tirto.id - Mantan politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean tersandung kasus hukum. Semua berawal dari twit dia di akun Twitter @FerdinandHaean3 yang berbunyi “Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah, harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, Dialah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela.” Twit tersebut lantas dipersoalkan publik dan ia pun dilaporkan ke polisi.
Penyidik kemudian menetapkan Ferdinand sebagai tersangka pada Senin (10/1/2022). Ferdinand ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan hasil pemeriksaan 17 saksi, 21 saksi ahli dan Ferdinand sendiri selaku terlapor.
“Setelah dilakukan gelar perkara, penyidik atau tim penyidik diret (direktorat) siber telah mendapatkan dua alat bukti sesuai dengan Pasal 184 KUHAP sehingga menaikkan status saudara FH dari saksi menjadi tersangka,” kata Karopenmas Divhumas Mabes Polri Brigjen Rusdi Hartono, Senin malam.
Ferdinand lantas dianggap melanggar Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946 juncto Pasal 45 ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan total ancaman hukuman 10 tahun. Penyidik menggunakan dasar bukti berupa dua keping DVD dan satu screenshoot. Penyidik tidak menetapkan pasal penodaan dalam kasus Ferdinand.
“Sementara tadi tidak. Jadi pasalnya Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 peraturan hukum pidana UU 1 tahun 1946," kata Rusdi.
Penyidik juga langsung melakukan penahanan terhadap Ferdinand selama 20 hari di Rutan Cabang Jakarta Pusat di Mabes Polri. Penahanan dilakukan sesuai dengan alasan subjektif penyidik, yakni dikhawatirkan melarikan diri, mengulangi perbuatan maupun menghilangkan barang bukti serta alasan objektif yakni pasal yang disangkakan lebih dari 5 tahun.
Pasal Keonaran Berpotensi Jadi Pasal Karet Baru?
Pasal yang ditetapkan kepada Ferdinand ternyata bukan kali pertama dilakukan kepolisian. Pasal ini sebelumnya digunakan kepolisian dalam kasus Ratna Sarumpaet. Ratna yang terkenal kontra dengan pemerintah akhirnya masuk bui dengan pasal yang sama karena menyampaikan informasi tentang isu pemukulan kepadanya. Padahal, Ratna justru melakukan operasi plastik. Ratna lantas divonis 2 tahun penjara di tingkat pertama dan diperkuat di tingkat banding.
Selain kasus Ratna, Bahar bin Smith juga dijerat dengan pasal yang hampir sama. Bahar dan koleganya, TR dijerat Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Pasal 55 KUHP.
Lantas, apakah pasal ini berpotensi menjadi pasal karet baru? Peneliti ELSAM Parasurama memandang bahwa Pasal 14 dalam Undang-Undang 1 tahun 1946 adalah pasal berkaitan penanganan hoaks. Pasal ini memang berpotensi karet jika digunakan di luar perbuatan hoaks.
“Sebenarnya kalau saya lihat penggunaan Pasal 14 di luar perbuatan hoax itu punya potensi karet karena memang ini mendasarkan pada subjektivitas aparat akhirnya. Pasalnya bicara mengenai hoax aparat melihat ini sebagai keonaran saja padahal keonaran menjadi salah satu unsur dari hoax, dari Pasal 14,” kata Parasurama kepada reporter Tirto, Selasa (11/1/2022).
Parasurama menerangkan, pasal ini berpotensi karet karena bisa digunakan sebagai alat kriminalisasi bagi para aktivis. Hal itu dipicu oleh penafsiran subjektif penegak hukum sehingga pasal tersebut karet.
Ia memandang, UU No. 1 Tahun 1946 secara umum memuat pasal-pasal karet. Misalnya, penerapan pasal hoaks terhadap Ferdinand tidaklah tepat karena perbuatannya tidak sesuai dengan substansi Pasal 14.
“Kan biasanya kita bicara mengenai pasal karet itu bicara tentang pasalnya. 27 ada unsur pasal yang ditafsirkan secara luas kalau Pasal 14 Undang-Undang 1 tahun 46 ini dia pasalnya berita bohong, tapi penerapannya pada ujaran kebencian. Ini yang jadi keliru sebenarnya,” kata Parasurama.
Parasurama menegaskan, kasus Ferdinand beda dengan kasus Ratna Sarumpaet. Ia beralasan, Ratna terbukti secara sah dan meyakinkan berbohong, sementara kasus Ferdinand tidak seperti kasus Ratna dari sisi berbohong.
Meskipun berpotensi karet, Parasurama memandang urgensi pasal ini diubah tidak sebesar revisi UU ITE. Akan tetapi, RKUHP perlu menangkap momen ini agar tidak penerapan pasal tidak serampangan di KUHP yang baru.
“RKUHP saat ini harus bisa menangkap fenomena-fenomena di mana aparat penegak hukum ini menafsirkan secara luas penerapan hoax dalam kasus ini. Artinya ada bentuk integrasi dan pembatasan yang jelas agar tidak berpotensi membatasi hak secara sewenang-wenang," kata Parasurama.
Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi memandang bahwa pasal dalam UU 1 tahun 1946 memang cenderung karet. Ia mengakui bahwa ada potensi multitafsir dalam aturan tersebut.
“Syaratnya pidana harus lex certa, harus pasti. Yang multitafsir begitu harus diperjelas," kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Selasa (11/1/2022).
Fachrizal pun menilai, makna keonaran dalam pasal tersebut, salah satunya Pasal 14 perlu diukur dengan jelas. Ia menyarankan agar diukur lewat putusan atau kompilasi tuntutan. Namun ia menyarankan agar aturan UU 1 tahun 1946 direvisi untuk mencegah salah tafsir dan menjadi pasal karet.
Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramowardhani tidak memungkiri pemerintah akan mengkaji kehadiran pasal keonaran jika memang mengarah kepada pasal karet. Ia mengingatkan pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden ingin agar penegakan hukum pidana secara tegas, tetapi tidak berlebihan dalam UU ITE. Oleh karena itu, pemerintah mengkaji dan mencegah penerapan pasal secara karet.
“Nah saya rasa dalam konteks yang berbeda ini juga kalau misalkan ini memang justru memicu keresahan publik mengenai penerapan pasal ini bisa jadi ini suatu saat juga akan dikaji untuk diperlakukan dengan UU ITE," kata Jaleswari saat ditemui di Gedung Bina Graha, Jakarta, Selasa (11/1/2022).
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz