tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim, posisi utang Indonesia menjadi yang terkecil di dunia. Utang pemerintah menurutnya hanya 40 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sementara negara-negara maju lainnya berada di atas 100 persen terhadap PDB.
“Pemerintah Indonesia hanya punya utang Rp7.000 triliun dan paling terkecil di dunia,” klaim Luhut saat melakukan groundbreaking pembangunan jalan tol seksi 3 Cileles - Panimbang di Pandeglang, Banten, Senin (8/8/2022).
Luhut mengatakan, semua utang tersebut digunakan untuk hal produktif seperti pembangunan infrastruktur jalan tol. Luhut bahkan menjamin utang tersebut akan dikembalikan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Berdasarkan data APBN Kita, posisi utang pemerintah mencapai Rp7.123,63 triliun atau setara 39,56 persen terhadap PDB hingga semester I-2022 (Januari-Juni). Utang ini naik Rp121,39 triliun dari sebelumnya Rp7.002,24 triliun di Mei 2022.
Utang pemerintah per Juni didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp6.301,88 triliun atau sekitar 88,46 persen. Sementara untuk pinjaman tercatat senilai Rp821,74 triliun atau 11,54 persen.
Besaran utang SBN terdiri dari domestik senilai Rp4.992,52 triliun. Utang tersebut berasal dari Surat Utang Negara (SUN) Rp4.092,03 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp900,48 triliun. Kemudian untuk valas mencapai Rp1.309,36 triliun, terdiri dari SUN Rp981,95 triliun dan SBSN Rp327,40 triliun.
Selanjutnya, utang berasal dari pinjaman dalam negeri Rp14,74 triliun dan pinjaman luar negeri Rp806,31 triliun. Pinjaman luar negeri itu terbagi untuk bilateral Rp271,95 triliun, multilateral Rp491,71 triliun, dan commercial banks Rp42,66 triliun.
Secara rasio, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga sempat mengklaim, utang Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara berkembang maupun maju. Rasio utang terjaga itu dikarenakan penerapan disiplin fiskal yang ketat.
"Risiko kredit Indonesia dianggap manageable karena eksposur utang pemerintah yang jauh lebih rendah dibandingkan negara maju dan berkembang yang di ASEAN maupun di G20," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, rasio utang Indonesia terhadap PDB berdasarkan proyeksi IMF pada April 2022, yakni mencapai 42,71 di 2022. Angka itu lebih rendah dibandingkan negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang sebesar 125,58 persen, Jerman 70,87 persen, Prancis 112,58 persen, Inggris 87,83 persen, Jepang 262,54 persen, dan Korea Selatan 52,04 persen.
Sedangkan jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, seperti Malaysia yang sebesar 69,25 persen, Thailand 62,68 persen, Filipina 60,04 persen. Serta bila dibandingkan dengan negara peers di G20 seperti Brasil yang sebesar 91,89 persen, Cina 77,84 persen, dan India 86,90 persen.
"Kalau dibandingkan negara maju dan berkembang, baik yang di ASEAN maupun G20 terlihat rasio utang pemerintah yang 42 persen ini relatif sangat kecil, negara-negara itu jauh di atas Indonesia rasio utangnya terhadap PDB," kata Sri Mulyani.
Direktur Eksekutif Institute for Develompent of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan, apa yang diklaim pemerintah tidak berdasar sama sekali. Menurutnya banyak negara-negara yang justru utang ataupun secara rasionya berada di bawah Indonesia.
Berdasarkan data World Population Review, masih terdapat 10 negara dengan rasio utang paling kecil. Di antaranya adalah: Brunei 3,2 persen terhadap PDB, Afghanistan 7,8 persen terhadap PDB, Kuwait 11,5 persen terhadap PDB, Republik Demokratik Kongo 15,2 persen, Eswatini 15,5 persen terhadap PDB.
Selain itu, ada pula Negara Burundi 15,9 persen terhadap PDB, Palestina 16,4 persen terhadap PDB, Rusia 17,8 persen terhadap PDB, Botswana 18,2 persen terhadap PDB dan Estonia 18,2 persen terhadap PDB. Sementara persentase rasio utang Indonesia terhadap PDB sebesar 29,29 persen.
Sedangkan menurut data trading economics menunjukkan, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB masih di level 38,5 persen. Namun dibandingkan negara lain, khususnya di Asia, masih ada beberapa negara yang rasionya di bawah Indonesia seperti Bangladesh 31,7 persen, Brunei Darussalam 2,3 persen, dan Afghanistan 7,8 persen.
"Iya banyak [utang negara-negara] di bawah kita," kata Tauhid saat dihubungi reporter Tirto.
Sementara laporan International Debt Statistics 2022 (IDS) 2022 yang dikeluarkan Bank Dunia, menempatkan Indonesia di peringkat ketujuh utang luar negeri dari 10 negara pendapatan menengah ke bawah. Besaran utang Indonesia mencapai 417,53 miliar dolar AS per akhir 2020. Secara nominal utang Indonesia lebih tinggi dibanding negara berkembang lain, seperti Vietnam hanya memiliki utang 125 miliar dolar AS, Thailand 204 miliar dolar AS, Filipina 94 miliar dolar AS, dan Mesir 131 miliar dolar AS.
"Bisa dikatakan Indonesia salah satu negara lower-middle income country yang jumlah utangnya besar. Secara pertumbuhan angka utang Indonesia meningkat 30,9 persen sejak 2016," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
Pembangunan Utang untuk Infrastruktur?
Bhima kemudian menyoroti efektivitas penggunaan utang yang diklaim pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Menurutnya hal itu patut dipertanyakan. Karena porsi belanja pemerintah yang paling gemuk masih belanja pegawai, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang. Sementara belanja modal masih tertinggal di urutan belakang.
"Apa benar semua utang untuk infrastruktur? Lagi pula kalau sekadar membanggakan utang untuk oli pembangunan, ya namanya kurang kreatif itu," ujarnya.
Sementara jika merujuk penarikan Utang Luar Negeri (ULN) periode Mei 2022, utang masih diutamakan untuk mendukung belanja prioritas pemerintah dan terus mendorong akselerasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dukungan ULN pemerintah dalam memenuhi kebutuhan belanja prioritas hingga Mei 2022 antara lain mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24,5 persen dari total ULN Pemerintah).
Selain itu, penarikan ULN juga didorong untuk sektor jasa pendidikan (16,5 persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,1 persen), sektor konstruksi (14,3 persen), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (11,8 persen).
Adapun secara total ULN Indonesia pada Mei 2022 tercatat sebesar 406,3 miliar dolar AS atau setara dengan Rp6.038 triliun (sedikit berbeda dengan data APBN yang mencapai Rp7 ribu triliun). Posisi utang Mei, bahkan turun dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya sebesar 410,1 miliar dolar AS.
Bhima mengatakan, beberapa utang juga tidak bisa langsung dikategorikan sebagai utang pemerintah. Misalnya penugasan pembangunan infrastruktur oleh BUMN. Menurutnya yang dikategorikan sebagai utang justru seolah-olah bukan utang pemerintah, tapi sebenarnya ada kaitan dengan risiko ke APBN juga.
"Hidden debt cukup berbahaya bagi perekonomian. Sebagai contoh soal proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang mengalami pembengkakan biaya, awalnya adalah B2B, akhirnya sebagian ditanggung oleh APBN melalui penyertaan modal ke BUMN," jelasnya.
Posisi Utang Indonesia Disebut Masih Aman
Terlepas dari klaim sepihak pemerintah, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir menjamin, posisi utang Indonesia pada saat ini masih dalam batas aman. Di mana batas atas rasio utang terhadap PDB ditetapkan pemerintah dan DPR yakni 60 persen. Artinya, masih ada gap sekitar 20 persen.
"Dengan nominal tersebut, rasio utang Indonesia hanya 40 persen dari GDP," kata Iskandar saat dihubungi reporter Tirto.
Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah mengatakan, posisi utang saat ini jangan dilihat oleh masyarakat dari nominalnya saja. Sebab, jika tolak ukurnya nominal, maka akan terlihat sangat besar.
"Utang pemerintah hendaknya dilihat pertama, dari rasionya terhadap PDB," kata Piter dihubungi terpisah.
Saat ini, utang pemerintah masih di kisaran 40 persen PDB. Sementara ketentuan Undang-Undang (UU) Keuangan Negara mensyaratkan utang pemerintah di bawah 60 persen. Artinya utang pemerintah saat ini masih memenuhi ketentuan UU.
Piter menambahkan, utang pemerintah hendaknya juga dilihat dari dinamika kenaikannya. Seberapa besar kenaikan dan peruntukan daripada utang tersebut. Karena jika melihat kenaikannya selama dua tahun terakhir cukup besar, akibat pandemi COVID-19. Tapi, peruntukannya jelas dalam rangka menanggulangi pandemi.
"Dibandingkan negara lain kenaikan utang pemerintah di tengah pandemi termasuk yang paling kecil," ujar Piter.
Di samping itu, Piter melihat bahwa utang pemerintah sebesar Rp7.000 triliun adalah konsekuensi dari defisit APBN 2022. Sementara APBN adalah produk dari pemerintah bersama DPR.
Terakhir, utang pemerintah harus dilihat dari komposisi utang luar negeri atau utang domestik. Saat ini porsi utang luar negeri semakin kecil. "Dengan merujuk hal-hal di atas, menurut saya utang pemerintah masih aman," jelasnya.
Dengan Utang yang Ada, Bagaimana Selanjutnya?
Ketua Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, Ajib Hamdani memperkirakan, posisi utang pemerintah ada saat ini, bakal meningkat sampai akhir tahun. Potensi kenaikan utang itu terjadi melihat struktur APBN 2022. Di mana pada tahun ini, pemerintah sudah memproyeksikan defisit APBN mencapai Rp868 triliun.
"Sampai akhir 2022, utang ini akan terus mengalami kenaikan," kata Ajib kepada Tirto.
Dengan posisi utang yang ada, maka selanjutnya kata Ajib, adalah bagaimana pemerintah bisa melakukan pengelolaan yang ideal. Pertama, utang harus bisa memberikan kontribusi secara langsung dan maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Karena dari pertumbuhan ekonomi inilah, pada muaranya akan ada penerimaan negara dalam bentuk pajak. Dan struktur APBN Indonesia secara signifikan ditopang oleh pajak ini," jelas Ajib.
Kemampuan membayar pemerintah atas utang, kata Ajib, sangat bergantung dengan seberapa banyak pemerintah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang produktif. Kemudian bisa menarik pajak yang maksimal. Cerminan ini dalam angka tax ratio, penerimaan pajak dibandingkan dengan PDB.
"Contoh kasus tentang pembangunan IKN, harus diperhitungkan secara kritis ketika akan dibiayai oleh APBN, apakah akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak," jelasnya.
Ajib melanjutkan, indikator kedua menjadi pertimbangan saat ini adalah apakah utang dilakukan pemerintah bisa menaikkan kinerja ekspor dan mendatangkan devisa yang berkelanjutan. Analisa ini, menurutnya bisa diukur dari debt to service ratio (DSR).
DSR ini merujuk pada jumlah cicilan pokok utang luar negeri dan bunga dibagi dengan jumlah penerimaan pendapatan ekspor. Pada 2021 data DSR Indonesia menunjukkan sebesar 41,4 persen, dengan yield yang relatif tinggi 6,74 persen.
"Dengan utang yang ada, bagaimana selanjutnya? Pemerintah harus berkomitmen mengelola keuangan negara secara transparan, akuntabel, produktif dan pro dengan rakyat. Karena, seluruh beban utang ini, akan menjadi tanggung jawab yang dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia di masa depan," pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz