Menuju konten utama

Menelaah Rancangan Perpres Publisher Rights yang Menuai Polemik

Rancangan Perpres tentang Publisher Rights sudah berada di Setneg. Mengapa draf Perpres tersebut menuai polemik?

Menelaah Rancangan Perpres Publisher Rights yang Menuai Polemik
Ilustrasi media Digital. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Naskah Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme yang Berkualitas atau Publisher Rights kini berada di tangan Kementerian Sekretariat Negara. Pada 24 Juli 2023 dokumen itu diserahkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk ditelaah sebelum disahkan.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Komenterian Kominfo, Usman Kansong berkata, draf Perpres tersebut akan dipertimbangkan sebelum presiden menandatanganinya. Ide rancangan aturan ini muncul tiga tahun lalu bertepatan dengan Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Dalam proses penyusunan seperti pembahasan pasal per pasal maupun secara bahasan umum, Usman mengklaim, Kementerian Kominfo telah melibatkan pihak yang terdampak seperti platform; dan pemangku kepentingan. Platform, tegas Usman, merupakan pihak paling terdampak karena peraturan presiden ini mengatur platform, bukan pers.

“Mengatur platform, kewajiban untuk bekerja sama secara ekonomi dalam rangka mendukung jurnalisme berkualitas. Tapi ada pihak lain yang terdampak yakni perusahaan pers," ujar Usman dalam sebuah diskusi, Sabtu, 29 Juli 2023.

Dalam rancangan peraturan presiden ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika berupaya menjembatani hal yang diusulkan, lalu dibahas dengan platform.

Pemerintah ingin rancangan itu bisa diimplementasikan dan tidak sekadar menjadi "aksesori.” Bahkan pemerintah berupaya menghapus pasal yang memberatkan platform. Pada pembahasan awal rancangan Perpres memang sempat terjadi perdebatan, misalnya soal Pasal 5a.

Pasal 5a dalam draf Perpres yang disampaikan oleh pihak aliansi pers, kurang lebih menyatakan platform tidak boleh menyalurkan berita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers.

Pihak platform merespons bahwa algoritma yang dimiliki “ilmunya belum sampai” untuk memilah pemberitaan yang sesuai Kode Etik Jurnalistik; platform tidak berkompeten dan tidak berwenang menyeleksi berita. Lantas, permasalahan itu diselesaikan dengan mencari jalan tengah yakni ada klausul ihwal pelaporan terhadap berita yang diduga tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim berpendapat, jika platform diberikan kuasa untuk menganalisis sebuah berita sesuai dengan kode etik atau tidak, maka itu sebuah kesalahan. Sebab kewenangan menentukan dugaan pelanggaran etik hanya dimiliki Dewan Pers.

“Mereka (platform) tidak mau dituduh melanggar Undang-Undang Pers. Tapi bagi AJI, itu juga menjadi perhatian kami. Kami tidak mau kewenangan Dewan Pers diambil oleh platform. Itu berbahaya,” ujar Sasmito kepada Tirto, Selasa, 1 Agustus 2023.

Menurut dia, sebaiknya ada prinsip moderasi konten yaitu ada mekanisme pelaporan dari Dewan Pers soal berita-berita yang tidak seusai dengan kode etik, kemudian platform bisa melakukan deindex (situasi sebuah situs tidak masuk dalam indeks Google, sehingga situs itu tidak akan muncul sama sekali dalam hasil pencarian Google).

Mencari Formula yang Terbaik

Michaela Browning, Vice President, Government and Public Policy for Asia Pacific Google, merespons polemik rancangan aturan ini. Ia bilang pihaknya khawatir jika peraturan presiden ini disahkan tanpa perubahan, maka peraturan tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Alih-alih membangun jurnalisme berkualitas, peraturan ini dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi publik karena memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga nonpemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul secara daring dan penerbit berita mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan.

“Misi Google adalah membuat informasi mudah diakses dan bermanfaat bagi semua orang. Jika disahkan dalam versi sekarang, peraturan berita yang baru ini dapat secara langsung memengaruhi kemampuan kami untuk menyediakan sumber informasi online yang relevan, kredibel, dan beragam bagi pengguna produk kami di Indonesia," ujar Michaela seperti dilansir blog resmi Google di Indonesia, 25 Juli 2023.

Akibatnya, segala upaya yang telah dan ingin Google lakukan untuk mendukung industri berita di Indonesia selama ini dapat menjadi sia-sia. Maka Google akan terpaksa harus mengevaluasi keberlangsungan berbagai program yang sudah berjalan serta bagaimana ia mengoperasikan produk berita di tanah air selama ini.

Sejak rancangan peraturan tersebut pertama kali diusulkan pada 2021, Google dan Youtube telah bekerja sama dengan pemerintah, regulator, badan industri, dan asosiasi pers untuk memberikan masukan seputar aspek teknis pemberlakuan peraturan tersebut dan untuk menyempurnakannya agar sesuai dengan kepentingan penerbit berita, platform, dan masyarakat umum.

Google tidak percaya bahwa rancangan Perpres itu akan memberikan kerangka kerja yang ajek untuk industri berita yang tangguh dan ekosistem kreator yang subur di Indonesia. Walaupun merasa kecewa dengan arah rancangan aturan yang diusulkan saat ini, Google masih berharap agar dapat mencapai solusi yang baik dan tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan terkait.

“Kami ingin terus mencari pendekatan terbaik untuk membangun ekosistem berita yang seimbang di Indonesia yaitu yang dapat menghasilkan berita berkualitas bagi semua orang sekaligus mendukung kelangsungan hidup seluruh penerbit berita, kecil maupun besar," terang dia.

Organisasi Jurnalis Minta Draf Perpres Dikaji Ulang

Jika disahkan, regulasi ini akan mengatur pertanggungjawaban platform digital, seperti Google dan Facebook, untuk memberikan nilai ekonomi atas berita dari pers lokal maupun pers nasional. Isi dari rancangan tersebut menyinggung kewajiban platform digital bekerja sama dengan perusahaan pers demi mendukung jurnalisme berkualitas.

Perihal "ancaman" Google soal tidak akan lagi menayangkan berita dalam platform-nya (harus mengevaluasi keberlangsungan berbagai program yang sudah berjalan), maka platform mesin pencari tidak dapat menayangkan konten yang berasal dari penerbit media massa di tanah air. Imbasnya penerbit dapat kehilangan jumlah pendapatan yang selama ini disalurkan oleh perusahaan teknologi raksasa tersebut, dan pastinya kehilangan pembaca.

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), AJI Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, dan Indonesian Digital Association meminta Presiden Joko Widodo mengkaji kembali rancangan peraturan tersebut.

Ketua Umum AMSI, Wenseslaus Manggut menegaskan, substansi peraturan tersebut seharusnya tidak lepas dari upaya memperbaiki ekosistem jurnalisme di Indonesia. “Tujuan kami semua adalah menciptakan bisnis media yang sehat dengan konten jurnalisme yang berkualitas,” kata dia dalam siara persnya.

Wens mengingatkan, platform digital juga perlu dilibatkan sebagai pemangku kepentingan ekosistem informasi di negara ini. Kebuntuan dalam pembahasan rancangan regulasi harus dipecahkan dengan mencari solusi yang sama-sama menguntungkan.

Solusi yang sudah diterapkan di negara lain, misalnya “designation clause” yang ada dalam Media Bargaining Code di Australia [PDF], bisa diterapkan di Indonesia. Dengan pasal itu, hanya platform yang menolak berkontribusi secara signifikan pada upaya memperbaiki ekosistem media yang diwajibkan memenuhi ketentuan dalam peraturan.

Sampai saat ini, draf terakhir Perpres tentang Publishers Rights yang beredar, tidak memasukkan klausul tersebut.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu berujar, pihaknya selain menginiasi draf peraturan ini dengan membentuk kelompok kerja media sustainability sejak 2020, Dewan Pers sejak periode lalu terus mengawal pembahasan draf rancangan dengan 11 konstituen Dewan Pers (4 organisasi jurnalis dan 7 organisasi perusahaan pers).

“Diskusi juga dilakukan bersama pemerintah. Dalam setiap tahapan pembahasan ini, manakala teridentifikasi potensi dampak buruk hal tersebut menjadi bagian dari dialog yang dibangun dalam maupun paska proses pembahasan,” kata Ninik kepada Tirto, Selasa, 1 Agustus 2023.

Bila dalam perjalanannya muncul dampak yang belum teridentifikasi, kata dia, maka hal ini terkait dengan fungsi pengawasan pada tataran implementasi. Dewan Pers menyampaikan masukan agar ketentuan tentang pengawasan juga diatur dalam regulasi tersebut.

Dewan Pers juga menyorot ihwal karya jurnalistik yang berkualitas dan independensi pers; serta keadilan pendapatan bagi media dan platform. Ninik berharap peraturan presiden itu dapat membangun ekosistem pers yang sehat dan menyehatkan media. Karena rantai distribusi pemberitaan melalui platform tidak bisa disangkal.

Ninik berharap ada dukungan terhadap penguatan media dan sumber daya manusia media. Hakikat pentingnya aturan ini ialah sisi ekonomi bagi kepentingan media, sekaligus hak warga negara untuk mendapatkan informasi yang akurat.

Baca juga artikel terkait PERPRESTENTANG PUBLISHER RIGHTS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz