tirto.id - Jessica Kumala Wongso untuk kesekian kalinya mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni Peninjauan Kembali (PK) pada kasus pembunuhan Mirna Salihin. PK kali ini dialamatkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) didampingi kuasa hukumnya, Otto Hasibuan.
Otto menyampaikan bahwa pengajuan PK ini telah melalui proses diskusi yang panjang. Pengajuan ini juga sekaligus membuktikan bahwa kliennya bukanlah pembunuh Mirna seperti yang dituduhkan. Terlebih lagi, status Jessica sendiri saat ini sudah dinyatakan bebas bersyarat dalam kasus kopi sianida ini.
"Jessica tetap mengatakan 'Saya tidak melakukan perbuatan itu sehingga sekecil apapun kesempatan yang diberikan Undang-Undang kepada saya, saya harus melakukan upaya hukum terhadap itu'," kata Otto menyampaikan omongan Jessica, di PN Jakpus, Rabu (9/10/2024).
Jessica diketahui telah mendapatkan pembebasan bersyarat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: PAS-1703.PK.05.09 Tahun 2024 pada pertengahan Agustus 2024.
Pemberian hak bebas bersyarat kepada Jessica sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Selama menjalani pidana, Jessica dianggap telah berkelakuan baik berdasarkan Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana dengan total mendapat remisi sebanyak 58 bulan 30 hari. Selama menjalani pembebasan bersyarat Jessica tetap wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Timur-Utara dan akan menjalani pembimbingan hingga 27-03-2032.
"Dia [Jesica] tidak mengajukan PK pun, dia sudah di luar. Tetapi, nama baik, status, harkat martabat itu kan harus dilindungi," kata Otto.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, melihat PK adalah upaya hukum luar biasa bagi seorang terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan ulang atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan final. Putusan itu dapat berupa putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, juga dapat berupa putusan Mahkamah Agung RI yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
“Seseorang dapat mengajukan peninjauan kembali apabila ada "keadaan/fakta/alat bukti baru" atau novum, apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan, dan apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan,” ujar Arif kepada Tirto, Kamis (10/10/2024).
Dalam pengajuan PK Jessica, kuasa hukumnya, Otto mengeklaim telah menemukan adanya bukti novum dan kekeliruan hakim. Namun, bukti-bukti tersebut akan dijelaskan secara rinci setelah selesai mengajukan PK.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 34/PUU-XI/2013, lanjut Arif, PK boleh diajukan lebih dari satu kali sepanjang berdasarkan ada bukti baru berdasarkan ilmu pengetahuan. Selain itu, putusan MK RI Nomor 33/PUU-XIV /2016 menegaskan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali di dalam perkara pidana.
“PK adalah upaya hukum luar biasa yang disediakan oleh hukum dan dapat digunakan oleh terpidana, seperti upaya hukum PK yang dilakukan Jessica Wongso untuk membuktikan ulang posisi hukumnya bahwa putusan sebelumnya keliru dan bahwa dia tidak bersalah,” jelas dia.
Tentu dalam kasus Jessica, memiliki syarat ketat yakni dengan alasan yang sah sesuai dengan ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP. Nantinya hal tersebut akan diuji oleh majelis hakim PK di MA. Jika dikabulkan akan dapat membebaskan seorang narapidana dari putusan sebelumnya. Termasuk mengembalikan harkat martabat seseorang yang sebelumnya diputus bersalah menjadi tidak bersalah.
Secara Materiel PK Perlu
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan secara formal PK sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh Jessica. Tetapi secara materiel pengajuan kembali ini perlu dilakukan apalagi Jessica sendiri sudah diputus bebas dan tidak terbukti adanya melawan hukum.
“Secara formal [memang] tidak perlu, tetapi secara materiel [PK] perlu,” ujar Hibnu kepada Tirto, Kamis (10/10/2024).
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengatakan PK sejatinya tidak hanya soal mengubah hukuman saja. Tapi tentu ini adalah bentuk keadilan bagi Jessica yang ingin dinyatakan tidak bersalah. Karena sebagai mantan narapidana tentu konsekuensinya banyak mulai dari nafkah, nama baik, dan terpenting keadilan bagi Jessica atau korban dan keluarganya.
“Soal [PK] perlu bagi saya keadilan ya harus diperjuangkan ya. Itu kenapa saya mendukung upaya PK Jessica,” ujar dia kepada Tirto.
Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir, menambahkan upaya PK dilakukan oleh Jessica merupakan hal yang wajar. Terlebih Jessica telah dijatuhi vonis yang cukup berat yakni puluhan tahun pidana.
“Jadi, kalau itu seorang pelaku itu tidak merasa atau tidak pernah melakukan perbuatan pembunuhan itu, ya semestinya wajar jika dia bisa mengajukan PK itu. Istilah bahasanya sampai dimanapun dia akan dikejar,” jelas dia kepada Tirto.
“Karena apa? Selagi ada peluang untuk memperoleh dan mencari keadilan, dia akan tempuh,” sambung Mudzakir.
Mudzakir menyebut pengajuan PK adalah sah secara hukum dan boleh dilakukan untuk menemukan kebenaran materiel dalam perkara tindak pidana pembunuhan. Tentu, dalam hal ini, lanjut dia, urusannya bukan lagi karena sekarang Jessica sudah berada luar atau bebas. Justru karena dia di luar, maka Jessica bebas untuk mencari dan menemukan bukti-bukti.
“Menurut pendapat saya siapapun orang, terutama Jessica ini, punya hak untuk mengajukan upaya hukum luar biasa. Ini guna menemukan kebenaran materiel,” imbuh dia.
Mungkin dalam putusan itu Jessica sudah dinyatakan terbukti. Tetapi kalau bagi Jessica masih punya bukti-bukti yang dulu belum pertimbangkan oleh hakim, maka dia bisa mengajukan upaya hukum itu dengan mengajukan PK kembali.
Karena sejatinya, kata Mudzakir, dalam hukum pidana itu urusannya bukan berapa lama hukumannya, tapi seberapa putusan itu sudah mencapai puncaknya, yaitu menemukan kebenaran materiil. Karena jika sudah mencapai puncaknya menemukan kebenaran materiil atau kebenaran hakiki, putusan tersebut sudah final.
“Sehingga human error kesalahan manusia sudah tereliminasi sedemikian rupa yang ada cuma kebenaran materiil atau kebenaran hakiki. Sekali lagi, kita harus hargai Jessica bahwa dia sekarang berusaha untuk menemukan kebenaran materiil itu,” jelas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang