tirto.id - Apa yang terbersit di kepala saat melihat seorang rekan laki-laki menangis waktu menonton film bersama? Perasaan apa yang muncul saat mendapati teman terisak di sudut ruangan sehabis menghadapi hari yang pelik? Keinginan untuk menepuk pundak mereka, atau malah Anda berpikir mereka kurang tangguh menghadapi hal-hal menyedihkan atau kesulitan dalam hidup?
Ada anggapan umum bahwa tangis merupakan sinyal kelemahan mental seseorang. Budaya dominan malah menganggap laki-laki sejati tak semestinya menangis, padahal menangis adalah hal yang lumrah—jika tidak bisa disebut sebagai kebutuhan manusia—terlepas dari apapun gendernya.
Stigma ini pada akhirnya membuat orang-orang tidak ingin memperlihatkan dirinya ketika menangis. Atau setidaknya, hanya di lingkaran terdekatlah mereka menampilkan luapan emosinya. Menangis di muka umum menjadi salah satu hal yang dihindari ketika orang ingin dianggap bermental baja—sebuah kualitas yang dibutuhkan dalam berelasi, berorganisasi, atau meniti tangga karier.
Tak pelak, hal-hal baik di balik ekspresi diri ini pun acapkali dilupakan orang-orang.
Sederet penelitian mematahkan asumsi bahwa menangis adalah semata-mata pertanda—dan berdampak—buruk bagi seseorang. Ditengok dari sisi kesehatan fisik dan psikologis, banyak kebaikan di balik tangisan.
Psikoterapis Sharon Martin mengungkapkan kepada Medical Daily, “Saya menyarankan pasien untuk menangis karena hal ini meluruhkan energi negatif dan tergantikan oleh energi positif. Menangis itu normal dan tak perlu merasa malu memperlihatkannya.”
Dalam situs itu kemudian dijabarkan bahwa menangis mampu ‘membersihkan’ badan seseorang. Tangisan dapat menyingkirkan kortisol atau hormon stres. Studi yang dilakukan Dr. William H. Frey II dari Research Laboratories di St. Paul-Ramsey Medical Centre juga menunjukkan bahwa tangis emosional melepaskan kimia dalam tubuh yang mereduksi rasa sakit.
Studi pada tahun 2008 dari University of South Florida menyimpulkan tangis dapat meningkatkan cuaca hati lebih baik dibanding antidepresan lain. Di lain sisi, April Masini, seorang pakar relasi, menjelaskan bahwa momen-momen yang melibatkan tangis dapat membuat komunikasi mengalir lebih baik.
Saat tangis pecah, emosi seseorang yang ingin ditekankan dalam suatu percakapan akan jadi jelas di hadapan lawan bicaranya. Hanya dengan transparansi ini kekakuan dalam berkomunikasi dapat diminimalisasi.
Menangis adalah Wujud Kekuatan
Menangis adalah satu perwujudan sensitivitas diri seseorang. Sensitif tak melulu berarti buruk. Seperti dilansir situs Psychology Today, penulis buku Overcoming Low Self-Esteem with Mindfulness, Deborah Ward menyatakan, “Sensitivitas yang tinggi memampukan seseorang menjadi kuat, bertumbuh, bahkan ketika tengah dirundung kemalangan.” Hal ini, kata Ward, adalah kekuatan besar yang terpendam dalam diri seseorang.
Ada enam hal yang Ward soroti dari orang yang memiliki sensitivitas tinggi.
Pertama, kesadaran orang sensitif lebih tinggi dari yang lainnya sehingga kecenderungan untuk memahami orang-orang atau kondisi sekitar dan diri sendiri pun akan lebih baik. Kedua, orang sensitif berpotensi menyalurkan energi dan perasaannya lewat cara positif seperti berkesenian dan hal-hal lain yang melibatkan kreativitas.
Ketiga, orang sensitif pada dasarnya adalah orang yang berempati besar. Keempat, orang sensitif mengerti bagaimana caranya mengapresiasi sesuatu, bahkan hal-hal terkecil dalam hidupnya sekalipun. Kelima, orang sensitif akan mengandalkan intuisinya untuk membuat suatu pemetaan mengenai apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.
Terakhir, orang sensitif sebenarnya memiliki kehendak yang kuat dan karenanya, ia akan berjuang seoptimal mungkin untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipercayainya kendati harus berhadapan dengan berbagai risiko, bahaya, bahkan ketakutan mereka sendiri.
Empati dan Kepemimpinan yang Baik
Anggapan bahwa empati merupakan salah satu kualitas buruk dalam suatu kepemimpinan ditampik oleh Daniel Goleman, psikolog dan penulis buku Emotional Intelligence (1995). Ia berargumen bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang bermodalkan kecerdasan emosional yang tinggi. Beberapa komponen dari hal ini adalah kesadaran diri, pengendalian diri, empati, motivasi, dan kemampuan sosial.
Mengapa empati menjadi salah satu poin penting dari seorang pemimpin? Menurut tulisan di situsweb Elite Daily, karyawan yang dipimpin oleh seorang pendengar yang baik cenderung lebih bahagia, produktif, kreatif, dan kolaboratif.
Performa kerja baik yang berelasi dengan kepemimpinan berempati juga diafirmasi oleh tulisan Gentry et. al. untuk Center of Creative Leadership (CCL) yang berjudul Empathy in the Workplace A Tool for Effective Leadership. CCL melakukan penelitian terhadap 6.731 manajer dari 38 negara dan temuan yang diperoleh adalah manajer yang menunjukkan empati terhadap bawahannya dipandang memiliki performa kerja yang lebih baik oleh para atasan.
Mengenali titik-titik lemah dalam diri adalah salah langkah awal menjajaki keberhasilan di kemudian hari. Membaca jabaran para pakar soal tangis, sensitivitas, dan empati yang sering kali dipandang miring kebanyakan orang mendorong seseorang untuk melihat kembali sifat-sifat tersebut.
Pilihannya kembali pada diri untuk mengolah karakteristik dan ekspresi diri. Apakah masih melihat sensitivitas sebagai hal remeh dan mengamini stigma orang yang menganggapnya sebagai indikator kerawanan, atau sebaliknya: menerimanya sebagai bagian diri yang berpotensi menjadi kekuatan.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani