Menuju konten utama
Pertumbuhan Ekonomi

Mengapa Konsumsi Masyarakat Tak Maksimal meski Ada Ramadhan?

Dengan momen pemilu dan pergeseran Ramadhan, konsumsi rumah tangga semestinya bisa tumbuh di atas 5 persen.

Mengapa Konsumsi Masyarakat Tak Maksimal meski Ada Ramadhan?
Warga membeli bahan kebutuhan pokok saat pasar murah di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (4/4/2024). ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/nym.

tirto.id - Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,11 persen pada kuartal I-2024 lagi-lagi didorong oleh kelompok pengeluaran konsumsi rumah tangga. Kelompok ini memiliki andil 54,93 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tumbuh 4,91 persen dibanding periode sama tahun lalu. Konsumsi rumah tangga juga telah berkontribusi 2,62 persen terhadap angka pertumbuhan ekonomi.

Jika melihat trennya, maka konsumsi rumah tangga pada periode Januari-Maret itu memang meningkat menjadi 4,91 persen secara year on year (yoy) dari 4,47 persen yoy pada kuartal IV-2024. Pertumbuhan ini menyusul adanya Pemilu 2024 dan terjadinya pergeseran bulan Ramadhan atau bulan puasa dari kuartal kedua sebelumnya ke kuartal pertama di tahun ini.

“Konsumsi rumah tangga, masih menjadi sumber pertumbuhan terbesar dari sisi pengeluaran,” ujar Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, di Kantornya, Jakarta, Senin (6/5/2024).

Meski secara tren meningkat, menurut Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, pertumbuhan konsumsi rumah tangga belum kembali ke tingkat rata-rata sebelum pandemi yaitu sekitar 5 persen yoy. Seharusnya, kata dia, dengan momen pemilu dan pergeseran Ramadhan konsumsi rumah tangga bisa tumbuh di atas 5 persen.

“Konsumsi rumah tangga belum kembali ke tingkat rata-rata sebelum pandemi,” ujar Josua kepada Tirto, Selasa (7/5/2024).

Ilustrasi Belanja

Warga berbelanja di pusat perbelanjaan modern di Kawasan Jatinegara, Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

Sebaliknya konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) meskipun merupakan komponen kecil dari total PDB, mengalami akselerasi pertumbuhan sebesar 24,29 persen. Wajar memang pertumbuhan konsumsi LNPRT yang melonjak selama periode pemilu karena didorong oleh peningkatan pengeluaran dari semua kandidat dan partai politik.

Sejalan dengan pelaksanaan pilpres dan peningkatan belanja bantuan sosial, konsumsi pemerintah pada kuartal I-2024 juga meningkat 19,90 persen yoy, dan memberikan kontribusi sebesar 1,06 persen terhadap pertumbuhan PDB. Belanja bantuan sosial meningkat sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi dampak El Nino pada populasi yang rentan.

Sementara, konsumsi rumah tangga yang notabene sebagai kontribusi besar terhadap PDB Indonesia, pertumbuhannya masih justru di bawah potensi pertumbuhannya di atas 5 persen. Artinya, kelompok ini secara tidak langsung masih menahan daya belinya di tengah momentum Pemilu dan Ramadhan.

“Ketika 4,91 persen berarti memang di bawah potensi dan rata rata pertumbuhan biasanya. Padahal ada pemilu. Artinya belum cukup besar dampak pemilu terhadap konsumsi rumah tangga memang,” ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, kepada Tirto, Selasa (7/5/2024).

Faisal tidak menampik konsumsi rumah tangga di bawah rata-rata 5 persen itu akibat masyarakat memilih untuk menyimpan dananya untuk ditabung. Ini sejalan dengan laporan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang mencatat tabungan dengan nominal di atas Rp5 miliar naik hingga 9,14 persen pada April 2024. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari catatan pada Februari 2024 sebesar 6,10 persen.

Selain tabungan dengan nominal di atas Rp5 miliar, LPS juga mencatat tabungan di bawah Rp100 juta mengalami kenaikan pertumbuhan, tercatat sebesar 7,3 persen. Sedangkan, periode pada Februari 2024, tercatat tumbuh hanya 5,17 persen.

Penyebab Daya Beli Masyarakat Rendah

Lebih lanjut, Faisal melihat ada beberapa faktor penyebab daya beli masyarakat rendah. Pertama dari segi income atau pendapatan. Kedua dari sisi biaya hidup kelompok masyarakat menengah ke bawah dan masyarakat kelompok bawah.

“Biaya hidup lebih tinggi dari inflasinya, dan terutama inflasi pangan pada saat sekarang justru banyak menekan masyarakat menengah ke bawah,” ujar dia.

Untuk masyarakat kelompok ke bawah, kata dia, mungkin masih bisa diredam dan dijaga daya belinya melalui bantuan sosial dari pemerintah. Tapi kalangan menengah tidak mendapatkan bansos mereka justru dalam kondisi sekarang cukup sensitif dari kenaikan biaya hidup atau harga barang-barang.

“Karena income itu upah riil mengalami penurunan. Hampir di semua sektor. Sektor-sektor tertentu mengalami pertumbuhan dan itu sangat tipis,” ujar dia.

Berdasarkan data BPS, upah riil buruh tani pada periode 2022 turun sebesar 0,73 persen dibanding November 2022, yaitu dari Rp51.830 menjadi Rp51.453. Penurunan juga terjadi pada upah riil buruh bangunan (tukang bukan mandor) dan asisten rumah tangga.

Upah riil buruh bangunan pada 2022 turun sebesar 0,62 persen, yaitu dari Rp83.278 menjadi Rp82.762. Sementara upah riil asisten rumah tangga turun sebesar 0,58 persen, yaitu dari Rp387.100 menjadi Rp384.855.

“Sehingga kalau ketika upah secara riil turun kemudian inflasi juga masih relatif meningkat tentu saja akan memengaruhi dari sisi spending dikeluarkan. Ini kelihatan sekali perlambatan ini terutama di kalangan menengah,” ujar dia.

Selain faktor upah riil, kata Faisal, ada beberapa hal juga menyebabkan konsumsi masyarakat melambat atau tidak mencapai 5 persen. Di antaranya adalah faktor kebijakan pemerintah itu sendiri, faktor global, dan harga komoditas yang juga mempengaruhi pendapatan masyarakat bekerja di komoditas tersebut termasuk sawit dan komoditas lain yang harganya alami penurunan.

“Jadi dalam kondisi seperti ini, tentu saja kalau kemudian nanti ada kebijakan lebih tidak kondusif terhadap peningkatan daya beli ini akan menekan lagi dari sisi konsumsi rumah tangga,” ujar dia.

Kebijakan-kebijakan dimaksud seperti peningkatan pajak. Termasuk pajak UMKM, cukai, dan pajak pertambahan nilai (PPN) diwacanakan pada 2025 mendatang. Kebijakan ini tentu saja semakin menekan lagi konsumsi rumah tangga.

“Dan artinya daya beli juga akan semakin terkoreksi kembali. Ini perlu diperhatikan ke depan,” kata dia.

Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani, menambahkan pada rentang masa ini, terjadi fluktuasi inflasi yang memberikan tekanan terhadap daya beli masyarakat. Tercatat inflasi kuartal pertama 2024 menyentuh angka 3 persen, atau lebih tinggi daripada inflasi agregat 2023 yang hanya mencapai angka 2,61 persen.

“Kalau tren inflasi tidak turun, maka daya beli akan terus mengalami tekanan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi cenderung tidak sustain,” ujar Ajib dalam pernyataannya, kepada Tirto, Selasa (7/5/2024).

Respons Pemerintah

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, justru melihat capaian konsumsi rumah tangga masih cukup baik pada kuartal I-2024. Konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) diklaimnya masih menjadi sumber pertumbuhan tertinggi, meski di tengah net ekspor yang negatif.

“Kondisi tersebut menunjukkan permintaan domestik yang masih kuat dan didukung oleh kebijakan fiskal sebagai shock absorder dalam merespons kondisi ketidakpastian global yang terjadi saat ini,” ujar Airlangga dalam keterangannya, dikutip Selasa (7/5/2024).

Sementara dari sisi pengeluaran, kata Airlangga, tingginya realisasi berbagai belanja pemerintah terutama untuk belanja pemilu telah mendorong konsumsi pemerintah tumbuh mencapai 19,9 persen yoy. Hal tersebut juga tercermin dari Konsumsi Lembaga Non-Profit Rumah Tangga (LNPRT) yang tumbuh melejit hingga 24,29 persen yoy yang disebabkan adanya kegiatan pemilu.

Dengan berbagai capaian kondisi perekonomian tersebut, Indonesia diklaim mampu menjadi salah satu negara yang tumbuh kuat dan persisten berada di level yang tinggi dibandingkan dengan sejumlah negara lain seperti Malaysia (3,9 persen), South Korea (3,4 persen), Singapura (2,7 persen), dan Meksiko (1,6 persen).

Pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di 5,11 persen juga disertai dengan tingkat inflasi yang rendah dan terkendali sebesar 3,0 persen atau lebih rendah dibandingkan sejumlah negara lain seperti India (4.9 persen), Brazil (3,9 persen), dan Filipina (3,7 persen).

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz