Menuju konten utama

Mengasuh Anak Perempuan Lebih Mudah daripada Laki-Laki, Apa Iya?

Seiring preferensi global terhadap kelahiran bayi laki-laki bergeser, asumsi miring tentang anak perempuan perlahan memudar.

Mengasuh Anak Perempuan Lebih Mudah daripada Laki-Laki, Apa Iya?
Header diajeng Preferensi Memiliki Anak Perempuan. tirto.id/Quita

tirto.id - Di berbagai kultur masyarakat yang lekat dengan patriarki, membesarkan anak laki-laki dianggap lebih praktis.

Kesempatan laki-laki untuk berkiprah di banyak ranah dianggap terbuka lebar, sehingga mereka cenderung disokong dengan pendidikan terbaik dan berbagai fasilitas penunjangnya.

Sedangkan anak perempuan kerap diposisikan sebagai warga kelas kedua di rumah mereka sendiri.

Mereka menerima lebih sedikit perhatian, lebih sedikit dukungan, dan lebih sedikit uang untuk menunjang pendidikan, kesehatan, dan cita-cita mereka.

Preferensi terhadap anak laki-laki selama ini mengakar dari bias gender, yang melihat perempuan sebagai beban dan anak laki-laki sebagai investasi.

Anak laki-laki diharapkan untuk berkontribusi lebih besar terhadap ekonomi rumah tangga dengan menafkahi orang tua mereka setelah pensiun. Pada waktu sama, orang tua mengharapkan anak perempuan untuk mengasuh mereka di masa tua.

Rata-rata, ada sekitar 105 anak laki-laki yang lahir untuk setiap 100 anak perempuan di seluruh dunia.

Yang menarik disorot, negara dengan rasio kelahiran anak laki-laki yang tidak seimbang mulai menghadapi masalah sosial.

Di daratan Cina misalnya, masyarakatnya tengah menghadapi fenomena “Bare Branches”—merujuk pada tren laki-laki yang tidak menikah dan tidak mempunyai anak karena terlalu banyak populasi laki-laki dibanding perempuan.

Mengutip laporan terbaru The Economist bertajuk “More and more parents around the world prefer girls to boys” (2025), orang tua yang mempunyai anak laki-laki acap kali mengeluhkan mahalnya biaya membesarkan mereka, salah satunya untuk membantu mereka beli rumah.

Ilustrasi anak melempar barang

Ilustrasi anak melempar barang. FOTO/iStockphoto

Bahkan, anak laki-laki cenderung enggan meninggalkan rumah orang tuanya, seperti ditemui di Amerika Serikat.

Survei Pew Research Center pada 2023 menunjukkan bahwa 18 persen dewasa muda di AS usia 25-34 tahun masih tinggal di rumah orang tuanya. Persentase lebih besar pada ditemukan pada laki-laki, 20 persen, dibandingkan perempuan, 15 persen.

Sementara itu, Jepang menghadapi fenomena sosiokultural hikikomori—menarik diri dari kehidupan sosial dan tidak meninggalkan rumah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Kejadian ini dilaporkan lebih sering ditemukan pada laki-laki.

Menariknya, bias gender terhadap kelahiran bayi kini sudah mulai bergeser.

Seiring melandainya preferensi global terhadap kelahiran anak laki-laki, anggapan-anggapan meremehkan tentang anak perempuan juga perlahan memudar.

Goldberg dalam studinya yang berjudul “Heterosexual, Lesbian, and Gay Presdoptive Parents’ Preferences About Child Gender” (2009) pernah menanyakan alasan orang tua angkat lebih memilih anak perempuan untuk diadopsi.

Salah satu jawaban yang menonjol adalah anak perempuan “lebih mudah untuk diasuh”.

Di kalangan laki-laki heteroseksual, anak perempuan dipandang “lebih mudah diasuh”, “menarik,”, “kompleks”, dan “lebih tidak menantang secara fisik” dibandingkan anak laki-laki.

Dosen neurosains di Chicago Medical School, Lise Eliot, mengonfirmasi bahwa anak laki-laki lebih sulit diatur daripada anak perempuan.

Secara bawaan, anak laki-laki cenderung lebih aktif dan impulsif sehingga mereka lebih rentan terhadap bahaya.

“Suka memanjat, anak laki-laki tentu lebih mungkin mengalami kecelakaan dan berakhir dengan jahitan dan patah tulang karena mereka lebih aktif secara fisik dan mereka lebih berani mengambil risiko,” kata Eliot di rekaman video Big Think.

Selain itu, dikutip dari CNN, terapis dan penulis Michael Gurian mengatakan bahwa anak perempuan cenderung lebih disiplin daripada anak laki-laki.

Pusat verbal di otak anak perempuan cenderung berkembang lebih cepat, sehingga mereka dapat merespons pujian dan larangan secara lebih baik.

Anak laki-laki cenderung lebih taktil. Diperlukan lebih dari sekadar kata-kata untuk membuat mereka menuruti suatu perintah.

“Mereka mungkin perlu digendong dan didudukkan di kursi istirahat,” kata Gurian.

Header Diajeng Anak Tantrum

Header Diajeng Anak Tantrum. foto/IStockphoto

Menariknya, banyak orang tua justru lebih berhati-hati dalam mengasuh anak perempuan walaupun anak-anak laki yang dilaporkan memerlukan perhatian lebih.

“Orang tua lebih berhati-hati dengan anak perempuan, mereka lebih membiarkan anak laki-laki mengambil risiko daripada anak perempuan. Jadi pola asuh kita semacam memperkuat perbedaan kecil ini,” lanjut Eliot.

Pada akhirnya, pola asuh ini berkontribusi dalam membentuk pandangan bahwa anak perempuan lebih inferior dibandingkan anak laki-laki. Mereka dipandang lebih lemah, penakut, dan belum siap mencoba hal-hal baru.

Di luar anggapan-anggapan yang ada, perempuan mulai menunjukkan keunggulan, sebut salah satunya di sektor pendidikan.

Laporan UNESCO tahun 2022 menyebut bahwa perempuan telah mendominasi pendidikan tinggi secara global, dengan rasio 113 mahasiswi untuk setiap 100 mahasiswa laki-laki yang terdaftar dalam jenjang pendidikan tertentu.

Menurut hasil tes PISA Internasional pada 2022 lalu, yang menjadi standar emas untuk mengevaluasi kemampuan belajar siswa di seluruh dunia, anak perempuan dapat mengalahkan siswa laki-laki dalam aspek membaca.

Di Amerika Serikat, misalnya, tercatat semakin banyak perempuan yang berkarier di 10 pekerjaan dengan upah tertinggi.

Sementara itu, dokumen Women's Rights in Review: 30 Years After Beijing (2025) dari UN Women menyebutkan, keterwakilan perempuan di parlemen telah meningkat dua kali lipat selama tiga dekade terakhir.

Tidak bisa dimungkiri, isu diskriminasi gender masih jamak ditemui dan progres kesetaraan berjalan pelan.

Warisan bias gender yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan preferensi jenis kelamin bayi, juga perlu proses sampai membuahkan hasil sesuai harapan.

Di balik itu, kita tentu boleh optimis bahwa kelahiran anak perempuan, sebagaimana laki-laki, pada hari ini dan masa mendatang akan semakin dipandang setara, sama-sama dirayakan dengan penuh kasih sayang dan sukacita.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yolanda Florencia Herawati

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Yolanda Florencia Herawati
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih