Menuju konten utama
Ahmad Erani Yustika:

"Kami Menolak Titipan Pendamping Desa, Parpol Marah-Marah"

"Di republik ini mana ada tidak ada titipan orang? Tapi saya selalu mengatakan: yang mengerjakan bukan kami. Ada tim seleksi."

Ilustrasi Ahmad Erani. tirto.id/Sabit

tirto.id - Upaya pemerintah memajukan desa dengan menggelontorkan dana desa rupanya belum sepenuhnya berjalan mulus. Dalam pelaksanaannya, masih ada temuan korupsi dan maladministrasi. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang menjadi penanggung jawab penggelontoran dana tersebut, justru dibelit kasus suap yang melibatkan Irjen Sugito.

Baca juga: Cara Pejabat Kementerian Desa Membeli Predikat Kinclong BPK

Dalam laporan BPK tahun 2015 – semester 1 2016, ditemukan sejumlah kejanggalan penggunaan anggaran hingga proses seleksi pendamping desa. Namun, menurut Ahmad Erani Yustika, yang pernah menjabat Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan kini Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan, masalah itu bermuara dari ada perbedaan cara pandang antara Kemendes dan BPK.

Misalnya, soal pembayaran honor. Erani menjelaskan, jika dulu program PNPM memakai dana dari pinjaman Bank Dunia, sementara Dana Desa dari APBN murni sehingga pembayaran honor merujuk standar biaya masukan Kementerian Keuangan.

“Kemenkeu buat kajian di masing-masing di provinsi. Begitu kita tunjukkan ke BPK, mereka baru mengerti bahwa pembayaran menggunakan lumpsum. Bukan at cost,” kata Erani saat ditemui di kantornya, 12 September lalu. Lumpsum maksudnya pemberian honor kepada pendamping desa dibayar secara keseluruhan gaji bulanan, sementara at cost dibayar sesuai kehadiran pendamping desa.

Baca juga: Upaya Partai Berebut Pengaruh lewat Pendamping Dana Desa

Meski ada perbedaan itu, tetapi bukan berarti beragam masalah terkait dana desa bisa diabaikan. Apa saja yang selama ini menjadi kendala pemerintah dalam implementasi dana desa dan problem lain di Kemendes PDTT? Berikut wawancara Reja Hidayat dan Mawa Kresna dari Tirto dengan Ahmad Erani yang pernah mengurusi dana desa.

Temuan kami di lapangan, ada istri kepala desa ikut terlibat dalam pembangunan infrastruktur desa. Memang secara aturan, pembangunan di bawah Rp50 juta bisa ditunjuk langsung oleh kepala desa. Sebenarnya, apakah ini dibolehkan?

Saya tidak bicara case by case, apalagi kejadian sekarang karena itu ranahnya Ditjen PPMD. Memang dulu saya di PPMD selama dua tahun dan baru pindah ke Ditjen PKP pada Mei. (Erani menggantikan Sugito yang terkena kasus suap KPK.)

Saya akan bicara pada prinsip dasar penyelenggaraan dana desa. Jadi dana desa itu, dari setiap pemilihan program (hulu) harus melalui musyawarah desa, tidak bisa tidak. Tidak boleh keputusan program itu di luar forum tersebut. Atau hanya mengundang Badan Permusyawaratan Desa. Harus lengkap dengan perwakilan masyarakat desa, warga juga diundang.

Musyawarah itu forum tertinggi dalam mengambil keputusan, bahkan di banyak tempat, ada musyawarah dusun dulu. Itu prinsip dasar sampai kami mengeluarkan peraturan menteri desa terkait musyawarah desa pada 2015.

Sekarang bagaimana cara menjalankan program dari dana desa.

Ada tiga prinsip: Satu, harus menggunakan sumber daya lokal sebisa mungkin. Misalnya mau bangun fasilitas pendidikan anak usia dini, sumber pasir dan batu bata, jika ada di desa, bisa dipakai.

Dua, perangkat kerjanya menggunakan orang lokal sehingga yang menikmati manfaat adalah orang lokal. Ketiga, yang paling pokok, tidak boleh memakai pihak ketiga.

Jadi, menjawab pertanyaan Anda. Itu tidak bisa meski di bawah Rp50 juta. Ada mekanisme yang harus dikerjakan dan pengerjaannya harus swakelola. Kalau ada perangkat desa yang langsung menunjuk tanpa ada penetapan panitia kegiatan, itu tidak dibenarkan dan pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada pihak ketiga.

Karena itu, waktu dua tahun (saat saya menjabat Dirjen PPMD), tidak mudah menjelaskan aturan-aturan yang lebih rinci karena menyangkut jumlah desa yang demikian banyak. Kita sudah melakukan banyak hal.

Dana desa, pajak untuk pembelian barang, masih dipertanyakan. Ini wajar karena setiap program yang baru pasti ada daftar permasalahan sedikit sedemikian banyak. Kita membuka ruang untuk membangun pertanyaan itu.

Kasus apa yang paling banyak ditemukan Kemendes dalam pengelolaan anggaran desa?

Ada sekian persen dana desa digunakan untuk bidang pemerintahan desa, misalnya bagian pelatihan perangkat desa.

Berapa persen?

Tahun 2015, ada 6 persen dan tahun 2016 ada 2,8 persen. Sudah ada penurunan dan itu berita bagus.

Jadi untuk hal semacam itu masih terjadi. Bukan korupsi, tapi kesalahan. Kedua kegiatan kemasyarakatan itu sebetulnya bukan prioritas. Karena yang menjadi prioritas adalah pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat.

Kelemahan dalam pengelolaan administrasi desa, pelaporan pertanggungjawaban. Sebelum masuk ke Ditjen PKP, saya berkutat membantu pemerintah daerah dalam penguatan aspek pengelolaan keuangan yang berjalan selama 18 tahun.

Desa, dengan percepatan luar biasa selama dua tahun ini saja, sudah belajar banyak, termasuk transparansi yang mengharuskan setiap desa memasang baliho untuk memperlihatkan APB Desa penerimaan maupun belanja anggaran. Beberapa hal itu yang menonjol dalam pemanfaatan desa.

Soal anggaran dan perekrutan. Ada kelebihan honor kepada pendamping dan pendamping yang belum mendapat pelatihan tapi sudah ditempatkan. Temuan ini juga terdapat dalam laporan audit BPK.

Mekanisme rekrutmen pendamping desa itu ada di daerah. Kementerian Desa itu hanya membangun aturan main soal persyaratan menjadi calon pendamping desa. Pelaksanaannya dilakukan oleh satuan kerja provinsi. Pada 2015 murni dilakukan oleh provinsi, setelahnya ketika seleksi akhir, baru perwakilan Kementerian Desa dan provinsi yang memutuskan.

Pada 2016, pelaksanaannya di provinsi tetapi untuk tes diserahkan kepada perguruan tinggi negeri setelah kita tahu kelemahan-kelemahannya. Itu yang kita lakukan untuk memastikan asas transparansi terjaga dalam seleksi.

Kemudian, sebelum pendamping desa ke lapangan, harus ada pelatihan. Siapa yang menyelenggarakan pelatihan? Satuan kerja provinsi karena dana semuanya ada pada mereka, bukan kami. Dibagi dalam tiga jenjang: tenaga ahli, pendamping desa di kecamatan, dan pendamping lokal desa.

Kontrak tidak akan ditandatangani oleh pemerintah provinsi sebelum pelatihan itu dilakukan. Bahkan, bila dalam pelatihan itu mereka tidak lulus kontrak, dibatalkan. Siapa yang mengontrak? Pemerintah provinsi. Itu aturan main.

Saya kira tidak benar bila di lapangan ada pendamping desa belum mendapat pelatihan. Karena kontrak dilakukan setelah pelatihan diberikan. Sampai sana dievaluasi setiap enam bulan sekali. Itu juga berjenjang. Untuk evaluasi, kementerian tidak terlibat sama sekali. Kontrak juga tidak terlibat. Semua pemerintah provinsi. Nanti yang menilai mereka adalah kepala desa.

Di tahap seleksi apakah Kementerian Desa terlibat?

Setelah seleksi tulis, mereka diumumkan, dan nanti ada tim seleksi. Tim seleksi ini terdiri dua orang dari pemerintah pusat, dua orang dari pemerintah provinsi, dan tiga orang dari perguruan tinggi. Tahun 2016, mereka mengindentifikasi yang sudah mendapatkan penilaian dari psikotes. Setelah tes tulis, ada psikotes, hasilnya akan keluar penjelasannya. Setahu saya sekarang wawancara.

Berarti yang menentukan akhir itu siapa?

Tim seleksi, dengan komposisi yang saya sebutkan tadi.

Bedanya dari pola rekrutmen saat PNPM yang didanai Bank Dunia seperti apa?

Pola rekrutmen waktu PNPM itu hanya dilakukan oleh pemerintah provinsi. Tidak ada satu pun pemangku kepentingan lain yang terlibat. Pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat juga tidak terlibat. Serahkan penuh kepada pemerintah provinsi. Pelatihannya juga ada, sama seperti yang dilakukan di Kemendes.

Pada 2015, sudah ada peringatan soal pengurus partai yang tidak boleh terlibat sebagai pendamping desa. Apa pertimbangannya?

Kinerja pemberdayaan itu pengabdian, yang tidak boleh dikotori oleh intensi apa pun, kecuali betul-betul memberikan pelayan publik yang terbaik bagi desa.

Kalau sudah ada pertimbangan tertentu, watak pelayan itu berbeda. Ada diskriminasi. Ada intensi politik pelaku di dalamnya. Dan itu kita cegah karena pemberdayaan berarti betul-betul melayani dalam kerangka memastikan semua warga tanpa kecuali memperoleh kehidupan lebih baik, kesempatan yang besar dalam mengembangkan dirinya, maupun potensi desanya.

Pendamping desa tidak punya wewenang mengelola keuangan, kan?

Betul. Tidak seperti PNPM yang ikut tanda tangan dalam kerja pemberdayaan. Apalagi bila posisi perangkat desa lemah, warga tidak memiliki literasi yang bagus, si pendamping memiliki posisi yang kuat untuk memengaruhi program-program itu.

Kita harus tahu struktur sosial, politik, dan budaya di masing-masing wilayah yang berbeda-beda. Dan juga manusinya. Jangan lupa bahwa otoritas terbesar pada seseorang adalah ilmu pengetahuannya. Bila literasi khalayaknya rendah, dia bisa mendikte tanpa disadari oleh desa yang bersangkutan.

Sudah ada kejadian pengurus partai masuk sebagai pendamping, celahnya di mana?

Sebenarnya enggak ada celah. Asal disampaikan kepada kami, sesuai kode etik, mereka meninggalkan jabatannya.

Meninggalkan jabatan pendamping desa atau partai?

Silakan dipilih. Dia tidak boleh dibebani kepentingan-kepentingan politik.

Kalau afiliasi dengan partai bagaimana?

Orang kan membawa identitas masing-masing: sosial, politik, dan sebagainya. Dan itu tidak bisa dihapus. Tetapi begitu memegang struktur dalam partai politik, ia sudah memiliki mandat politik yang harus dijalankan. Kalau sekadar simpatisan mungkin enggak masalah.

Menteri kan jabatan politis, apa ada tekanan-tekanan dari parpol terkait pendamping dana desa?

Kalau dana desa enggak bisa diapa-apakan lagi. Kalau titipan-titipan (pendamping desa) itu biasanya banyak. Tapi saya tidak pernah.

Di republik ini mana ada tidak ada titipan orang? Sebutkan di bidang apa saja. Pasti ada. Tapi saya selalu mengatakan, yang mengerjakan bukan kami. Ada tim seleksi. Itu kondisinya. Banyak dari mereka (parpol) akhirnya marah-marah karena enggak bisa masuk.

Artinya apa pun yang terjadi, Kementerian Desa tidak bisa melayani titipan orang parpol?

Enggak bisa. PKB marah-marah, PDI marah-marah, partai yang lain juga marah-marah. Di luar partai juga marah-marah karena memang enggak bisa. Bukan hanya partai.

Kalau dibilang menguntungkan PKB, lha wong saya disemprot juga sama mereka. Coba dicek orang PKB. Kalau ikut kami rapat atau RDP di komisi V, orang PKB juga ngamuk-ngamuk.

Ada dokumen usulan Komisi V untuk perekrutan pendamping desa di beberapa daerah.

Saya tidak pernah dapat kabar itu.

Pada 2015-2016 ada usulan itu?

Kalau ada reses memang ada masukan, tapi tidak sampai bicara soal berapa kebutuhan pendamping desa.

Lalu keputusan jumlah pendamping, siapa yang menentukan?

Jadi kami diberi pagu anggaran oleh pemerintah. Dari pagu itu kami bisa mendata berapa jumlah pendamping desa yang bisa kami rekrut.

Setelah jumlahnya sudah tahu, kami minta agar pemerintah provinsi yang mengajukan kebutuhannya berapa. Kita enggak ngerti berapa kebutuhan setiap tempat, hanya kita mengonsolidasikan kebutuhan masing-masing daerah. Kita juga tidak menentukan berapa jumlah pendamping di desa. Itu semua usulan dari pemerintah provinsi.

Terkait laporan audit BPK 2015 - Semester I 2016, ditemukan pengurus partai. Jika ditemukan, apakah dipecat?

Dipecat. Kalau sudah begitu pasti dipecat. Kalau provinsi tidak memecat, provinsi yang salah.

Pada 2015 Anda masih Dirjen PPMD. Pernah mengeluarkan rekomendasi untuk memecat?

Ada berapa yang masuk ke PPMD sudah kita rekomendasikan untuk dipecat. Ketahuan dipecat.

Pelaksanaannya?

Kalau kewenangan memecat itu di provinsi. Kami hanya membuat aturan main aja, seperti kode etik, misalnya.

Apa persoalan yang membuat Kemendes kewalahan, misalnya predikat Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK. Apa problem adminsitrasinya?

Kita enggak ada kegawatan apa pun. Itu karena perbedaan persepsi saja. Pendamping desa itu menurut BPK seharusnya dibayar memakai mekanisme at cost. Kami menjalankan pembayaran pendamping desa melalui peraturan kementerian keuangan. Kami mengurusnya 3-4 bulan untuk pembayaran pendamping desa lewat lumpsum. Dan kami tidak mungkin bisa bergerak memberi gaji pendamping desa tanpa ada surat Kemenkeu.

Kalau tidak ada masalah, kenapa ada usaha menyuap auditor BPK sehingga kena tangkap KPK?

Saya enggak mengerti cara berpikir KPK. Tapi ketika ketika operasi tangkap tangan itu mereka harus merekonstruksi seluruh kemungkinan-kemungkinan (dugaan kasus suap). Dalam temuan BPK, ada masalah di Kemendes. Pada akhirnya ada keputusan merekonstruksi itu. Kita wajib hadir menjelaskan apa yang terjadi.

Baca juga artikel terkait DANA DESA atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat & Mawa Kresna
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam