Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Media Sosial antara Potensi & Bahaya dalam Kampanye Pemilu 2024

Media sosial bisa jadi bumerang karena potensi penyebaran hoaks yang dengan mudah terjadi hanya dengan gerakan jari.

Media Sosial antara Potensi & Bahaya dalam Kampanye Pemilu 2024
Ilustrasi media sosial. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ceruk media sosial untuk menjadi ladang kampanye terbuka besar bagi para politikus yang hendak berlaga di Pemilu 2024. Dari catatan We Are pada 2023, pengguna media sosial di Indonesia sudah mencapai 167 juta orang. Kondisi ini mengindikasikan akan semakin berpengaruhnya media sosial pada pemilu kali ini, jika mengikuti tren dua pemilu sebelumnya, seperti yang disebut dalam studi.

Data itu juga berkelindang dengan catatan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) bahwa persentase pemilih muda akan mengambil bagian dominan, lebih dari 50 persen.

Penjelasannya, pemilih dari generasi Milenial (mereka yang lahir antara 1981-1996) berjumlah 68,82 juta jiwa atau setara dengan 33,6 persen pemilih nasional. Sementara Generasi Z alias Gen Z (mereka yang lahir antara 1997-2012) yang tercatat oleh KPU ada 46,8 juta jiwa atau setara dengan 22,85 persen.

Ketertarikan para pengguna media sosial untuk berbincang soal politik cukup tinggi. Hasil survei Tirto yang dilakukan 4-5 Juli 2023 dengan 1.500 responden menunjukkan 46,07 persen pengguna media sosial cukup tertarik dengan informasi politik. Sedangkan, pengguna media sosial yang tidak tertarik dengan informasi politik hanya 22,93 persen. Sisanya tertarik 15,80 persen dan sangat tertarik 12,07 persen.

Dibandingkan dengan platform informasi lainnya, media sosial tetap paling besar peminatnya untuk mencari berita politik. Dari hasil survei Tirto yang sama, media sosial memiliki peminat hingga 90,62 persen. Kemudian diikuti berita online 67,81 persen, televisi 51,40 persen, podcast 28,67 persen, dan surat kabar 17,31 persen. Kemudian diakhiri dengan radio yang peminatnya di angka 7,75 persen.

Potensi tersebut kemudian dimanfaatkan sejumlah politikus untuk mengumpulkan pemilih. Salah satunya, politikus PKB Abdul Rochim. Dia menceritakan pengalamannya dalam upayanya menggaet pemilih, mengingat dia baru pertama kali maju menjadi caleg dalam kontestasi politik.

Dia menggunakan aplikasi media sosial TikTok untuk mengiklankan diri dan menceritakan visi misinya. Dia menyadari apabila menggunakan konsep kampanye konvensional, cukup rumit, selain berat di modal. Hal itu juga membuat dia lelah, karena posisinya yang di Jakarta dan konstituennya ada di Surabaya dan Sidoarjo.

“Menurut saya ini efektif. Kelebihan dari media sosial, kita bisa menyampaikan kapan saja, dan tidak monoton. Kalau baliho itu monoton. Tapi kalau medsos kita bisa bikin sekreatif kita. Sekarang kita bikin konten A, besok konten B. Itu lebih menarik, satu hal yang paling penting adalah model yang sangat murah, yang penting kita punya HP, dan kita punya data, nanti sudah jadi suatu konten," kata Abdul Rochim saat dihubungi Tirto pada Senin (31/7/2023).

Selama beberapa bulan menggunakan media sosial, dia mengklaim adanya peningkatan setidaknya dari segi popularitas. Orang-orang di sekitarnya juga mulai memiliki awareness dengan majunya menjadi caleg.

"Menurut saya penggunaan media sosial itu sangat bagus untuk kampanye pengenalan diri caleg, sebab apa, jadi kalau kita proses pemilihan dimulai dari kita dikenal, kemudian kita disukai, baru kita dipilih. Saat ini semua memegang gadget, dan saat ini ceruknya besar mereka bermain di media sosial," ungkapnya.

Metode serupa juga digunakan oleh Juru Bicara PSI, Sigit Widodo. Ia maju sebagai calon anggota legislatif untuk DPR RI dari Dapil Kota Depok dan Kota Bekasi. Wilayah konstituennya adalah perkotaan dengan kultur masyarakat urban, membuatnya mudah untuk berinteraksi dengan calon pemilihnya.

“Medsos cocok untuk menjangkau kelompok muda di wilayah perkotaan. Kalau konstituen kita di daerah pedesaan, apalagi orang tua di pedesaan, menggunakan medsos tidak akan efektif. Untuk beberapa konstituen, medsos kurang efektif atau bahkan tidak efektif sama sekali," kata Sigit.

Sigit juga menegaskan bahwa dirinya pantang menggunakan buzzer untuk meraih pengikut. Dia juga terikat aturan dengan PSI tidak boleh ada isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dan hoaks lainnya.

“Untuk isu, semua berita terkait PSI selalu kami pantau setiap saat. Kalau muncul narasi negatif biasanya kami counter dengan fakta dan data,” kata dia.

Pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kediri

Petugas keamanan melintas di depan poster lambang partai politik peserta Pemilu 2024 saat pendaftaran bakal calon anggota DPRD di KPU Kediri, Jawa Timur, Rabu (10/5/2023). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/nz

Media Sosial: Kampanye Murah tapi Terlaksana dengan Efektif

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah mengungkapkan, media sosial saat ini masih belum dimanfaatkan secara baik oleh politikus. Karena hanya sekadar diisi oleh info agenda dan propaganda kampanye. Tanpa ada kedekatan yang dibangun antara si calon dengan pengikutnya di media sosial.

“Misalnya beberapa politisi ada yang membangun media sosial mereka secara pribadi untuk berkomunikasi langsung dengan konstituen. Itu kan ada sentuhan pribadi secara personal, daripada media sosial sekadar pencitraan saja. Isinya hanya sekadar info kegiatan politisi, kampanye, dan nggak ada engagement dengan konstituen," kata Hurriyah.

Hurriyah juga mengingatkan, media sosial bisa menjadi bumerang bagi para politikus dan masyarakat. Karena potensi penyebaran hoaks yang dengan mudah dapat terjadi hanya dengan gerakan-gerakan jari.

Terlebih banyak politikus yang mulai aktif menggunakan media sosial hanya saat jelang pemilu. Seolah sok akrab dengan masyarakat, padahal sebelumnya tidak pernah ada kedekatan yang dibangun.

“Saya kira merefleksikan pada perilaku aktor elektoral yang gagal menjalankan atau menawarkan kampanye programatik. Ketika kampanye programatik tidak dijalankan secara baik, dan hanya dilakukan saat pemilu saja cara paling instan dan untuk menjangkau pemilih adalah dengan meemainkan emosi mereka," jelasnya.

Hal senada disampaikan Senior Fellow Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte. Dia menyebut penggunaan media sosial sebagai alat kampanye politik memiliki sejumlah mudarat yang patut diwaspadai. Salah satu penyebabnya adalah tingkat edukasi pemilih di Indonesia yang masih rendah.

“Ini program voters education kita hampir nggak ada, dibandingkan pemilu sebelumnya yang cukup masih dilakukan. Oleh karenanya, karena minim voters education juga menjadi tugas media, NGO, LSM terkait dengan masalah misnformasi. Partai politik harus ada sadar diri dan meminimalisir informasi yang bisa misleading dan menimbulkan konflik," jelasnya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz