Menuju konten utama
Edusains

Tanpa Kesadaran dan Empati, Lelucon Hanya Jadi Bumerang

Lelucon yang baik adalah yang dapat membuat orang tertawa tanpa merendahkan atau menyakiti perasaan orang lain. Kesadaran dan empati sangat penting.

Tanpa Kesadaran dan Empati, Lelucon Hanya Jadi Bumerang
Ilustrasi tertawa. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tiga anggota OSIS berkeliling ke tiap kelas sembari membawa kotak sumbangan. Begitu hendak memasuki kelas IPS 2, murid-murid mulai tersedu dan sebagian menangis histeris. Mereka baru mendapat kabar dari anak kelas lain bahwa dua teman kelas mereka baru saja mengalami kecelakaan.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un...” ujar salah satu anggota OSIS begitu memasuki kelas.

Sebagian murid kembali menunduk sembari menahan isak tangis mengira dua temannya itu yang wafat.

“Telah meninggal dunia ayahanda dari Bapak Oting Zaenudin,” sambung anggota OSIS itu.

Seketika kelas menjadi riuh, sebab bukan dua rekannya yang akhirnya divonis telah meninggal.

“Alhamdulillah, Ya Allah!”

Saya kerap menertawakan diri dengan kisah di atas ketika disangka meninggal oleh teman-teman sekelas di SMA Cijeruk, Bogor. Itu terjadi tiga bulan menjelang ujian akhir sekolah saat saya dan seorang teman mengalami kecelakaan di tengah perjalanan menuju sekolah.

Cerita ini kerap saya ulangi setiap bertemu dan ngobrol dengan orang-orang untuk membuka obrolan. Mereka kadang meresponsnya dengan tertawa dan menganggapnya lucu, namun ada juga yang menganggapnya biasa saja.

Pengalaman pribadi seseorang dengan situasi tertentu dapat memengaruhi kepekaan seseorang terhadap humor. Misalnya, seseorang yang pernah mengalami kejadian lucu dalam konteks tertentu mungkin sangat menikmati lelucon tentang situasi itu, sementara orang lain yang tidak memiliki pengalaman serupa mungkin tidak menganggapnya lucu.

KH. Hasyim Muzadi dalam pengantar bukunya Indonesia Ha..Ha..Ha.. (2002) mencontohkan hal lain, misalnya banyak orang kota yang kerap menertawakan orang desa. Sebaliknya banyak pula orang desa yang tak bisa menahan geli melihat ulah orang kota. Biasanya orang kota menertawakan keluguan orang desa, sementara orang desa menertawakan berlebih-lebihannya orang kota.

“Melihat pengantin desa berpakaian, boleh jadi orang kota menertawakannya. Tapi orang desa geli setengah mati melihat kemewahan pesta pernikahan orang kota yang ternyata hanya berumur bulanan,” sambung pendiri pesantren Al-Hikam itu.

Begitulah, humor juga kerap dipengaruhi oleh konteks budaya. Apa yang dianggap lucu dalam satu budaya mungkin tidak dimengerti atau bahkan dianggap ofensif dalam budaya lain.

Etika Humor

Humor pada dasarnya adalah seni. Seperti seni lainnya, ia memiliki batasan yang perlu dihormati agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Etika humor mengajarkan kita untuk mempertimbangkan dampak dari lelucon yang kita sampaikan. Lelucon yang baik adalah yang dapat membuat orang tertawa tanpa merendahkan atau menyakiti perasaan orang lain.

Seturut Ahmad Amin dalam Etika Ilmu Akhlak (1991), etika merupakan ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan yang layak kepada sebagian besar manusia dan menunjukkan jalan untuk melakukan yang harus diperbuat.

Dalam konteks sosial, humor dapat berfungsi sebagai alat untuk memperkuat hubungan interpersonal. Namun, ketika humor digunakan tanpa pertimbangan etis, ia dapat berubah menjadi senjata yang melukai. Maka itu, penting bagi kita untuk memahami batasan dan sensitivitas audiens sebelum melontarkan lelucon.

Lelucon yang membuat orang lain menjadi bahan joke, khususnya dalam konteks yang merendahkan, harus dihindari. Ini termasuk lelucon tentang etnis, gender, orientasi seksual, atau topik lain yang dapat menimbulkan sakit hati.

Ilustrasi tertawa

Ilustrasi tertawa. FOTO/iStockphoto

Etika humor mencakup prinsip-prinsip moral yang mengatur penggunaan humor dalam kehidupan sehari-hari. Ini mencakup tanggung jawab pembuat lelucon terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan, baik terhadap individu maupun kelompok.

Misalnya penggunaan humor dalam timing dan konteks sangat penting. Saat berduka atau di tengah krisis, itu tidak cocok untuk melakukan lelucon. Menghormati suasana hati dan situasi orang lain merupakan aspek penting dalam etika humor.

Tawa bersama umumnya memicu rasa keakraban. Humor yang melibatkan semua orang dan menciptakan rasa kebersamaan lebih berharga dibandingkan lelucon yang mengeksploitasi kekurangan orang lain.

Humor dapat memperkuat hubungan sosial, tetapi juga berpotensi menyakiti atau merendahkan orang lain. Humor yang tidak berhasil beresonansi sering kali dikritik lebih keras daripada humor yang berhasil menghibur.

Ketika Humor Menjadi Bumerang

Humor dapat dikatakan salah satu aspek penting dalam kehidupan sosial. Ia berfungsi sebagai sarana untuk mencairkan suasana, mempererat hubungan, dan alat untuk menyampaikan kritik secara halus kepada penguasa.

Gus Dur sering menggunakan humor untuk menyampaikan pesan-pesan sosial dan politik. Ia percaya bahwa humor dapat membuka pikiran dan menyampaikan kritik dengan cara yang lebih lembut. Humornya mampu dinikmati oleh berbagai kalangan, dari anak-anak hingga orang dewasa. Ia mampu menyampaikan pesan yang kompleks dengan cara yang sederhana dan menghibur.

Berbagai jenis humor memiliki tingkat tanggung jawab moral yang bervariasi; lelucon percakapan yang cepat cenderung memiliki tanggung jawab yang lebih sedikit.

Menurut Darminto M.Sudarmo dalam Humor Quotient - Kecerdasan Humor (2021:32, ada banyak teori humor yang mencoba menjelaskan apa itu humor, apa fungsi sosial yang dilayaninya, dan apa yang akan dianggap lucu.

Selanjutnya ia menuturkan bahwa ada tiga teori humor yang cukup dikenal, yakni teori psikologi, misalnya menganggap bahwa humor sebagai perilaku yang sehat. Sementara teori spiritual, mempertimbangkan humor sebagai "hadiah" dari Tuhan. Terakhir ada yang menganggap humor itu sebuah misteri yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Para penganut paham ini cenderung skeptis dan tidak mau melibatkan diri terlalu jauh karena eksistensi humor yang begitu luas dan sangat kompleks,” sambung Darminto.

Namun, dalam era digital saat ini, batas antara humor dan hinaan sering kali menjadi kabur, terutama ketika konteks tidak disertakan dengan jelas.

Contoh konten media sosial, pesan sering kali disampaikan dalam bentuk yang singkat dan tanpa konteks yang utuh. Dampaknya ialah dapat menyebabkan kesalahpahaman, terutama ketika sebuah pernyataan bernada humor dianggap sebagai hinaan. Ini biasanya disebut hinaan nirkonteks, sebuah pernyataan yang, ketika diambil di luar konteks aslinya, dapat dianggap ofensif atau merendahkan.

Kesalahan dalam menilai hinaan nirkonteks sebagai lelucon sering kali terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap konteks di mana pernyataan tersebut dibuat. Lelucon yang berupa hinaan tanpa konteks sering kali dapat dipahami sebagai serangan pribadi atau pengurangan martabat orang lain.

Akibatnya lahir rasa sakit atau memperkuat stigma, terutama jika sasarannya adalah kelompok yang sudah rentan. Misalnya, sebuah lelucon yang diterima dalam kelompok teman dekat mungkin dianggap tidak pantas jika disampaikan di forum publik.

Ilustrasi tertawa

Ilustrasi tertawa. Getty Images/iStockphoto

Lelucon yang merendahkan dapat memicu perasaan malu atau rasa bersalah di antara mereka yang menghargainya, demikian jabaran sebuah studi Angela Bartolo dkk dalam “Uncover the Offensive Side of Disparagement Humor: An fMRI Study”.

Studi tersebut menyoroti perlunya memeriksa humor di berbagai variabel demografis. Mereka juga menyelidiki mekanisme neural dari humor dapat memperkaya pemahaman tentang proses psikologis dan sosial.

Masih menurut studi tersebut, humor ternyata melibatkan berbagai substrat saraf, termasuk yang terkait dengan emosi dan penghargaan. Respons emosional terhadap humor bisa menjadi kompleks, melibatkan baik kebahagiaan maupun rasa malu.

Meskipun beberapa mungkin melihatnya sebagai bentuk humor, hinaan nirkonteks secara umum dapat memperburuk kondisi sosial dengan memperkuat stereotip negatif atau menormalisasi perilaku bullying. Ini akan sangat merugikan bagi individu yang terlibat.

Melihat fenomena segala sesuatu yang bisa viral dengan cepat, ada pergeseran dalam cara masyarakat melihat humor, terutama terkait dengan kesadaran akan isu-isu seperti rasisme, seksisme, dan diskriminasi. Lelucon yang mungkin dulunya diterima sekarang bisa dianggap tidak etis atau ofensif.

Kesadaran dan Empati

Lelucon dapat berfungsi murni untuk hiburan atau mengandung makna yang lebih dalam, sering kali mencerminkan kebenaran sosial.

Sebagai seseorang yang membuat lelucon, penting untuk mempertimbangkan bagaimana lelucon tersebut mungkin diterima oleh berbagai audiens. Humor dapat menjadi alat yang kuat untuk menambah keceriaan, tetapi hanya jika digunakan dengan bijaksana.

Steve Gimbel dalam jurnalnya “The Ethics of Humor: Can't You Take a Joke?” menulis bahwa empati harus dimiliki setiap humoris. Menurutnya, empati adalah komponen psikologis utama yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi manusia yang bermoral.

Humor pada dasarnya adalah keadaan kognitif yang terkait dengan perspektif psikologis. Karenanya, selalu pertimbangkan situasi dan audiens sebelum menyampaikan atau menilai sebuah lelucon. Apa yang lucu dalam satu konteks mungkin tidak diterima dalam konteks lain.

Cobalah memahami niat di balik melemparkan humor atau lelucon ke khalayak: Apakah tujuannya untuk membuat orang tertawa atau justru untuk merendahkan?

Respons dari audiens dapat menjadi indikator apakah sebuah lelucon diterima dengan baik atau tidak. Jika banyak yang merasa tersinggung, mungkin sudah saatnya untuk mengevaluasi kembali lelucon tersebut.

Lain itu, tempatkan diri pada posisi orang lain. Bagaimana perasaan kita jika berada di posisi mereka? Empati dapat membantu kita memahami dampak dari kata-kata kita terhadap orang lain. Coba ciptakan humor yang menciptakan rasa solidaritas, seperti berbagi pengalaman lucu yang dapat dialami bersama oleh banyak orang.

Dalam dunia yang semakin terhubung, penting bagi kita untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan lelucon agar tidak menyinggung orang lain.

Baca juga artikel terkait HUMOR atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi