Menuju konten utama
Lebaran Idulfitri 2023

Mengenal Tradisi Unik Malam Takbiran: Festival Meriam & Meugang

Selain Pontianak, Aceh juga memiliki tradisi unik jelang lebaran yakni bernama Meugang.

Mengenal Tradisi Unik Malam Takbiran: Festival Meriam & Meugang
Meriam karbit yang berada di pinggir Sungai Kapuas menjadi daya tarik pengunjung di lokasi wisata Benua Melayu Laut, Kota Pontianak, Kalbar. Meriam berukuran besar yang terbuat dari sebatang kayu utuh dengan panjang 5-6 meter, berdiameter sekitar 40-50 cm itu terbuat dari jenis kayu tarkam atau kayu mabang. Dalam tradisi masyarakat setempat meriam karbit tersebut diletuskan saat perayaan hari raya dan peringatan hari kemerdekaan RI. Foto Antara/Evy R. Syamsir.

tirto.id - Malam takbiran jelang hari raya lebaran merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh Indra Prawiranegara (35), seorang warga Pontianak, Kalimantan Barat. Pada hari itu, ia akan merasakan momen unik melihat tradisi "Meriam Karbit" di Sungai Kapuas, Kelurahan Tambelan Sampit, Kecamatan Pontianak Timur.

Tradisi ini biasanya dimulai setelah pemerintah mengumumkan hasil sidang Isbat bila esok hari ditetapkan sebagai hari raya lebaran. Sekitar pukul 8 malam waktu setempat, Indra tiba di sekitar Sungai Kapuas. Di lokasi itu, sudah terlihat ribuan warga yang memadati pinggiran Sungai Kapuas.

Warga yang tinggal di pemukiman sekitar Sungai Kapuas telah menjejerkan sebuah meriam yang terbuat dari kayu dan dihiasi dengan cat warna-warni, serta gambar yang unik.

Setiap perkampungan, bisa menyiapkan hingga lima meriam. Sedangkan sepanjang Sungai Kapuas terdapat banyak perkampungan. Meriam tersebut terbuat dari kayu mabang atau meranti dengan ukuran diameter sekitar 50 - 70 centimeter dan panjang kisaran 5 hingga 6 meter.

"Festival meriam itu memang kebiasaan masyarakat pinggir sungai saling menyalakan meriam dari pinggir sungai, itu jadi tradisi dan dilakukan tiap tahun, itu hampir sepanjang Sungai Kapuas," kata Indra kepada reporter Tirto, Senin (17/4/2023).

Kayu tersebut dilubangi bagian tengahnya. Lalu dibuat sumbu di bagian ujung belakang sebagai pemantik api. Sebagai bahan peledak, warga menggunakan bahan karbit.

“Jadi nanti itu hanya suara besar saja kalau dari bahan bakar karbit. Jadi nggak akan menimbulkan ledakan yang berbahaya," ucap pria yang telah mengikuti tradisi itu sejak tahun 2007.

Ketika telah memasuki waktunya, pada pukul 8 malam lewat pemerintah telah menetapkan esok lebaran, meriam mulai ditembakkan secara beruntun ke arah langit.

Lalu beberapa menit kemudian, meriam dari pemukiman seberang menyambut dengan melakukan penembakan juga. Lalu diikuti dari pemukiman lainnya yang berada ditepi Sungai Kapuas.

MEUGANG KECIL IDULFITRI ACEH

Calon pembeli memilih daging sapi pada hari meugang pertama atau meugang kecil menjelang Idulfitri 1439H di pasar daging tradisional Lhokseumawe, Aceh, Rabu (13/6/2018). ANTARA FOTO/Rahmad

Bermain meriam karbit bagi dirinya adalah sebuah kebanggaan karena ikut melestarikan tradisi dan budaya yang dimiliki Kota Pontianak. Apalagi, permainan Meriam Karbit ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Itu sangat sangat meriah, senang banget bisa melihat meriam karbit," tuturnya.

Ia menjelaskan lahirnya tradisi meriam karbit konon bersitaut dengan upaya Sultan Syarif Abdurachman Alkadri saat membangun wilayah kesultanannya. Kala itu, tradisi membunyikan meriam karbit digunakan untuk menakut-nakuti para perompak dan binatang buas yang bersembunyi di hutan belantara.

Tak hanya itu, ada juga legenda yang diyakini masyarakat, bahwa bunyi meriam untuk menakuti kuntilanak.

"Itu bagian dari cerita masyarakat ya, mitosnya begitu. Tapi kalau aslinya, meriamnya memang digunakan untuk perang," tuturnya.

Tak hanya Pontianak yang memiliki tradisi unik saat jelang lebaran. Aceh juga memiliki tradisi unik jelang lebaran yakni bernama Meugang.

Warga Lhokseumawe Aceh, Aufa Dumara mengatakan, di daerahnya kerap menggelar tradisi Meugang yang telah dilakukan secara turun-temurun. Biasanya H-2 hari jelang lebaran.

Ia menjelaskan dalam melakukan tradisi Meugang, hampir sama seperti penyelenggaraan pemotongan hewan kurban hari raya Iduladha. Warga secara kolektif memberikan iuran untuk membeli kambing, lembu/kerbau, hingga sapi.

Nantinya setelah disembelih, daging hewan tersebut dibagikan kepada masyarakat di daerah tersebut, terutama warga yang kurang mampu.

“Biasanya per kampung. Setiap masjid ada. Nanti daging buat rendang lebaran. Dibagikan ke orang kurang mampu sebagai nilai saling berbagi, " kata Aufa kepada reporter Tirto, Selasa (18/4/2023).

Tradisi dengan nilai berbagi ini memang sudah dilakukan sejak dulu. Sejarah Makmeugang atau Meugang berawal dari masa kerajaan Aceh. Pada saat kemimpinan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh Darussalam, ia memerintahkan kepada para petinggi istana untuk membagikan daging kepada rakyat.

Daging tersebut juga dibagikan mengutamakan rakyat yang lebih membutuhkan seperti fakir miskin. Tradisi ini pun kemudian terus diwariskan kepada kepemimpinan kerajaan selanjutnya, yang mana sudah diwariskan secara turun temurun sampai sekarang.

Pada masa penjajahan Belanda dahulu pun, tradisi ini tetap dilaksanakan oleh masyarakat Aceh. Hal tersebut dilakukan dengan para pemimpin desa yang bersekutu dengan Belanda membagikan daging tersebut pada rakyat.

Tradisi ini memang tidak akan lekang dimakan waktu karena terus dibudayakan hingga saat ini. Tradisi yang sudah ada sejak zaman kerajaan Aceh ini pun sudah berumur ratusan tahun.

Tak hanya jelang Rramadan, tradisi Meugang biasanya dilakukan jelang Idulfitri dan Iduladha.

Selain dibagikan kepada warga, terdapat juga hewan yang yang disembelih dijual di pasar secara utuh satu ekor. Pada momen itu, biasanya pasar ramai dikunjungi pembeli untuk membeli daging hewan untuk tradisi Meugang. Biasanya juga, harga daging yang dijual lumayan naik.

"Kalau hari Meugang, biasanya satu ekor kambing digantung. Kalau pembeli mau beli, tinggal bagian apa gitu," ujarnya.

Baca juga artikel terkait IDUL FITRI 2023 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz