroli di kawasan pangkalan angkatan laut pos pengamatan pulau Nipa, Batam. [Antara Foto/Puspa Perwitasari]

tirto.id - Bajak laut bukan lagi dongeng dari masa silam. Abu Sayyaf kembali menghidupkan lagi cerita bajak laut yang berjaya pada abad-abad silam. Abu Sayyaf dan pengikutnya tentu bukan bajak laut kuno bermata satu. Mereka harusnya sudah pakai senjata api macam Kalasnikov juga.

Awal tahun 2016, kelompok Abu Sayyaf menyandera 10 awak kapal tugboat Brahma 12, dan baru membebaskannya pada 1 Mei 2016. Rupanya, penculikan dan penyanderaan berulang juga pada awak kapal tugboat lain, pada 20 Juni 2016 terhadap kapal Charles. Pembajak minta tembusan 20 juta ringgit. Begitulah bajak laut masa kini. Mereka bukan lagi merampok isi kapal lalu pergi, melainkan menculik seisi kapal lalu menyandera untuk minta tebusan.

Sekarang, mari kita berbicara tentang lokasi bajak laut pimpinan Abu Sayyaf yakni Laut Sulu. Lautan ini dikelilingi oleh Malaysia, Brunei, dan juga Indonesia selain Filipina. Sulu tak hanya merupakan nama laut, tetapi juga merujuk pada sebuah Kesultanan Islam di selatan Filipina bernama Sulu, yang pernah menguasai lautan di Selatan Filipina. Beberapa daerah di ujung timur laut pulau Kalimantan pernah menjadi wilayah taklukkannya.

Ada Lanun di Sekitar Selat Makassar

Sekitar tahun 1970an, Sultan Sulu, pernah dituduh sebagai raja bajak laut oleh Malaysia. Bulan Maret 2013, Lahad Batu di Sabah, yang merupakan wilayah Malaysia di Kalimatan, diserang oleh tentara Sulu. Menurut Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, jumlah tentara itu sekitar 100 hingga 300 orang. Tak hanya tentara, pesawat jet tempur juga dikerahkan untuk menjinakkannya. Sulu adalah bahaya besar bagi Malaysia.

Di masa lalu, bajak laut di sekitar Sulu dianggap masalah besar. Adrianus Bernard Lapian, dalam Bajak Laut, Orang Laut, Raja Laut (2009) menuliskan, bajak laut di sekitar Sulawesi bagian utara itu sering disebut lanun, berasal dari kata I lanao en yang berarti orang dari danau. Semula mereka di pedalaman, lalu menyebar pesisir pantai di sekitar Kesultanan Sulu. Lanun adalah kelompok bajak laut yang tergolong kuat, bahkan tak bisa dihabisi oleh kerajaan-kerajaan di sekitar Malaysia, Filipina maupun Indonesia.

Menurut Edward Polinggomang dalam bukunya Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim (2002), pihak Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga pernah menuntut Kesultanan Sulu untuk membereskan para bajak laut yang merajalela di wilayahnya. Sulawesi bagian utara adalah daerah yang sering menjadi sasaran para bajak laut Sulu yang merajalela.

Tak hanya di Sulawesi bagian utara, aksi bajak laut Sulu bahkan juga sampai di daerah Kutai, Kalimantan Timur. Konon, gangguan bajak laut bahkan membuat Kerajaan Kutai Lama memindahkan istana rajanya.

Menurut R.Z, Leiriza, dalam Sejarah Kebudayaan Maluku (1999), perahu yang sering dipakai oleh bajak laut yang berada di sekitar kepulauan Sulu adalah perahu kora-kora. Kora-kora memiliki ciri bentang satu layar berbentuk persegi panjang, berbadan lebar dan pendek, berlambung rendah, dan ujung-ujungnya tinggi serta dihias. Senjata tajam mereka bermacam-macam dan berbagai ukuran.

Selat Malaka dan Bajak Laut Sriwijaya

Selain sekitar Laut Sulu di sekitar Selat Makassar, lokasi operasi bajak laut lainnya adalah Selat Malaka. Perairan ini sudah ramai sejak ribuan rahun silam. Kapal-kapal dagang dari India dan Cina sering melintasi jalur laut tersebut untuk perdagangan. Kapal-kapal kaya muatan itu biasanya menjadi sasaran bajak laut. Tak hanya ratusan tahun silam, menurut data survey Biro Maritim Internasional tahun 2000, sejak satu dekade sebelumnya, kawasan Selat Malaka adalah yang paling rawan gangguan bajak laut.

Tanah Singapura dulunya disebut Tumasik. Sekitar tahun 1390an, ini pernah dikuasai oleh Parameswara, tokoh Palembang yang punya istri putri Majapahit. Karena dia menolak tunduk pada Majapahit dia terusir dari Palembang yang dikuasai Majapahit. Selanjutnya dia sampai ke Tumasik dan menyingkirkan raja Tumasik. Hingga dia pun jadi raja. Parameswara lalu sebagai Raja Bajak Laut.

Di zaman sebelum Parameswara, bajak laut di sekitar Selat Malaka sudah hal biasa. Selain Tumasik, Riau pun bisa jadi daerah sarang bajak laut. Menurut Sejarawan Slamet Muljana, dalam bukunya Sriwijaya (2006) daerah Riau yang agak sepi dari pelayaran niaga menjadi sarang bajak laut yang beroperasi di Selat Malaka.

Lapian juga mencatat, Fa-Hsien yang sedang dalam perjalanan pulang dari India (413-414), menyebut perairan di Asia Tenggara dipenuhi oleh bajak laut. Menurut Jiadan (785-805), pangkalan bajak laut berada di sebelah barat-laut Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya dianggap sebagai kerajaan yang memanfaatkan bajak laut untuk menjaga kepentingan dagangnya. Hubungan bajak laut dengan raja-raja lokal biasanya akrab. Bajak laut bisa disulap jadi Angkatan Laut sebuah kerajaan jika ada bagi hasil yang saling menguntungkan antara raja dan kepala bajak laut.

Menurut Gangguan bajak laut dari Cina, Sriwijaya dan Tumasik membuat sebagian pedagang dari Asia Barat lebih memilih melewati pesisir barat Sumatera untuk menuju Jawa. Di pesisir barat Sumatera, setidaknya ada beberapa pelabuhan seperti Barus, Padang atau Pariaman.

Menurut AB Lapian, sejak awal abad XIX, pengaruh bajak laut di Indonesia makin berkurang. Para bajak laut banyak diburu oleh pemerintah kolonial. Bajak laut digolongkan sebagai kriminal. Dalam sejarahnya, Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang merupakan Tentara Kolonial Hindia Belanda pun pernah dapat tugas menghalau para bajak laut.

Di tahun 1835, KNIL pernah dikirim ke Belitung untuk melawan bajak laut. Selain itu, setidaknya KNIL pernah dikirim ke Kepulauan Sangir (1863), Manado (1865), Pantai Timur Sumatera East (1885) dan Batu Barah (1886). Meski begitu, bajak laut sejatinya masih ada di kawasan Asia Tenggara di masa-masa sesudahnya. Banyak pulau-pulau kosong yang tak terjangkau oleh pemerintah kolonial, sehingga pulau-pulau itu sangat bagus untuk menjadi sarang bajak laut.

Beberapa negara seperti Indonesia sudah punya satuan bersenjata seperti Polisi Perairan maupun Angkatan Laut yang bisa dikerahkan untuk menghalau bajak laut, tak hanya di sekitar Laut Sulu atau Selat Makassar saja. Namun, bajak laut tetap saja ada. Di beberapa daerah bahkan ada fenomena bajak sungai yang sering mengganggu kapal-kapal bermuatan. Bajak laut memang tak pernah hilang dari sejarah maritim Indonesia.

Baca juga artikel terkait HUKUM atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Hukum
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti