tirto.id - Kondisi ekonomi global tengah menghadapi ketidakpastian baru akibat perang antara Israel dan militan Hamas, Palestina. Perseteruan kedua kelompok negara tersebut membuat sejumlah negara, termasuk Indonesia ketar-ketir dan bersiap mengencangkan ikat pinggang.
Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi 2,9 persen pada 2024 dari perkiraan 3 persen di tahun ini. Perkiraan untuk tahun depan turun sedikit dari perkiraan 3 persen pada Juli.
Perlambatan ini terjadi pada saat dunia belum sepenuhnya pulih dari resesi akibat COVID-19 yang hanya berlangsung singkat pada 2020 dan saat ini dunia sedang menghadapi dampak dari konflik Timur Tengah – khususnya terhadap harga minyak.
“Ekonomi global sedang tertatih-tatih, bukannya berlari kencang,” kata kepala ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengutip US News, Kamis (12/10/2023).
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan, secara umum risiko konflik antara Israel - Palestina akan memberikan kekhawatiran kenaikan harga energi seperti minyak. Saat ini, harga minyak mentah Brent pada perdagangan Kamis, 12 Oktober 2023 dibuka 85,82 dolar AS per barel. Sedangkan harga minyak AS Intermediate Texas Barat (WTI) sebesar 83,49 dolar AS per barel.
Harga minyak Brent dan WTI telah melonjak lebih dari 3,50 dolar AS per barel pada perdagangan Senin karena kekhawatiran bentrokan antara Israel dan kelompok Hamas dapat meningkat menjadi konflik yang lebih luas yang akan mengganggu pasokan minyak global.
“Tentu ini akan meningkatkan risiko bagi Indonesia dari sisi peningkatan impor, sehingga akan dapat menyusutkan surplus neraca dagang, dan membuat defisit transaksi berjalan melebar,” kata dia kepada Tirto, Kamis (12/10/2023).
Lebih jauh, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan, harga minyak mentah bisa terbang hingga 90-92 dolar AS per barel akibat dampak dari konflik di Timur Tengah. Terlebih adanya perluasan negara yang terlibat konflik.
“Saat ini di pasar spot harga minyak berkisar 84-86 dolar AS per barel. Meski naik tetap belum mampu menandingi harga saat krisis minyak mentah 1973 yang saat itu menembus rekor kenaikan tertinggi dari 2 dolar AS per barel menjadi 11 dolar AS per barel atau naik 450 persen,” ujar Bhima kepada Tirto, Kamis (12/10/2023).
Bhima mengatakan, faktor politik dan keamanan memang punya andil, tapi pasar minyak akhir-akhir ini cenderung mengalami anomali pasokan dan permintaan sekaligus. Beberapa faktor yang membuat harga minyak tidak seliar 1973 adalah relaksasi pembatasan ekspor minyak dari Rusia yang diperkirakan menambah pasokan minyak global. Serta belum jelasnya pemangkasan produksi minyak yang masih dibahas pada pertemuan Saudi Arabia dan Rusia pada November mendatang.
“Berapa banyak produksi yang dipangkas masih teka teki,” kata Bhima.
Kemudian, lanjut Bhima, faktor lainnya dolar AS yang menguat menjadi kabar buruk bagi pemain komoditas minyak. Hal ini karena kekhawatiran banyak negara importir minyak mengurangi permintaan impor karena selisih kurs.
Misalnya Cina, sebagai negara konsumen energi yang besar sedang alami slow down ekonomi hingga 2024, dengan outlook pertumbuhan ekonomi 4,4 persen atau di bawah proyeksi Indonesia yang sebesar 5 persen. Industri di Cina bahkan tidak sedang ekspansi sehingga memengaruhi demand minyak global.
Pengaruhi Sektor Keuangan & Nilai Tukar Rupiah
Josua Pardede mengatakan, jika ditarik dari sisi keuangan, maka tentu saja naiknya harga minyak dapat berdampak pada inflasi global yang persistent tinggi. Hal ini memicu risiko higer-for-longer akan lebih tinggi.
“Dampaknya adalah risiko off yang men-trigger capital outflow dari Indonesia," kata Josua.
Dengan risiko terjadinya capital outflow, kata dia, maka akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. Selain itu, yield juga dapat terkerek naik sehingga beban utang pemerintah dapat meningkat.
Sementara itu, Bhima menambahkan, dampak lain dari konflik Israel-Palestina akan memicu investor lakukan pergeseran ke aset yang aman. Ini bisa memicu dolar menguat secara jangka pendek.
“Dolar indeks misalnya menguat ke level 106. Rupiah bersiap alami depresiasi terhadap dolar AS,” kata dia.
Selain itu, dari harga-harga barang impor juga dinilainya akan semakin mahal khususnya pangan. Contohnya beras, meskipun ada negara yang siap jual ke Indonesia, tapi biaya impor berasnya dipengaruhi dolar AS sehingga beras impor harganya naik.
“Selain beras, impor BBM akan lebih mahal, tentu pilihan pemerintah apakah alokasi subsidi energinya naik atau diteruskan ke masyarakat membayar BBM lebih tinggi. Tapi inflasi menjadi ancaman serius bagi daya beli domestik," tegasnya.
Bagaimana Pengaruhnya ke Sektor Perdagangan?
Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bobby Gafur Umar mengatakan, kenaikan harga bahan baku energi minyak gas dan bumi atau migas kemudian bisa berdampak pada sektor industri, terutama industri keramik. Hal ini lantaran industri tersebut menggunakan proses pembuatan melalui bahan baku gas.
“Kalau ditanya langsung dampaknya, otomatis ada yang diimpor oleh pemerintah ada juga oleh pelaku usaha. Nah, ini kalau minyak rata-rata dipakai untuk sumber energi, nah kalau gas dipakai untuk sumber bahan baku,” kata Bobby dalam konferensi pers, Rabu (11/10/2023).
Dalam keterangannya, Bobby menjelaskan, ekspor Indonesia tidak terlalu besar pada komoditas tekstil ke wilayah konflik Hamas-Israel. Melainkan, Indonesia banyak mengekspor ke Amerika dan Eropa. Sehingga, kondisi ekspor komoditas tekstil tidak tertalu terdampak.
Jika merujuk neraca perdagangan pada kedua negara, transaksi perdagangan Indonesia ke Israel lebih tinggi dibandingkan ke Palestina. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai transaksi Indonesia dengan Palestina pada 2022 berjumlah 2 juta dolar AS, terdiri atas 823 ribu dolar AS ekspor dan 1,2 juta dolar AS impor. Sedangkan perdagangan dengan Israel menghasilkan 228 juta dolar AS atau 100 kali lipat. Ia bersumber dari 185 juta dolar AS ekspor dan 43 juta dolar AS impor.
Di sisi lain, Palestina dan Israel juga memberi pengaruh berbeda terhadap neraca perdagangan Indonesia. Pada 2022, aktivitas ekspor-impor dengan Palestina menyebabkan Indonesia defisit 421 ribu dolar AS. Sebaliknya, Indonesia surplus 142 juta dolar AS dari Israel.
Selama 2014-2022, nilai transaksi dagang Indonesia dan Israel mencapai 1,7 miliar dolar AS, setara Rp26,9 triliun dalam kurs Rp15.471 per dolar AS. Dengan total nilai ekspor 1,2 miliar dolar AS dan impor 506 juta dolar AS, maka neraca perdagangan Indonesia surplus 727 juta dolar AS atau Rp11,2 triliun.
Situasi tak berbeda pada 2023. Hubungan dagang Indonesia-Israel terus berlanjut. Israel mempertahankan lapaknya di sektor ekspor-impor Indonesia, negara yang notabene menolak hubungan diplomasi mereka. Meski begitu, kita justru lebih banyak berdagang dengan Israel ketimbang Palestina.
Sepanjang Januari-Juli 2023, nilai transaksi Indonesia dan Palestina menghasilkan 2,8 juta dolar AS, berasal dari 1,3 juta dolar AS ekspor dan 1,5 juta dolar AS impor. Pada periode sama, nilai perdagangan Indonesia dengan Israel 50 kali lipat lebih besar, yakni mencapai 104 juta dolar AS, yakni 92,4 juta dolar AS ekspor dan 12 juta dolar AS impor.
BPS mencatat beraneka barang Israel masuk ke Indonesia pada 2023. Hingga pertengahan tahun, mesin dan peralatan mekanik merupakan golongan dengan nilai tertinggi, yaitu 3,7 juta dolar AS. Sementara impor senjata dan amunisi bernilai 6,5 ribu dolar AS.
Selain impor, Indonesia juga aktif mengirim bermacam komoditas ke Israel. Mulai dari golongan lemak, minyak nabati, olahan daging, tepung, sayuran, buah, minuman, alkohol, cuka, garam, belerang, semen, ampas dan sisa industri makanan, bahan kimia organik dan produk farmasi.
Namun, di tengah kekhawatiran yang akan terjadi tersebut, Pemerintah Indonesia tetap optimistis dampaknya tidak begitu besar kepada Indonesia. Apalagi kedua negara tersebut bukan menjadi mitra dagang utama Indonesia.
"Ya, kalau Indonesia, kan, salah satu regional yang dan ASEAN 20 tahun terakhir stabil. Jadi walaupun Ukraina dan yang lain [Israel-Palestina], dan Indonesia optimis. Karena stability growth bergeser, epicentrum-nya ke Indo-Pasifik atau ke ASEAN,” kata Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto kepada wartawan di HSBC Summit 2023 di The St Regis, Jakarta Selatan kemarin.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz