tirto.id - Menangis adalah satu perilaku yang dimiliki manusia sejak pertama kali dilahirkan. Pada banyak hal, menangis adalah salah satu cara berkomunikasi, baik antar-manusia, manusia dengan sekitar, maupun dengan dirinya sendiri.
Mulanya, bentuk komunikasi ini terwujud dalam relasi ibu dan bayinya. Ketika seorang bayi lapar, haus, dan merasa tidak nyaman, ia akan menangis. Kebiasaan ini kemudian berkembang ketika ia dewasa.
Ketika dewasa, tangisan sebagai bentuk komunikasi ini mewujud ketika manusia merasa tidak nyaman. Kondisi yang menempatkan manusia dalam ketidaknyamanan akan memicu naiknya emosi, yang terkadang dilampiaskan dengan marah atau juga menangis.
Kondisi tersebut merupakan bentuk komunikasi manusia dengan orang lain, untuk sekadar meminta perhatian lebih banyak atau media untuk membuat orang lain lebih paham atas maksud yang ingin disampaikan. Menangis juga bisa menjadi bentuk komunikasi seseorang dengan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, menangis adalah salah satu cara membawa seseorang ke ruang kontemplasinya masing-masing.
Baca juga:Hal-Hal Baik dalam Tangis dan Empati
Dari fenomena menangis pada manusia ini, kita sering menemui perbedaan dalam hal intensitas dan ‘kemampuan’ menangis antara perempuan dan laki-laki. Jika dilihat dari intensitasnya, menurut penelitian Profesor Ad Vingerhoets dari Tilburg University, Belanda, perempuan lebih sering menangis dibanding laki-laki.
“Rata-rata perempuan bisa menangis 30 hingga 64 kali dalam setahun, sedangkan laki-laki hanya menangis sebanyak enam hingga 17 kali dalam setahun,” jelas Vingerhoets, seperti dikutip Telegraph.
Dalam bukunya yang berjudul Why Only Humans Weep, Vingerhoets juga menjelaskan bahwa terdapat perbedaan waktu menangis antara perempuan dan laki-laki. Setelah ia mewawancarai lebih dari 5000 orang dari 37 negara, ia menemukan bahwa 66 persen laki-laki menangis kurang dari lima menit dan 24 persen lainnya menangis selama 6-15 menit.
Berbeda dengan laki-laki, menurut temuan Vingerhoets, 43 persen perempuan menangis dalam waktu kurang dari lima menit, dan 38 persen perempuan menangis selama enam sampai dengan 15 menit. Selain itu, perempuan yang menangis 16-30 menit dua kali lebih banyak dibanding laki-laki yang menangis dalam waktu yang sama.
Sementara itu, Anne Kreamer, dalam bukunya It’s Always Personal: Emotion in the New Workplaceturut menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam kaitannya dengan frekuensi menangis. Kreamer bekerja sama dengan agen iklan J. Walter Thompson dalam survei terhadap 1.200 orang Amerika yang bekerja. Dia menemukan bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap frekuensi menangis seseorang.
“Sebesar 41 persen perempuan telah menangis di kantornya tahun kemarin, dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 9 persen saja,” kata Kreamer.
Apakah perbedaan jenis kelamin adalah alasan ilmiah untuk menjelaskan fenomena tersebut?
Baca juga: Jurusan-Jurusan Sangar yang Membikin Mahasiswa Menangis
Parvizi dalam Jurnal Nature Neuroscience menjelaskan apa yang terjadi terjadi ketika manusia menangis. Proses tersebut diawali dengan sistem endokrin yang mengirim hormon ke area okuler untuk mengaktifkan air mata. Otak kemudian melepas hormon kesayangan manusia, yaitu kortisol. Hormon ini membuat tubuh ingin memukul orang atau meratapi kesedihan di bawah pancuran air.
Biasanya ketika kita hendak menangis, kerongkongan akan merasa tidak nyaman, seperti mendadak radang atau ada sebongkah batu yang tak bisa ditelan sekalipun telah minum. Gejala ini terjadi karena kerja hormon kortisol yang juga membuat kerongkongan tegang.
Biasanya, orang akan merasa lebih lega setelah air mata keluar melalui tangisan. Hal ini adalah pengaruh hormon Leucine-Enkephalin, dan endorfin yang keluar bersama dengan keluarnya air mata di pipi. Hormon-hormon tersebut berfungsi mengurangi rasa perih dan memperbaiki suasana hati.
Baca juga:Facebook Membuatmu Ingin Balikan dengan Mantan
Terkait dengan ‘kemampuan’ perempuan dan laki-laki untuk menangis, Dr. Louann Brizendine, ahli neuropsikiatri di University of California, San Francisco turut membahas hal ini. Selain urusan kultural bahwa "boys don't cry," memang ada faktor biologis. Terdapat perbedaan sel-sel kelenjar air mata antara laki-laki dan perempuan.
Seorang laki-laki memiliki saluran air mata yang lebih besar, sehingga lebih kuat dalam menahan jatuhnya air mata. Selain itu, Brizendine menjelaskan faktor hormon testosteron yang menghambat laki-laki menangis. Hormon ini tidak dimiliki oleh perempuan.
"Laki-laki diajarkan untuk tidak menangis, hal ini dibantu dengan adanya hormon testosteron yang membantu meningkatkan ambang antara stimulus emosional dan keluarnya air mata," kata Dr. Louann Brizendine seperti dikutip Wall Street Journal.
Akintunde J. Kehinde, peneliti biokimia, Kwara State University, Nigeria, dalam risetnya yang berjudul Tears Production: Implication for Health Enhancementmenyatakan bahwa kecenderungan menangis antara laki-laki dan perempuan hampir sama sebelum masa pubertas.
Baru setelah pubertas, anak perempuan akan menghasilkan hormon prolaktin 60 persen lebih tinggi dibanding laki-laki. Hormon prolaktin adalah salah satu hormon yang memicu keluarnya air mata.
“Tidak heran jika setelah pubertas, secara umum perempuan empat kali lebih sering menangis dibanding laki-laki,” jelas Kehinde.
Dr. William H. Frey, ahli syaraf dan biokimia di Rumah Sakit St. Paul turut menjelaskan keterkaitan hormon prolaktin dengan kemampuan menangis tersebut. Ia menyebutkan bahwa salah hormon yang menyebabkan air mata adalah prolaktin, yang menjadi katalis laktasi. Selain berfungsi dalam memproduksi susu, prolaktin juga membantu produksi air mata. Pada saat wanita mencapai usia 18, mereka memiliki kadar prolaktin 50-60 persen lebih tinggi dibanding laki-laki.
“Kami percaya ini adalah salah satu alasan mengapa perempuan lebih mudah menangis," kata Dr. William H. Frey, ahli syaraf dan biokimia di Rumah Sakit St. Paul.
Hormon prolaktin memang lebih banyak diproduksi perempuan. Maka, bisa dipahami jika laki-laki lebih susah menangis. Terlebih lagi, mereka juga menghasilkan hormon testosteron yang berfungsi menekan produksi air mata dan pengaturan emosi pada laki-laki.
Pendeknya, kemampuan laki-laki menahan air mata adalah bentukan ilmiah dari sistem fungsional tubuhnya. Oleh karena itu, menangis-atau-tak-menangis tak bisa dijadikan indikator kepekaan seorang laki-laki. Bila seorang pria tak menangis saat menghadapi kesulitan atau kesedihan, tak otomatis ia tegar, kuat, atau tak sensitif. Laki-laki tak boleh menangis? Yang lebih tepat adalah: laki-laki memang tak mudah mengeluarkan air mata.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani