tirto.id - Suatu ketika di tahun 1973, seperti pada hari-hari yang lain, Gubernur Jakarta Ali Sadikin didatangi para wartawan. Kali ini mereka memberondongnya pertanyaan soal kelanjutan nasib judi di ibu kota. Bang Ali, yang sudah kenyang dengan sebutan “Gubernur Maksiat” karena melegalkan judi, akhirnya naik pitam.
“Kalian seperti beo saja,” kata Ali. “Pemerintah bicara judi, kalian juga ikut-ikutan bicara soal judi. Apa maunya?”
Wajar belaka pikiran Ali karut dan jadi emosi. Sebabnya tidak lain pelarangan judi bisa bikin Jakarta melarat seketika.
Hari pertama bekerja sebagai Gubernur Jakarta, Ali tak menyangka bahwa pemerintah pusat hanya membekalinya uang Rp66 juta–itu pun sudah ditambah dengan pemasukan pajak daerah. Dua kali dia bertanya kepada Wakil Gubernur H. Sapi’ie dan ia mendapat jawaban yang sama.
“Masya Allah,” Ali membatin.
Ketika itu Jakarta dihuni oleh 3.060.000 orang dan Ali memprediksi jumlahnya bakal naik seiring dengan derasnya arus urbanisasi. Pemerintah daerah tentu harus mengurus beragam fasilitas untuk masyarakat, dari lahir hingga mangkat, mulai soal makanan, kesehatan, pendidikan, dan tentu liang lahat.
“Dengan Rp66 juta? Mana mungkin!” kata Ali seperti dicatat Ramadhan K.H dalam memoar Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Maka satu hal yang harus digenjot Ali adalah pemasukan daerah dari pajak. Pada masa itu wajib pajak yang punya uang tak mau membayar, sedang yang miskin tentu tak mampu melunasi kewajibannya.
Harus ada sumber pendapatan baru. Dan itu adalah judi. Bagi Ali, ketimbang mereka berjudi diam-diam, lebih baik dilegalkan dan sebagai imbalannya harus ada uang yang ditarik dari sana untuk menambah pemasukan daerah.
Ali Sadikin melegalkan perjudian pada 1967 lewat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Chusus Ibukota Djakarta No. 805/A/k/BKD/1967. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah.
Adapun izin perjudian dilakukan lewat tender. Selain itu prosesnya hanya dapat diikuti oleh keturunan Tionghoa–dengan anggapan bahwa mereka memang gemar bertaruh. Dua orang, Apyang dan Yo Putshong, keluar sebagai pemenang.
Apyang adalah nama lain dari Jan Darmadi. Ia diwarisi keahlian menyelenggarakan bisnis judi dari ayahnya. Dia kelak menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Joko Widodo pada 2015 dan saat bersamaan berperan sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem.
Setidaknya ada dua kasino milik Apyang: Copacabana di Ancol dan PIX di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat–kasino pertama di Jakarta. Perjudian bernama macam-macam, mulai dari totalisator, lotto (lottery totalizator), hingga hwa-hwe (tebak angka).
Kebijakan ini berhasil. Pemasukan Jakarta melesat. Dari pemasukan tersebut pemerintah Jakarta bisa membangun sekolah, pemeliharaan jalan, dan beragam fasilitas lain. Taman Ismail Marzuki adalah salah satu fasilitas yang kecipratan subsidi dari pajak judi.
Ali mengaku jumlah pajak yang didapat dari judi tak kurang dari Rp20 miliar. Jika judi dihapuskan, maka ia hampir pasti yakin Jakarta akan kesulitan mencari dana untuk bisa meneruskan pembangunan.
Di akhir kepemimpinan Ali tahun 1977, APBD Jakarta sudah mencapai angka Rp122 miliar atau sekitar 1.800 kali dari sebelumnya.
Tentu saja tidak semua orang senang dengan kebijakan ini. Ali pernah diprotes oleh berbagai kelompok, salah satunya anak-anak muda yang menamakan diri “Generasi Muda”. Tapi Ali malah menantang balik mereka: mencari solusi permasalahan ekonomi Jakarta.
“Coba, apakah itu anak-anak muda yang menamakan dirinya Generasi Muda sanggup kentut yang bisa menghasilkan uang bermiliar rupiah? Ayo, coba!”
Kebijakan ini memang akhirnya tak diteruskan, tapi bukan karena protes masyarakat, melainkan keputusan dari pusat. Legalisasi judi di Jakarta tamat pada 1974 berkat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Sampai Akhir Pro Legalisasi
Ali Sadikin dipilih sebagai Gubernur Jakarta oleh Presiden Sukarno di akhir masa kekuasaannya. Ali awalnya tak habis pikir mengapa Bung Karno memilih seorang mayor jenderal KKO sepertinya sebagai pemimpin ibu kota.
Tapi pertanyaan itu terjawab beberapa hari sebelum pelantikan. Selain karena punya istri yang cukup tangguh dalam menghadapi urusan diplomatik, Ali juga dianggap seorang yang “een koppige vent, koppig”. Bahasa Belanda yang arti sederhananya adalah 'orang yang keras'.
“Saya kira dalam hal mengurus kota Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid (sedikit keras kepala),” kata Bung Karno sepenuturan Ali.
Sukarno memang disingkirkan perlahan dalam periode itu, tapi sifat keras kepala yang dulu ia terawang dalam diri Ali memang betul nyata. Sampai puluhan tahun kemudian Ali tetap memandang kebijakan pelegalan judi sudah tepat.
Dalam wawancara dengan Tempo pada 2 Juli 2000, Ali mengucap: “Jika hanya menimbulkan kerugian karena ditutup lalu menyebar ke mana-mana, lebih baik judi dilokalisasi.”
Ali paham bahwa agama–utamanya kala itu Islam–memandang buruk perjudian bahkan memvonis pendosa pelakunya. Ali pun tahu “judi itu haram” dan karena itu dia sendiri mengaku tidak pernah melakukannya. Oleh karena itu menurutnya judi diperuntukkan bagi kalangan tertentu saja.
Jika orang Islam tetap berjudi, maka itu tidak lain karena imannya bobrok. “Dan itu bukan salah gubernur,” katanya.
Dia juga mengatakan: “Bapak-bapak harus pakai helikopter kalau mau ke mana-mana, karena jalan-jalan di ibu kota dibuat dari uang judi,” kepada mereka yang tetap sinis terhadap caranya membangun ibu kota.
(Bersambung...)
Editor: Rio Apinino