tirto.id - “Sewaktu Bintang (15) masih kecil, kalau dia menangis saya bilang, ‘kalau nangis terus nanti sesak napas, lho. Selesaikan nangisnya, ya’,” kata Sulistiantoro (47), ayah dua anak.
Setelah Bintang agak besar, ketika ia menangis karena diganggu teman di kelasnya, Sulis mengatakan, “Laki-laki jangan menangis, orang-orang yang meledek kamu itu diamkan saja.”
Sulis mengaku, di usianya sekarang Bintang jarang menangis.
“Kalau kecewa atau sedih, dia akan diam menyendiri sampai kami orang tuanya datang menghibur. Kami katakan padanya, kalau mau menangis, menangislah tapi setelah itu selesai.”
Konstruksi sosial bahwa laki-laki tidak menangis sudah berlangsung sedari lama, bahkan lewat lagu. Mungkin kamu ingat band tahun 1980-an The Cure yang pernah menyanyikan lagu "Boys Don’t Cry".
Inti lagunya adalah penyesalan yang terlambat karena pelantun lagu mencoba menertawakan dan menutupinya dengan kebohongan, menyembunyikan air mata karena pandangan anak laki-laki idealnya tidak menangis.
Di balik itu, ada kabar baik buat kita sekarang. Kesadaran orang dari generasi ke generasi semakin berkembang.
Sebagian generasi X, Y, dan Z tak lagi mempertahankan keyakinan bahwa anak laki-laki tidak menangis.
Yup, mereka santai saja apabila anak laki-lakinya menangis. Mungkin karena mereka sudah punya cukup akses informasi yang menyebut bahwa kalimat ‘anak laki-laki nggak (boleh) nangis’ adalah kalimat yang berbahaya.
Kalau ada yang mengatakan menangis itu mengumbar kelemahan dan memalukan, lalu kenapa laki-laki juga punya kelenjar air mata? Mengapa kelenjar ini mengeluarkan air mata saat ada tekanan emosi yang kuat?
Banyak alasan kesehatan dari aktivitas menangis. Dokter terkadang menyarankan pasien untuk menangis dengan baik. Bahkan ada psikolog klinis yang menyatakan, kita akan rugi kalau tidak menangis secara teratur. Begitu tulis Serusha Govender dalam WebMD.
Di Jepang, urusan menangis ini bahkan jadi urusan pemerintah.
Di beberapa kota, ada klub bernama rui-katsu—artinya mencari air mata. Secara rutin anggota klub ini berkumpul untuk menikmati pesta kuno. Supaya bisa menangis, mereka menonton orang yang membuat air mata.
Apa premisnya? Menangis itu melepaskan stres, sehingga baik untuk kesehatan mental.
Ada kok, teorinya.
Air mata emosional juga mengandung lebih banyak mineral mangan yang berguna untuk mengatur suasana hati dibanding air mata jenis lain.
Stres itu bisa mengencangkan otot dan meningkatkan ketegangan.
Jadi, kalau kita menangis, ya kita melepas sebagian dari ketegangan itu. Menangis dapat mengaktifkan saraf simpati dan mengembalikan keseimbangan tubuh.
“Kita harus mendorong anak laki-laki untuk menangis. Jangan malah mempermalukannya,” tulis Trine Jensen Burke dalam situs EveryMum.
Hanna Rosin dalam artikelnya Is It OK for Boys to Cry? menyebut bahwa anak laki-laki akan semakin tertinggal di sekolah dalam masyarakat yang semakin kompleks jika mereka tidak diajari jujur dan terbuka secara emosional, mampu mengenali dan menavigasi perasaan mereka daripada menekannya.
Sayangnya, penelitian lain menunjukkan bahwa mengajarkan anak laki-laki agar menerima kerentanan mereka itu susah.
Ini gara-gara sulitnya menghilangkan stigma "anak mama". Anak laki-laki biasanya sulit menerima bila mereka disebut "anak mama" karena menangis.
Mirisnya lagi, pandangan tabu laki-laki yang merasakan kerentanan ini punya korelasi dengan kesehatan mental.
Helene Schumacher di BBC mengutip estimasi WHO bahwa terdapat sekitar 793.000 kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia pada 2016. Kebanyakan kasus tersebut ternyata terjadi pada laki-laki. Sementara itu, di Inggris, bunuh diri masih menjadi penyebab kematian terbesar pada laki-laki usia di bawah 45 tahun.
Di Indonesia pada 2019, menurut World Bank, angka bunuh diri laki-laki mencapai 3,7 per 100.000 laki-laki, sementara perempuan 1,1 per 100.000 perempuan.
Rasionya lebih tinggi pada laki-laki, bukan?
Penyebab bunuh diri sangatlah kompleks. Tidak ada satu penyebab tunggal, dilatarbelakangi banyak faktor.
Dalam konteks kesehatan mental laki-laki, Schumacher menyatakan, laki-laki jarang mengakui mereka merasa rentan, apakah mengakui kepada diri sendiri, teman atau dokter.
Schumacher tak menyangkal, selama beberapa generasi, masyarakat mendorong laki-laki untuk menjadi kuat dan tidak mengakui bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja.
Ia mengungkap pendapat Colman O'Driscoll, mantan direktur badan amal di Australia yang menyediakan layanan 24 jam untuk pencegahan bunuh diri.
Kata O’Discroll, “Kita mengondisikan anak laki-laki sejak usia sangat muda untuk tidak mengekspresikan emosi karena mengekspresikan emosi berarti menjadi lemah.”
Membuat pedoman sosial yang membebani laki-laki untuk bisa menyembunyikan perasaannya, tabah, dan kuat fisik, dapat menimbulkan cara berpikir dan perilaku tertentu, mulai dari seksisme sampai homophobia. Inilah yang disebut toxic masculinity, yang dampaknya destruktif bagi setiap lini kehidupan.
Memang betul, secara anatomi, laki-laki cenderung tidak mudah menangis.
Meski begitu, kalau mereka bisa dan berkehendak untuk menangis, tak perlu dilarang-larang, ya!
Siapa yang berani bilang kalau Barack Obama, Vladimir Putin, Kim Jong Un, Justin Trudeau, George W. Bush, atau Silvio Berlusconi adalah orang-orang lemah karena mereka pernah menangis di depan publik?
Kalau anak laki-lakimu menangis, biarkan saja. Biarkanlah dia menikmati proses manusiawi itu.
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih