Menuju konten utama

Bagaimana Dana Desa Justru Bikin Warga Kesal

Ada desa yang berhasil tapi juga ada yang gagal memanfaatkan dana desa. Satgas dibentuk demi mengawasi maraknya korupsi di level desa.

Bagaimana Dana Desa Justru Bikin Warga Kesal
Ilustrasi korupsi dana desa. tirto.id/Gery

tirto.id - Sudah setahun terakhir toilet dan tempat wudu Musala Al-Baraqah tak kunjung rampung dibangun. Toilet yang seharusnya jadi sarana mandi, tempat cuci, kakus bagi masyarakat di sekitar musala itu justru dibiarkan jadi sarang demit.

Tak semua bagian dalam toilet seluas 1x2 meter persegi itu dilapisi keramik, bahkan lampu dan keran air untuk wudu pun tak ada. Parahnya lagi, pintu toilet pun tanpa engsel. Tak cuma itu, sumur bor yang dijanjikan dalam proses pembangunan desa tak pernah dibikin sampai kini.

Namun, siapa sangka, bangunan toilet itu telah menelan Rp38 juta dari anggaran dana desa tahun 2016. Anggaran itu dikucurkan setelah mendapatkan persetujuan perangkat desa tanpa sepengetahuan warga sekitar.

Pemandangan ini justru sangat kontras bila dibandingkan bangunan toilet dan tempat wudu yang dibikin lewat pendanaan swadaya warga RT 03/06 di Desa Sentul, Kabupaten Bogor. Hanya bermodal Rp15 juta, masyarakat sudah bisa memanfaatkan toilet dan delapan keran air wudu.

"Ini cuma Rp15 juta dari swadaya masyarakat. Sedangkan yang Rp38 juta enggak bisa dipakai masyarakat," celetuk Yani, Ketua RT, kepada saya pada awal September lalu.

Yani bercerita, permohonan pembangunan sumur bor sudah diajukan warga sejak 2014, yang anggaran pelaksanaannya baru tersedia pada 2016. Permintaan warga tak muluk-muluk, mereka hanya minta pemerintah desa membangun sumur bor untuk mengantisipasi kesulitan air pada musim kemarau.

Permohonan ini disambut baik pemerintah desa. Bukan hanya membangun sumur bor, perangkat desa menambah bangunan fisik berupa tempat wudu dan toilet. Seharusnya bangunan yang dijanjikan Pemerintah Desa Sentul itu rampung pada 2016.

Pembangunan itu dilaksanakan oleh Ibu Eneng, istri Kepala Desa Sentul. Dalam aturan, Kepala Desa bisa menunjuk tim pelaksana kegiatan secara langsung dengan anggaran di bawah Rp50 juta. Persoalannya: apakah pantas seorang istri kepala desa ikut serta membangun proyek tersebut?

Pelbagai kejanggalan muncul selama proses pembangunan. Tidak ada papan informasi yang memuat belanja kebutuhan barang, tidak jelasnya jumlah anggaran, dan warga rukun tetangga tidak dilibatkan untuk rembug bersama membangun pekerjaan tersebut. Beragam problem ini memicu kecurigaan warga.

Bahkan, warga setempat baru mengetahui jumlah anggaran sebesar Rp38 juta itu setelah ada laporan pertanggungjawaban di kantor desa yang disaksikan oleh camat.

Ujang Fitriadi, warga desa setempat, bertanya-tanya kepada warga lain mengenai proyek yang dikerjakan oleh istri kades.

"Kok bisa ibu desa yang bangun?" ujarnya.

Sebelum mengetahui besaran dana proyek itu, Yani sebagai Ketua RT bertanya-tanya kepada perangkat desa, termasuk kepada orang-orang di Badan Permusyawaratan Desa. Namun pertanyaan soal realisasi sumur bor itu selalu dijawab mentah. Saat ditanya kepada istri kades, dalam setiap pertemuan pengajian, ia hanya menjanjikan "akan dibuat" tanpa menyebutkan kapan tepatnya.

Begitupun Kepala Desa Sentul Nurajiji, yang hanya menjawab "belum selesai" ketika saya bertanya soal pembangunan sumur bor yang cuma janji kosong dan fasilitas MCK yang mangkrak.

"Saya konfirmasi ke LPM dulu," ujarnya menyebut Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, saluran organisasi yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai mitra pemerintah kelurahan dalam menampung dan mewujudkan aspirasi serta kebutuhan masyarakat dalam bidang pembangunan.

Ketika saya meneruskan keluhan warga soal dugaan penyimpangan dana, si kepala desa membantah, "Penyimpangan gimana?" Ia berkata, ia akan menyelesaikan pembangunan sumur bor dalam waktu dekat.

"Kalau sumur memang belum dibor. Kita nanti bor besok," katanya berulang kali meyakinkan, dan sampai kini belum juga direalisasikan.

Sementara Yudi Sentosa, Camat Babakan Madang yang membawahi Desa Sentul, mengklaim bahwa pembangunan MCK dan sumur bor di Musala Al-Baraqah yang mangkrak adalah "informasi baru" baginya.

Sesuai mekanisme dana desa, dalam setiap pengelolaan dan alokasi, camat tidak bisa lepas tangan. Para camat wajib mengawasi setiap pekerjaan, baik fisik maupun nonfisik.

"Mungkin keterbatasan tenaga. Staf saya di sini hanya dua orang yang membidangi (pembangunan dana desa) dengan pendamping desa. Sifat kami pengawasan di desa pendamping," kata Yudi, berdalih.

Desa Sentul bukanlah satu-satunya yang bermasalah. Sebut saja Desa Fulolo di Kecamatan Alasa, Kabupaten Nias Utara. Warga desa di sana tak pernah melihat papan informasi mengenai transparansi anggaran, dari perencanaan, penyerapan, hingga realisasi penggunaan dana desa.

Siucok Hulu, seorang warga setempat, mengatakan selama ini ia tidak pernah mendapatkan informasi penggunaan anggaran dana desa. Bahkan ia sulit mengetahui informasi macam itu kecuali jadi konsumsi perangkat desa.

Ia mengklaim, karena persoalan dana desa di tempatnya, ia sudah melaporkan secara resmi ke pelbagai saluran pengaduan, dari level desa hingga kabupaten. Namun, tidak ada respons sampai sekarang.

“Kami menduga ada praktik korupsi dalam pembangunannya,” kata Hulu.

Mekanisme Pengelolaan Dana Desa

Anggaran Dana Desa diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sejak UU Desa berlaku pada 2014. Setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Pada 2015 sebesar Rp20,77 trilun, pada 2016 sebanyak Rp46,99 triliun, dan tahun ini sebesar Rp60 trilun. Jumlah desa yang menerima kucuran dana desa pada tahun ini sebanyak 74.910 desa.

Pada 2016, Desa Sentul mendapat anggaran dana desa sebesar Rp680 juta. Jumlah ini meningkat pada 2017 sebesar Rp860 juta.

Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa Sentul, Ujang Samsuri, mengatakan bahwa pencairan dana desa kini tidak ia ketahui sejak ada UU Desa. Hanya butuh tanda tangan dari kepala desa dan sekretaris desa, serta rekomendasi camat, pencairan dana desa bisa dilakukan.

Proses pencairan itu sudah jauh berbeda dari sebelumnya ketika BPD selalu dilibatkan. "Ini kelemahannya. Dulu kalau pencairan, wajib ada tanda tangan BPD. Untuk sekarang, ada tidaknya tanda tangan BPD, uang itu tetap cair," kata Ujang.

Terkadang, katanya, ia kesal baru mengetahui ada pencairan dana desa lewat grup paguyuban BPD se-Kecamatan Babakan Madang. Semula proses pencairan dana desa dilakukan serentak untuk satu kecamatan. Tetapi kini pemerintah membuat aturan baru bahwa setiap desa yang mampu menyelesaikan laporan pertanggungjawaban, desa tersebut bisa mendapatkan kucuran dana berikutnya untuk tahap kedua.

"Mau ambil uang maupun pembuatan LPJ, mau tidak mau harus ada tanda tangan BPD. Jujur, sekarang LPJ satu malam aja kelar sebab pengawas tidak dilibatkan. Apa sih yang enggak bisa diubah?" kata Ujang.

Ia mengeluh bahwa terkadang BPD sebagai pengawas desa juga sulit mendapatkan salinan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang ditetapkan bersama pemerintah desa melalui peraturan desa setiap tahunnya.

“Kadang saya baru diterima APB Desa secara lengkap pada pertengahan tahun, bahkan di akhir tahun setelah budgeting berjalan,” katanya.

Selain itu, UU Desa memberi kewenangan penuh kepada kepala desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Kepala desa juga dapat mengangkat dan memberhentikan perangkat desa, yang harus dikonsultasikan dengan camat.

Perencanaan Pembangunan Desa: Contoh Sukses dan Gagal

UU Desa juga mengatur bahwa warga harus dilibatkan dalam merencanakan pembangun desa. Mekanismenya dimulai lewat musyawarah dusun, naik ke tingkat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa yang melibatkan BPD, tokoh masyarakat, dan kecamatan.

Perencanaan itu harus merujuk pada Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Desa (rentang enam tahun), dan setiap tahun harus dibuat Rencana Kerja Pemerintah Desa. Keduanya harus ditetapkan lewat peraturan desa.

Saat merencanakan pembangunan, pemerintah desa menunjuk Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagai Tim Pengelola Kegiatan. Tim inilah yang membangun infrastruktur desa. Dan untuk menjalankannya di lingkungan rukun warga, pemerintah desa membentuk sub-TPK. Dalam praktiknya, banyak pemerintah desa yang mengabaikan mekanisme tersebut.

Desa Sentul, misalnya, tidak membentuk sub-Tim Pengelola Kegiatan di tingkat RT. Ini diakui sendiri oleh Kepala Desa Nurajiji. Desa ini memiliki 3 dusun, 6 RW, dan 36 RT. Setiap dusun terdiri 2 RW dan 14 RT. RT 3 yang diketuai oleh Yani harus menerima pepesan kosong soal pembangunan sumur bor. Pemerintah desa cuma mendirikan sebuah bangunan fisik MCK tanpa fasilitas apa pun untuk kemudian ditelantarkan begitu saja.

Namun, itu bukan hanya kasus khusus di Desa Sentul. Mekanisme tanpa membuat sub-TPK juga terdapat di beberapa desa lain di Kecamatan Babakan Madang, di antaranya Desa Citaringgul, Bojong Koneng, Kerang Tengah, dan Cimpabuan. Satu-satunya desa yang memiliki sub-TPK adalah Desa Cijayanti.

Ketua BPD Cijayanti, Holili Setiawan, mengatakan bahwa keberhasilan desa tersebut dalam swakelola dana desa karena pendekatan persuasif dengan kepala desa. Sebagai pengawas desa, ia bermitra dengan kepala desa untuk membangun desa bersama-sama.

Saking kompaknya, untuk pembangunan infrastruktur jalan desa, masyarakat bergotong-royong dan melibatkan 200 orang. Ibu-ibu secara swadaya memasak penganan, makanan, dan minuman untuk pekerjaan tersebut.

"Kenapa kami tidak pakai mobil molen untuk mengecor jalan desa? Bukan kami tidak bisa, tetapi kami melakukan agar kami bisa bersama-sama mengerjakan. Dengan begitu, ada rasa memiliki jalan tersebut," kata Holili, menambahkan bahwa pemasok bahan baku untuk jalan desa pun diutamakan dari warga sendiri.

Sebagaimana yang diinginkan oleh pemerintahan Joko Widodo, Pemerintahan Desa Cijayanti mematuhi aturan main pembangunan desa, termasuk memaparkan transparansi anggaran.

Infografik HL Indepth Dana Desa

Membentuk Satgas Desa untuk Mengawasi Penyimpangan

Pada 23 Agustus lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mendatangi Desa Ponggok di Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Bagi Mulyani, Desa Ponggok menjadi acuan penggunaan dana desa bagi desa-desa lain di Indonesia.

"Desa Ponggok bisa membangun dirinya. Saya masuk ke gedung ini seperti halnya masuk ke gedung Kementerian Keuangan," kata Mulyani. Ia memperkirakan, dari 7.000 desa di Jawa Tengah, tidak lebih dari 10 persen desa yang mampu mengembangkan diri seperti halnya Desa Ponggok.

Pernyataan Sri Mulyani beralasan. Dalam kajian Indonesia Corruption Watch, ada 62 kasus korupsi yang merugikan negara Rp18 miliar pada 2016 di tingkat pemerintah desa, satu lembaga baru yang mulai rentan terjadi praktik korupsi terutama setelah berlaku kebijakan alokasi dana desa dari pusat.

"Meluasnya kasus korupsi hingga ke tingkat desa menunjukkan berkembangnya fenomena local elite capture," demikian ICW.

Local elite capture adalah kontrol penuh atas sumber daya ekonomi, yakni dana desa, untuk kepentingan pribadi kepala desa dan aparaturnya, dengan memanipulasi atau mengabaikan sama sekali prasyarat partisipasi publik sebagai sarana pengawasan vertikal dalam perencanaan pembangunan desa.

Melihat pelbagai masalah dalam pengelolaan dana desa tersebut, Menteri Desa Eko Putro Sandjojo membentuk Satuan Tugas Dana Desa untuk membantu kepala desa merumuskan kebijakan dan pengawasan dana desa.

Selain itu Satgas ikut berperan mengevaluasi regulasi dana desa, sosialisasi dan advokasi, pengawasan, dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas dugaan penyimpangan penggunaan desa.

Ketua Satgas adalah Bibit Samad Rianto, orang yang pernah bekerja sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dilantik sejak Juli 2017.

Ia berkata ia telah menemukan pelbagai pola penyimpangan, termasuk malaadministrasi dan ada orang yang sengaja mengambil dana desa untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Untuk masalah terakhir, kata Bibit, "Kami serahkan kepada penegak hukum."

Ia berkata, keberhasilan Satgas bergantung pula pada kerja sama dengan institusi lain seperti inspektorat daerah, tenaga ahli pendamping desa, dan pendamping lokal desa.

Tetapi, ia tak memungkiri bahwa setiap level memang ada potensi penyimpangan, tak cuma pada dana desa. "Kemungkinan permainan di setiap level selalu ada, dengan berbagai macam pola dan alasannya," ujar Bibit. "Dan itu sebenarnya masalah sistem yang harus diperbaiki."

Desa Cijayanti maupun Desa Ponggok adalah contoh yang bisa diteladani oleh desa lain, termasuk oleh Desa Sentul. Sampai sekarang sebagian warga di Desa Sentul masih menagih janji kepala desa untuk segera menuntaskan pembangunan sumur bor maupun MCK musala yang mangkrak.

"Saya bersama warga masih berharap, pembangunan sumur bor bisa dilanjutkan biar bisa dipakai saat musim kemarau," kata Yani, ketua RT 3 di Desa Sentul.

Baca juga artikel terkait DANA DESA atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Politik
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam