tirto.id - Pemilihan umum (Pemilu) 2024 sudah di depan mata. Dari total jumlah pemilih, suara pemilih muda memegang proporsi raksasa. Menurut data Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional untuk Pemilu 2024 sebesar 204,8 juta jiwa. Dari jumlah itu, lebih dari 50 persen pemilih diantaranya merupakan pemilih muda.
Secara lebih terperinci berdasarkan data yang telah direkapitulasi secara nasional tersebut, diketahui pemilih Gen Z berjumlah 46,8 juta jiwa atau 22,85 persen dan sebanyak 68,82 juta jiwa atau 33,6 persen pemilih dari generasi Milenial. Perlu diketahui bahwa menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Gen Z adalah penduduk yang lahir pada tahun 1997 – 2012 dan generasi Milenial adalah penduduk yang lahir pada tahun 1981 – 1996.
Artinya, total pemilih Milenial dan Gen Z yang berjumlah 115,62 juta jiwa mendominasi keseluruhan pemilih dalam DPT yang berjumlah 204,8 juta. Jumlah ini meningkat dari persentase Pemilu 2019 yang hanya sebesar 35—40 persen. KPU mencatat, pemilih muda kala itu jumlahnya sebanyak 70—80 juta orang dari 193 juta pemilih.
Sebagai kelompok dominan dalam Pemilu 2024, suara anak muda dianggap punya kontribusi besar untuk menentukan masa depan bangsa. Hal itu tentu erat kaitannya dengan persoalan partisipasi, preferensi isu, dan karakteristik pemimpin yang mereka inginkan.
Untuk memotret secara lebih jelas terkait beberapa isu tersebut, Tim Riset Tirto berkolaborasi dengan Jakpat, sebagai penyedia layanan survei daring dengan lebih dari 1,1 juta responden di Indonesia, untuk melaksanakan riset mandiri dengan tema “Pemilu 2024 dan Pemilih Pemula”.
Metodologi
Survei dilakukan pada tanggal 4 Juli hingga 5 Juli 2023 dengan melibatkan sebanyak 1500 responden.
Wilayah riset: Indonesia
Instrumen penelitian: Kuesioner online dengan Jakpat sebagai penyedia platform
Jenis sampel: Non probability sampling
Margin of error: Di bawah 3 persen
Profil Responden
Penelitian ini melibatkan 1.500 responden berusia 17-21 tahun, yang menurut usianya merupakan pemilih pemula yang belum mencoblos di Pemilu 2019.
Persebaran persentase rentang usia responden yakni responden berusia 17-19 tahun sebanyak 46,40 persen, sementara responden berusia 20-21 tahun sebanyak 53,60 persen. Dari segi gender, jumlah responden juga cenderung berimbang antara yang berjenis kelamin laki-laki (49,40 persen) dan perempuan (50,60 persen).
Sebaran tempat tinggal responden masih dominan di Pulau Jawa, dengan proporsi responden mencapai 72,68 persen. Disusul responden yang tinggal di Sumatra dengan 16,15 persen, Kalimantan 5,13 persen, Sulawesi 3,55 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2 persen dan Maluku-Papua sebanyak 0,54 persen.
Kemudian dari segi jenjang pendidikan mayoritas responden berlatar pendidikan SMA/K dengan proporsi sebesar 85,27 persen diikuti oleh responden yang berlatar pendidikan SMP dengan persentase 9,87 persen dan S1 sebesar 1,73 persen.
Dari keseluruhan responden, mayoritas berprofesi sebagai pelajar/mahasiswa (68,54 persen) sementara sebanyak 15,13 persen responden mengaku belum memiliki pekerjaan dan sebanyak 2,60 persen berprofesi sebagai wiraswasta.
Berita Baiknya, Mayoritas akan Menyoblos
Survei ini mengungkap dari keseluruhan responden mayoritas mengaku akan menyumbangkan suaranya pada Pemilu 2024 (96,07 persen) sementara hanya 3,93 persen responden yang memutuskan untuk tidak memilih pada Pemilu 2024.
Lebih lanjut, temuan riset ini mengungkap sebanyak 91,67 persen responden akan menggunakan hak pilihnya pada pemilihan presiden dan wakil presiden dan 61,28 persen akan menggunakan hak pilihnya pada pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota). Sehingga, kebanyakan responden bisa dibilang lebih antusias untuk menyumbangkan suaranya di level Pemilihan Presiden (Pilpres).
Angka partisipasi yang tinggi ini senada dengan survei Litbang Kompas yang dilaksanakan selama 25 Januari - 4 Februari 2023 terhadap 1.202 responden. Terlihat bahwa Gen Z atau kelompok usia 17 – 26 tahun cenderung tidak ingin menjadi bagian dari golongan yang antipati terhadap proses pemilu, alias golput. Tercatat hanya 0,6 persen Gen Z, dibanding 1 persen dan 1,3 persen kelompok Milenial Muda dan Milenial Tua yang berniat golput.
Serupa, hasil riset Litbang Kompas juga mengungkap antusiasme pemilih Gen Z cenderung tertuju pada kontestasi Pilpres. Jika memilih ketiganya sekaligus antusiasme Gen Z lebih rendah, maka sebaliknya, ketika menyangkut Pilpres, antusiasme Gen Z nampak lebih tinggi dibanding generasi di atasnya, Milenial.
Masih Bisa Mengubah Pilihan
Meski pemilih pemula antusias mengikuti Pemilu 2024, mayoritas responden yaitu sebesar 52,67 persen mengaku masih mungkin mengubah pilihannya (swing) dalam Pilpres 2024. Sementara, sebesar 25,95 persen responden mengaku sudah yakin dengan pilihan capresnya. Sisanya, 15,34 persen responden mengaku sama sekali tidak memiliki preferensi terkait figur capres yang akan dipilih.
Temuan ini mirip dengan survei nasional Poltracking Indonesia yang berlangsung pada 9-15 April 2023. Menurut temuan survei yang melibatkan 1.220 responden itu, jumlah responden yang masih akan mengubah pilihannya dalam Pilpres 2024 mencapai 66,7 persen. Dilihat dari jumlah ini, jumlah swing voters dari riset Tirto memang lebih rendah dari Poltracking Indonesia, meski perlu diperhatikan pula bahwa selain karakteristik responden yang berbeda, tiga bulan telah berlalu sejak riset Poltracking.
Sementara itu, menurut riset Poltracking, hanya 17 persen responden yang telah menetapkan pilihan dengan mantap.
Dikutip dari laporan Tirto, Peneliti Poltracking Masduri Amrawi menjelaskan, secara umum tingginya angka pemilih yang masih mungkin mengubah pilihannya dalam Pemilu 2024 salah satunya disebabkan karena belum adanya pasangan capres-cawapres yang definitif. Masduri menambahkan, pemilih juga masih perlu waktu untuk mendalami rekam jejak, visi atau misi, serta program kerja paslon presiden dan wakilnya.
Hingga kini, belum ada pengumuman resmi pasangan bakal capres-cawapres yang diusung masing-masing koalisi.
Kembali ke survei yang dilakukan oleh Tim Riset Tirto bekerja sama dengan Jakpat, temuan riset menemukan dari segi gender terlihat perbedaan angka yang signifikan antara perempuan dan laki-laki dalam hal preferensi capres yang akan dipilih.
Tercatat, hanya 18,42 persen responden perempuan yang mengaku telah memiliki preferensi dan yakin dengan pilihan capresnya, angka ini jauh lebih kecil dari responden laki-laki (33,76 persen) yang sudah memiliki preferensi figur capres dan tidak akan mengubahnya.
Lebih lanjut, sebanyak 21,42 persen responden perempuan juga mengaku sama sekali tidak memiliki preferensi terhadap calon presiden. Angka yang jauh lebih besar dari pada responden laki-laki (9,04 persen).
Inginkan Pemimpin Jujur dan Anti Korupsi
Tingginya angka pemilih yang masih mungkin akan mengubah pilihannya mengindikasikan para pemilih masih perlu waktu untuk mendalami karakteristik, rekam jejak, visi atau misi, serta program kerja paslon presiden dan wakilnya.
Perlu diketahui bahwa dalam riset Tirto bersama Jakpat, dari berbagai pilihan karakteristik yang diberikan kepada responden, responden survei diminta memilih 3 prioritas teratas karakteristik yang diinginkan dari sosok presiden RI selanjutnya. Temuan yang ditunjukkan di artikel ini adalah karakteristik yang paling banyak dipilih menjadi prioritas nomor satu (pertama) karakteristik yang perlu dimiliki presiden pilihan mereka di Pemilu 2024.
Berdasarkan survei Tirto bersama Jakpat, ditemukan bahwa "jujur dan tidak korupsi" rupanya menjadi karakteristik yang paling banyak dipilih menjadi prioritas utama para pemilih pemula dalam memilih calon presiden dalam Pilpres 2024 dengan persentase 33,73 persen.
Pilihan ini berada di atas karakteristik lain seperti tegas dan berwibawa, dekat dengan masyarakat, taat beragama, adaptif (bisa mengikuti perkembangan teknologi) dan inklusif (peduli dengan minoritas, kelompok marginal dan rentan), yang juga menjadi karakteristik-karakteristik teratas yang dipilih oleh responden.
Jawaban ini sejalan dengan hasil riset sebelumnya yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang berlangsung Agustus 2022. Dalam riset yang melibatkan 1.192 responden berusia 17 – 39 tahun itu disebutkan, pemilih muda paling banyak mendambakan pemimpin negara yang jujur dan tidak korupsi (34,8 persen). Selain itu karakteristik pemimpin yang merakyat dan tegas juga menjadi pilihan yang paling banyak dipilih responden.
Hal ini sekaligus memperlihatkan adanya pergeseran ketertarikan pemilih muda terhadap karakter kepemimpinan nasional dibandingkan pemilu 2019 lalu. Survei CSIS pada tahun 2019 mengungkap satu bulan menjelang Pemilu 2019, sebesar 39,2 persen responden berpendapat bahwa karakter pemimpin yang merakyat dan sederhana dibutuhkan untuk memimpin Indonesia, dan ketika itu hanya 11,1 persen responden yang mengatakan membutuhkan pemimpin yang jujur dan anti korupsi.
Menariknya, survei Tirto menemukan beberapa karakter seperti cerdas dan berprestasi secara akademis, visioner, punya kemampuan komunikasi yang baik, memiliki selera humor dan mudah bergaul tertangkap tak terlalu mempengaruhi pilihan pemilih pemula. Sebagai contoh, hanya sebesar 4,9 persen responden yang menginginkan karakter pemimpin visioner dalam memilih capres.
Lantas, selain karakter, aspek apa yang dipertimbangkan pemilih pemula dalam memilih calon presiden?
Pertimbangkan Rekam Jejak Hukum dan Hak Asasi Manusia
Di luar karakteristik dari para calon presiden, ada beberapa aspek yang menjadi pertimbangan pemilih pemula dalam memilih calon presiden. Temuan riset ini menemukan bahwa sebanyak 26,09 persen responden mengatakan akan mempertimbangkan rekam jejak hukum/hak asasi manusia (HAM) sebagai prioritas utama.
Sementara itu, pengalaman memimpin menjadi prioritas kedua yang paling banyak dipilih. Disusul, prestasi memimpin, persepsi publik, isu dan program yang ditawarkan hingga parpol pengusung menjadi enam aspek terbanyak yang dipertimbangkan oleh para pemilih pemula dalam memilih capres.
Perlu diperhatikan bahwa isu dan program yang ditawarkan masih berada di bawah pengalaman dan prestasi memimpin calon presiden. Hal ini relevan dengan tiga nama yang ramai dibicarakan di bursa bakal capres yang kesemuanya pernah memiliki pengalaman memimpin sebelum mencalonkan diri menjadi presiden, baik di tingkat menteri maupun gubernur.
Menariknya, beberapa aspek yang dianggap penting seperti ras, suku dan agama, calon wakil presiden yang mendampingi, gender dan usia justru tertangkap tak terlalu menjadi prioritas utama pemilih pemula dalam memilih capres.
Sebagai contoh, ras, suku dan agama hanya dipilih sebagai pertimbangan utama dalam memilih oleh sekitar 4,64 persen responden. Sama halnya dengan faktor cawapres yang mendampingi hanya menjadi pertimbangan utama bagi 3,19 persen pemilih.
Survei ini juga menemukan bahwa pendapat atau pilihan orang tua menjadi aspek yang paling sedikit dipertimbangkan oleh para pemilih pemula dalam menentukan pilihan calon presiden (0,9 persen). Hasil ini berbeda dengan survei kepemimpinan nasional Litbang Kompas yang mengungkap bahwa keluarga (orang tua, pasangan, anak dan saudara) menjadi pihak yang paling mempengaruhi pilihan presiden bagi generasi Z.
Setelah mengetahui karakteristik dan aspek yang dipertimbangkan, lalu isu apa yang menjadi minat dan perhatian utama pemilih pemula dalam Pemilu 2024?
Pemberantasan Korupsi dan Kesejahteraan Masyarakat Jadi Perhatian
Tirto juga menanyakan kepada responden pemilih pemula terkait isu apa saja yang menjadi minat atau perhatian utama mereka dalam Pemilu 2024. Hasil survei menunjukan kebanyakan responden (21,37 persen) memilih pemberantasan korupsi sebagai isu prioritas utama.
Kepedulian terhadap isu korupsi ini sesuai pula dengan karakteristik utama calon presiden selanjutnya pilihan responden, yakni bebas korupsi. Sehingga, isu ini diperkirakan akan tetap relevan dan menjadi prioritas untuk pemilih muda mendekati Pemilu 2024.
Di luar isu pemberantasan korupsi, isu kesejahteraan masyarakat (misalnya upah layak, kepemilikan rumah) menjadi isu prioritas kedua yang paling banyak dipilih oleh pemilih pemula.
Isu kepemilikan rumah misalnya, nampak menjadi tantangan utama bagi Gen Z, hal ini setidaknya tercermin dari hasil survei Property Perspectivefrom Gen Z yang dirilis oleh Jakpat, mengungkap sebanyak 36 persen dari 587 responden Gen Z belum siap secara finansial untuk membeli properti.
Isu lapangan pekerjaan juga menjadi salah satu isu yang menjadi perhatian utama dari kalangan pemilih pemula. Sebagai perbandingan, temuan survei periodik yang dilakukan Litbang Kompas per Mei 2023 lalu menunjukkan angka ketidakpuasan terhadap pemerintah dalam mengatasi pengangguran di kalangan Gen Z mencapai 46,8 persen.
Menariknya, beberapa isu lain seperti masalah lingkungan, demokrasi dan kebebasan sipil, kesehatan dan feminisme tertangkap tak terlalu dianggap menjadi prioritas utama isu yang menjadi perhatian pemilih pemula dalam pemula.
Sebagai contoh, isu permasalahan lingkungan, isu demokrasi dan kebebasan sipil hanya dijadikan isu prioritas pertama oleh sekitar 5 persen dari responden. Lebih rendah, isu kesehatan hanya dipilih oleh sekitar 3 persen sementara isu feminisme hanya menjadi prioritas utama dari 0,76 persen responden.
Puas dengan Kinerja Pemerintah
Survei mandiri yang dilakukan Tirto bersama Jakpat juga memotret tren angka kepuasan pemilih pemula terhadap kinerja pemerintahan yang masih tinggi. Dari keseluruhan responden, sebanyak 46,87 persen responden mengaku cukup puas dengan kinerja pemerintahan. Lebih lanjut, 20 persen responden mengaku puas dengan kinerja pemerintahan dan sebanyak 9,13 persen mengaku sangat puas. Totalnya, secara umum, pemilih muda yang puas terhadap kinerja pemerintah saat ini mencapai 76 persen.
Sementara itu, jumlah responden yang mengaku tidak puas dengan kinerja pemerintah tercatat hanya sebanyak 19,73 persen dan 4,27 persen responden mengaku sangat tidak puas. Responden yang tinggal di Riau, Bengkulu, DIY, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Aceh secara persentase paling banyak menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintah.
Tingginya angka kepuasan pemilih pemula terhadap kinerja pemerintah ini sejalan dengan hasil survei Litbang Kompas pada 25 Januari-4 Februari 2023 yang mencatat tingkat persentase kepuasan Gen Z yang diwakili responden berusia di bawah 24 tahun mencapai angka 72,5 persen atau lebih tinggi 3,2 persen dari kepuasan secara umum.
Litbang Kompas mencatat apresiasi yang diberikan Gen Z kepada pemerintah cenderung mengalami tren kenaikan dibanding tahun sebelumnya. Temuan Kompas juga memotret beberapa alasan yang membuat Gen Z puas terhadap kinerja pemerintahan, diantaranya sering mendapatkan bantuan sosial (22,2 persen), kepemimpinan yang merakyat (11,3 persen), pembangunan yang masif (10,1 persen), dan pembangunan yang merata (8,9 persen).
Secara umum Tirto juga merangkum selama tiga bulan terakhir ada empat lembaga survei yaitu Lembaga Survei Indonesia (LSI), SMRC dan SPIN yang merekam terjadinya tren kenaikan angka kepuasan terhadap kinerja pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hasil survei LSI pada April 2023 misalnya, menunjukkan tingkat kepuasan kinerja Presiden Jokowi mencapai 82 persen. Angka ini merupakan kepuasan tertinggi selama Jokowi menjabat presiden.
Sektor yang Harus Diperbaiki
Kendati tingkat kepuasan responden terhadap kinerja pemerintah saat ini tinggi, ada beberapa sektor yang diharapkan perbaikannya di bawah presiden baru. Tirto menanyakan kepada responden pemilih pemula terkait sektor apa saja yang paling diharapkan perbaikannya di bawah presiden baru.
Hasilnya, lebih dari separuh responden memilih kesejahteraan masyarakat, pemberantasan korupsi, ekonomi, hak asasi manusia dan hukum menjadi sektor yang paling diharapkan perbaikannya.
Sebagai contoh, sebanyak 77,20 responden menginginkan sektor pemberantasan korupsi sebagai sektor yang paling diharapkan perbaikannya di bawah presiden baru. Jawaban ini juga berbanding lurus dengan kriteria responden yang menginginkan pemimpin yang mempunyai kriteria jujur dan anti korupsi dan korupsi sebagai isu prioritas Pemilu 2024.
Hasil survei menemukan responden dari kalangan status sosial ekonomi bawah cenderung lebih memilih sektor ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sebagai sektor yang paling diharapkan perbaikannya. Sementara, responden dari kalangan status sosial ekonomi atas paling banyak memilih pemberantasan korupsi sebagai sektor yang paling diharapkan perbaikannya.
Sebelumnya, survei yang dilakukan Litbang Kompas menyebutkan meski tingkat kepuasan terhadap pemerintah mengalami tren kenaikan namun dari 20 indikator dalam empat aspek yang disurvei, yakni politik dan keamanan, penegakan hukum, ekonomi, dan kesejahteraan sosial, semua mengalami kenaikan tingkat kepuasan secara bervariasi. Namun, ada tujuh indikator yang masih di bawah 50 persen.
Diantaranya, di bidang penegakan hukum, indikator itu ialah memberantas suap dan jual beli kasus, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan menjamin perlakuan setara oleh aparat hukum kepada semua warga. Sementara itu, di bidang ekonomi serta kesejahteraan sosial indikator itu ialah memberdayakan petani dan nelayan, menyediakan lapangan pekerjaan, mengendalikan harga barang dan jasa, serta mengatasi kemiskinan.
Temuan menarik lain dari survei Tirto adalah sektor demokrasi dan kebebasan sipil rupanya menjadi sektor yang paling sedikit dipilih responden pemilih pemula (39,47 persen) untuk diperbaiki.
Hal ini mungkin karena, menurut riset Tirto dengan Jakpat, mayoritas responden merasa cukup bebas dalam berpendapat, menyampaikan kritik, berkumpul, dan berekspresi di Indonesia, sebesar 42,47 persen dari total responden. Banyak responden lain juga yang merasa bebas (21,47 persen) dan sangat bebas (9,13 persen) untuk melakukan hal ini.
Hanya 26,93 persen responden yang merasa tidak bebas atau sangat tidak bebas dalam berpendapat, menyampaikan kritik, berkumpul, dan berekspresi di Indonesia.
Sebelumnya, kebebasan sipil di Indonesia dianggap sedang dalam kondisi titik terendah. Hal ini tercermin dari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2022 yang menunjukkan kebebasan sipil di Indonesia semakin buruk berdasarkan data lima tahun terakhir, yaitu 2017 hingga tahun 2022.
Senada, temuan riset yang dilakukan CSIS pada tahun 2022 terhadap 1.192 responden berusia 17-39 tahun mengungkap bahwa dari 6 indikator kebebasan sipil yang diuji, 43,9 persen responden mengatakan belum bebas dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah.
Sebagai informasi, berdasarkan riset yang dilakukan Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia meraih skor 6,71 pada Indeks Demokrasi 2022. Diketahui, skor tersebut tak berubah dari tahun 2021 yang juga sebesar 6,71 poin. Hanya saja, Indonesia harus turun ke peringkat 54 di dunia dan masuk dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracies).
Menariknya, justru terdapat penurunan pada pada indikator budaya politik yang demokratis dan kebebasan sipil. Di tahun 2010, angka budaya politik adalah 5,63 dan angka kebebasan sipil 7,06. Namun di tahun 2022, nilainya masing-masing menjadi 4,38 dan 6,18.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty