tirto.id - Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penyelewengan dana desa di Pamekasan, Jawa Timur, pada awal Agustus lalu menguak tabir kusutnya pengelolaan dana desa di sejumlah daerah. OTT tersebut menjadi peringatan keras agar pemerintah meningkatkan pengawasan dan pembinaan soal pengelolaan dana desa.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Putro Sandjojo mengakui adanya penyalahgunaan tersebut. Misalnya, pada 2016, Kemendes PDTT telah mendapat laporan pengaduan masyarakat terkait dana desa sebanyak 932 pengaduan.
Sebanyak 200 laporan di antaranya diserahkan kepada KPK, sedangkan 167 diserahkan kepada kepolisian, dan sisanya merupakan permasalahan administrasi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 67 kasus yang mendapat vonis.
Sementara untuk tahun 2017, kata Eko, Satgas Dana Desa telah menerima laporan pengaduan sebanyak 300 dan pihaknya terus memantaunya. Namun, katanya, permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan dana desa sebenarnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah penerima anggaran dana desa yang mencapai 74.910 desa.
Meski demikian, ia mengaku tetap melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi dalam pengelolaan dana desa tersebut.
“Tentu setiap satu kesalahan kita tidak terima. Persoalan ini [penyelewengan dana desa] adalah persoalan penanganan korupsi. Penanganan korupsi bukan ditangani dengan pembentukan lembaga pengawas baru lagi, karena tidak menjamin korupsi tidak terjadi. Solusinya kita tangani korupsinya,” ujarnya seperti dikutip Antara, Kamis (10/8/2017).
Baca juga: Presiden Imbau Penggunaan Dana Desa Harus Terus Diawasi
Hasil kajian “Tren Penanganan Kasus Korupsi tahun 2016” yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkonfirmasi hal tersebut. Berdasarkan kajian itu, fenomena korupsi di daerah kian meluas setelah pemerintah pusat mengimplementasikan alokasi dana desa.
Sebagai contoh, pada tahun 2016, dana desa yang digelontorkan sekitar Rp47 triliun. Namun dalam praktiknya, muncul fenomena elit lokal yang mengkooptasi anggaran untuk kepentingan pribadi, terutama elit lokal di tingkat desa. Terbukti selama tahun 2016, dana desa masuk dalam lima besar sektor yang rawan untuk dikorupsi.
Ada sekitar 62 kasus korupsi di pemerintahan desa yang melibatkan 61 kepala desa dengan nilai kerugian negara sebesar Rp10,4 miliar. Meskipun nilai kerugian negara cenderung kecil dibandingkan anggaran yang diberikan oleh pemerintah, akan tetapi hal itu menjadi sinyal bahwa korupsi sudah semakin meluas hingga tingkat desa.
Artinya, masalah korupsi yang selama ini kerap dipandang sebagai isu elitis, kini telah menjadi bagian dari realitas di masyarakat tingkat desa. Dengan anggaran yang cukup besar, dana desa rawan dimanipulasi oleh elit lokal. Ironisnya, praktik korupsi yang terjadi berlindung di balik konsep partisipasi.
Meningkatkan Pengawasan
Mendagri Tjahjo Kumolo mengklaim jika pengawasan dana desa telah dilakukan secara komprehensif sesuai skenario dan strategi pengawasan yang diatur UU No 6 tahun 2014. Menurutnya, regulasi tersebut mengatur bahwa Kemendagri melakukan pembinaan dan pengawasan, sementara penyaluran dana desa dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Sedangkan penggunaannya menjadi kewenangan Kemendes PDTT.
Tjahjo mengakui dari 74.910 desa yang menerima dana desa, terdapat kurang dari 500 desa yang mengalami masalah. “Artinya pengawasan sudah efektif dan tinggal ditingkatkan intensitasnya mulai dari penyaluran, alokasi dan distribusi atau dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban,” kata Tjahjo, seperti dikutip Antara.
Menurutnya, terkait OTT yang dilakukan KPK soal dana desa di Pamekasan, menunjukkan perlu ditingkatkannya pemahamanan dan koreksi konstruktif semua pihak mengenai arti penting pembinaan dan pengawasan berjenjang mengenai pengelolaan dana desa dalam satu kesatuan poros pemerintahan.
Tjahjo mengatakan bahwa kompleksitas permasalahan dana desa saat ini seharusnya dijadikan momentum bagi semua pihak untuk memahami kembali makna dan filosofi disusunnya UU Desa tersebut. Dari sisi regulasi, kata dia, pembinaan dan pengawasan dana desa sudah diatur secara berjenjang, namun yang menjadi persoalan adalah jumlah desa yang sangat banyak dengan kondisi dan situasi beragam, baik kondisi SDM di Pemda maupun di pemerintahan desa.
Mendes PDTT juga mengakui hal tersebut. Eko mengakui sekitar 40 persen kepala desa di Indonesia hanya berpendidikan SD dan SMP. Namun, ia mengklaim, hal tersebut bukanlah alasan untuk meragukan kemampuan desa untuk mengelola dana desa.
“Kenyataannya mereka [kepala desa] bisa belajar. Kalau kita lihat dana desa tahun 2015 sebanyak Rp20,8 triliun hanya terserap 82 persen. Tahun 2016 dinaikkan oleh Pak Presiden sebesar Rp46,98 triliun. Angka penyerapan naik dari 82 persen menjadi 97 persen. Artinya mereka belajar dan selalu kita kasih pendampingan,” ujarnya.
Baca juga:Persoalan Dana Desa: Dari Korupsi hingga Penyerapan Anggaran
Rekomendasi KPK
Jauh sebelum peristiwa OTT penyelewengan dana desa di Pamekasan, KPK telah melakukan kajian tentang pengelolaan keuangan desa dan memberikan hasil kajian tersebut kepada pemerintah untuk dijadikan pedoman.
Dalam kajian itu, KPK sudah mengindentifikasi empat celah terkait penggunaan dana desa ini, yaitu: regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, serta kualitas dan integritas SDM yang mengurus dana desa.
Baca juga: KPK Rekomendasikan Pengelolaan Dana Desa Diganti Mesin
Sayangnya, rekomendasi tersebut belum sepenuhnya dilakukan sehingga celah untuk menjadikan dana desa sebagai bahan bancakan cukup besar. Dalam konteks ini, komisi antirasuah kembali merekomendasikan agar pengelolaan dana desa diganti mesin agar lebih sederhana dan tidak tumpang tindih.
“Salah satu rekomendasi saya, kita dalam reformasi birokrasi bukan hanya direformasi, tapi juga harus ganti mesin artinya tumpang tindih dibenahi, lebih disederhanakan, sistem yang pengantarannya didorong supaya ada check and balances juga," kata Ketua KPK, Agus Rahardjo di Jakarta, Rabu (9/8/2017).
Hal tersebut diungkapkan Agus menjawab pertanyaan soal penjabaran UU No. 6 tahun 2014, dan peraturan pelaksanaannya yang mengatur bahwa Kemendagri melakukan pembinaan dan pengawasan, sedangkan penyaluran dana desa oleh Kementerian Keuangan, dan penggunaannya oleh Kemendes PDTT.
Dengan tiga lembaga yang mengurus dana desa tersebut, kata Agus, dana desa pun rawan diselewengkan karena tidak ada pihak yang bertanggung jawab dari hulu hingga hilir. “Sekarang ini kewenangannya juga tidak jelas, ini program [dana desa] tidak ada yang bertanggung jawab. Coba dibenahi secara mendasar, kelembagaan dibenahi, tata kelola dibenahi, sistem dibenahi,” ujarnya.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti