tirto.id - Sejak pelukan pertama, seorang ibu bukan hanya menenangkan tangis bayinya, tetapi juga menanamkan bahasa cinta yang tak terlihat berupa kelembutan, empati, dan keberanian untuk merasa.
Dalam gendongan ibu, anak laki-laki belajar bahwa dunia tak hanya menuntut kekuatan, tetapi juga kepekaan.
Ketika sang anak mulai tumbuh dan bergaul, pandangan masyarakat secara umum sering mengajarkan bahwa anak laki-laki harus selalu kuat, tidak cengeng, dan bisa menyembunyikan perasaan.
Di balik niat baik seorang ibu menjaga anaknya dari luka, pesan-pesan ini justru acap kali memisahkan anak laki-laki dari sisi lembut kemanusiaannya.
Padahal, sejak dalam gendongan ibu, anak laki-laki sebetulnya mampu merasakan dan memahami kasih sayang dengan begitu mendalam.
Ya, mendidik anak laki-laki agar tumbuh penuh empati menjadi sebuah perjalanan yang bisa dibilang tidak mudah, sebuah upaya kecil tapi bermakna untuk menumbuhkan manusia yang utuh.
Membesarkan Anak Laki-laki untuk Berempati
Dilansir Psychology Today, di dunia yang masih banyak diwarnai kekerasan dalam hubungan, sebagian besar pelaku adalah laki-laki, sementara korban terbanyaknya perempuan.
Fenomena ini tidak lepas dari warisan masyarakat patriarki yang menanamkan gagasan keliru tentang maskulinitas, bahwa laki-laki harus selalu kuat, dominan, dan tidak boleh menunjukkan emosi.
Sebuah studi dari University at Buffalo tahun 2015 tentang narsisme dan gender menemukan bahwa laki-laki cenderung memiliki tingkat narsisme lebih tinggi daripada perempuan.
Sifat tersebut, meski kadang-kadang bermanfaat dalam konteks membangun kepercayaan diri dan kepemimpinan, berisiko memicu perilaku agresif dan hubungan yang tidak sehat jika tidak diimbangi dengan empati.
Menurut hasil penelitian, aspek negatif narsisme ini sangat relevan dengan keberadaan kekerasan pasangan intim.
Mereka diajarkan bahwa menangis adalah tanda kelemahan dan bahwa perasaan lembut sebaiknya disembunyikan. Tekanan ini menciptakan jarak antara laki-laki dan sisi emosionalnya sendiri.
Ketika perasaan takut, sedih, atau terluka tak mendapat ruang untuk diungkapkan, kemarahan sering menjadi jalan keluarnya.
Padahal, di balik kemarahan itu bisa tersimpan rasa sakit atau kesedihan yang belum diakui.
Dalam beberapa kasus, kemarahan bahkan menjadi topeng bagi depresi yang tersembunyi.
Untuk memutus rantai tersebut, orang tua, termasuk ibu perlu menumbuhkan empati sejak dini, terutama pada anak laki-laki.
Peran orang tua, khususnya dalam cara mereka mengekspresikan emosi dan merespons perasaan anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangan empati.
Ketika anak laki-laki diajarkan bahwa kelembutan bukan kelemahan, dan bahwa perasaan layak untuk dirasakan serta dibagikan, mereka akan tumbuh menjadi laki-laki yang lebih peka, lebih sehat secara emosional, dan lebih mampu membangun hubungan yang saling menghargai dan menghormati.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh dukungan dan kehangatan orang tua cenderung mengembangkan empati yang lebih kuat.
Empati ini menjadi dasar penting bagi hubungan yang sehat dan penuh penghargaan terhadap orang lain.
Studi: Sifat Empati Anak Diturunkan dari Orang Tua
Empati berarti menempatkan diri pada posisi orang lain untuk memahami dan merasakan sampai batas tertentu apa yang mereka rasakan.
Kemampuan berempati hadir seiring dengan kemampuan kita untuk merasakan dan mengatur perasaan agar hadir secara emosional dengan orang lain. Merasakan dan berempati sangat penting untuk memiliki hubungan yang sehat.
Studi lainnya dari University of Virginia pada 2024 menunjukkan bahwa empati bukan hanya hasil pembelajaran, tetapi juga dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Penelitian yang dilakukan selama 25 tahun oleh Stern dkk ini melibatkan 184 remaja yang terdiri atas 99 perempuan dan 85 laki-laki. Perkembangan responden dilacak dari usia 13 tahun hingga memasuki usia 30-an.
Hasilnya menunjukkan bahwa orang tua yang berempati terhadap anak remajanya cenderung memiliki anak yang juga berempati terhadap teman-temannya.
Ketika anak-anak ini tumbuh dewasa dan menjadi orang tua, mereka pun lebih mampu menunjukkan empati kepada anak-anak mereka.
Dengan kata lain, empati orang tua hari ini bisa menjadi warisan emosional yang berharga bagi generasi mendatang.
Sebagai orang tua, terutama ibu yang cenderung lebih banyak mendedikasikan waktunya untuk membersamai anak, memiliki peran penting dalam membangun rantai empati ini.
Anak laki-laki yang mampu berempati tidak hanya akan tumbuh jadi laki-laki dewasa yang kuat mental, tetapi juga penuh pengertian, mampu menjalin hubungan yang sehat dan saling mendukung, untuk kebaikan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Situs Sunshine City Counseling menulis, seorang ibu sering kali menjadi cermin pertama bagi anak laki-lakinya tentang bagaimana kasih sayang bekerja.
Dari caranya menenangkan tangis, mendengarkan cerita kecil, hingga memeluk tanpa syarat, semua itu adalah pelajaran awal tentang empati.
Di dalam gendongan ibu, anak laki-laki belajar bahwa kelembutan bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang menumbuhkan rasa aman dan keberanian untuk peduli.
Dari pelukan ibu, empati pertama kali belajar bernapas. Dari sentuhan penuh kasih itulah, dunia mendapat harapan, bahwa generasi laki-laki berikutnya akan tumbuh bukan hanya menjadi kuat, tetapi juga lembut, sadar, dan menghargai perasaan orang lain.
Karena setiap pelukan ibu hari ini bisa menjadi akar dari dunia yang lebih penuh kasih esok hari.
Artikel lainnya mengenai ibu dan anak juga bisa dibaca melalui tautan ini.
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































