Menuju konten utama

Menilik Kembali Kebijakan Kontroversial Eks Menkeu Sri Mulyani

Dari realokasi anggaran tanpa RAPBN hingga dua jilid tax amnesty. Ini tiga kebijakan kontroversial Sri Mulyani saat jabat Menkeu.

Menilik Kembali Kebijakan Kontroversial Eks Menkeu Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono (kedua kiri) dan Anggito Abimanyu (kedua kanan) berjalan memasuki ruangan untuk memberikan pemaparan pada konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (23/5/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/tom.

tirto.id - Menteri Keuangan periode 2024-September 2025, Sri Mulyani, resmi melepaskan posisinya pada Senin (8/9/2025), saat Presiden Prabowo Subianto melantik mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa. Setelah melaksanakan serah terima jabatan pada keesokan harinya, Sri Mulyani dilepas oleh ratusan pegawai Kementerian Keuangan dan meninggalkan gedung kementerian yang berada di kawasan Lapangan Banteng itu.

Namun, di balik pelepasan penuh haru, banyak masyarakat menyoroti kebijakan-kebijakan kontroversial yang pernah dirancang mantan bendahara negara itu. Beberapa kebijakan tersebut antara lain:

Kenaikan Tunkin Pegawai Kemenkeu hingga 300%

Kenaikan tunjangan kinerja (tukin) hingga 300 persen terungkap setelah Sri Mulyani meluncurkan buku Authorized Biography, No Limits Reformasi dengan Hati, Jumat (20/9/2024). Kenaikan tukin hingga tiga kali lipat itu tepatnya terjadi pada awal masa jabatan Sri Mulyani, yakni pada 2005.

Pada saat itu, ia mendapati bahwa gaji Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang memiliki tanggung jawab amat besar sangat rendah. “Saat beliau menjadi Menkeu tahun 2005. Beliau mendapati fakta, gaji Dirjen Pajak yang tanggung jawabnya amat besar bagi APBN, ternyata lebih rendah dari seorang PhD yang menjadi peneliti di LPEM UI,” kata Yustinus Prastowo, yang pada saat itu masih menjabat sebagai Stafsus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis, dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis (11/9/2025).

Selain menaikkan tukin hingga 300 persen, Sri Mulyani juga menyesuaikan take home pay para pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Namun, menurut Prastowo, penyesuaian itu tidak semata-mata karena gaji para pegawai Ditjen Pajak yang dinilai terlalu kecil, melainkan lebih kepada proses reformasi birokrasi instansi fiskal negara.

“Yang dilakukan tak sekadar menyesuaikan take home pay pegawai, tetapi juga merombak sistem pelayanan, memodernisasi kantor pajak, merevisi UU Perpajakan, membangun unit kepatuhan internal, pedoman kode etik, dan tentu saja rasionalisasi dan optimalisasi target penerimaan,” jelasnya.

Upaya itu dinilai membuahkan hasil positif. Pada 2004, misalnya, jumlah Wajib Pajak (WP) yang terdaftar baru mencapai 2,37 juta WP. Padahal, target penerimaan perpajakan ditetapkan sebesar Rp279,2 triliun, dengan ukuran APBN baru sebesar Rp430 triliun.

Satu dekade kemudian, jumlah WP terdaftar naik hingga 27,84 juta WP atau meningkat 1.019,8 persen. Adapun target penerimaan pada 2014 dipatok senilai Rp966,9 triliun atau naik 346,3 persen, dan ukuran APBN sebesar 346,3 persen.

Tax Amnesty Jilid I dan II

Kebijakan selanjutnya yang menimbulkan pro dan kontra adalah pengampunan pajak alias Tax Amnesty Jilid I dan Tax Amnesty Jilid II.

Tax Amnesty Jilid I berlangsung pada 2016-2017 dan dibagi menjadi tiga periode: pengampunan pajak yang dimulai 28 Juni-30 September 2016; periode 1 Oktober-31 Desember 2016; dan 1 Januari-31 Maret 2017. Kebijakan ini didasari oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang di dalamnya disebutkan bahwa WP hanya perlu mengungkapkan harta dan membayar tebusan pajak sebagai bentuk pengampunan atas harta yang selama ini tidak pernah dilaporkan.

Melalui program ini, pemerintah memberikan beberapa fasilitas seperti penghapusan sanksi administratif; ditiadakannya pemeriksaan pajak untuk penindakan dengan tujuan pidana; penghapusan segala pajak yang terutang; penghentian pemeriksaan pajak bagi yang sedang diperiksa; tidak adanya pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Final untuk pengalihan harta berupa saham, bangunan, atau tanah; dan khusus bagi WP yang menyimpan hartanya di negara lain, diwajibkan merepatriasi harta yang selama ini tersimpan di luar negeri untuk diinvestasikan di Indonesia selama tiga tahun, baik dalam bentuk obligasi BUMN, instrumen investasi keuangan pada bank dalam negeri, obligasi perusahaan dalam negeri, kerja sama dengan pemerintah, atau instrumen investasi lainnya.

Sampai akhir pelaksanaannya, Tax Amnesty Jilid I diikuti 956.793 wajib pajak, dengan nilai harta yang diungkap mencapai Rp4.854,63 triliun. Namun, pencapaian program repatriasi dalam Tax Amnesty Jilid I jauh dari target Rp1.000 triliun, dengan komitmen repatriasi pajak hanya senilai Rp147 triliun atau setara 14,7 persen dari target. Sementara, nilai harta deklarasi dalam negeri mencapai Rp3.676 triliun dan nilai harta deklarasi luar negeri Rp1.031 triliun.

Hanya berselang lima tahun, seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Sri Mulyani lantas mengumumkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai Tax Amnesty Jilid II.

“Mendingan daripada hidupnya nggak berkah, lebih baik ikut saja. Daripada nggak berkah dan bisa kena (sanksi) 200 persen, lebih baik ikuti saja. Ini kesempatan 6 bulan,” ujar Sri Mulyani dalam sosialisasi UU HPP, Jumat (17/12/2021).

Sejak awal 2022 hingga Juni, pemerintah mengantongi Pajak Penghasilan (PPh) senilai Rp61,01 triliun dari 247.918 wajib pajak yang mengikuti Tax Amnesty Jilid II dengan 308.059 surat keterangan. Jumlah harta bersih yang diungkap sebesar Rp594,82 triliun.

Deklarasi harta yang berasal dari dalam negeri dan yang direpatriasi senilai Rp512,57 triliun. Adapun harta yang dideklarasi tetapi tetap berada di luar negeri senilai Rp59,91 triliun, dan harta yang diinvestasikan mencapai Rp22,34 triliun. Usai program ini selesai, Sri Mulyani memastikan tidak ada kebijakan pengampunan pajak di masa depan, baik dalam format tax amnesty maupun program pengampunan sukarela (PPS).

“Kami tidak akan lakukan lagi program pengampunan pajak, data akan jadi baseline untuk melakukan upaya-upaya enforcement dan penegakan hukum secara konsisten bagi seluruh wajib pajak,” ujar dia dalam konferensi pers PPS, Jumat (1/7/2022).

Penerapan Tax Amnesty sebanyak dua kali dalam jangka waktu tak sampai 10 tahun membuat banyak ekonom menilai pemerintah terlalu berbaik hati kepada para pengemplang pajak. Padahal, di negara lain, pengampunan pajak biasanya hanya dilaksanakan sekali atau berulang tetapi dengan jeda waktu yang sangat panjang. Kebijakan ini juga dinilai tidak memberi manfaat signifikan bagi negara dan membuktikan bahwa pemerintah kurang kreatif dalam mencari sumber penerimaan baru.

“Iya (pemerintah) pertama tebang pilih, kedua berburu di kebun binatang, ketiga disebut primitif karena kebijakan menaikkan tarif PPN adalah kebijakan yang tidak butuh kreativitas. Yang dikejar cuma wajib pajak dan objek pajak yang sudah terdaftar, bukan perluas basis pajak. Kan ada pajak kekayaan, pajak karbon, ada pajak ekologis, banyak yang belum dieksplor pemerintah,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), kepada Tirto, Rabu (20/11/2024).

Rombak Anggaran tanpa APBN Perubahan

Memasuki masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, mantan Menteri Pertahanan itu mengamanatkan Sri Mulyani untuk menjalankan efisiensi anggaran agar program-program prioritas dengan anggaran jumbo dapat terlaksana.

Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 dan ditegaskan dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, Prabowo menginstruksikan efisiensi APBN 2025 sebesar Rp306,69 triliun. Dari total efisiensi tersebut, sebanyak Rp256,10 triliun berasal dari anggaran belanja K/L, sementara Rp50,59 triliun dari transfer ke daerah (TKD).

“Presiden (Prabowo) menyampaikan dalam instruksi untuk melakukan fokus anggaran agar makin efisien dan penggunaan anggaran akan ditujukan kepada langkah-langkah yang memang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat langsung, seperti Makan Bergizi Gratis,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Jumat (24/1/2025).

Namun, ia menegaskan bahwa efisiensi yang dijalankan bukan berarti memangkas total belanja negara, melainkan melakukan refocusing anggaran. Dengan demikian, tidak ada dampak negatif dari efisiensi anggaran ini terhadap perekonomian domestik.

“Kami terus melakukan monitoring dari langkah-langkah ini, terutama dari kecepatan untuk melakukan belanja selanjutnya. Namun, spirit membangun efisiensi dari birokrasi akan tetap dipertahankan,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Jumat (14/2/2025).

Baca juga artikel terkait SRI MULYANI atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana