Menuju konten utama

Taylor Swift dan Kritik Bias Gender terhadap Perempuan

Menurut riset, ada 30 karakteristik kritik yang kerap ditujukan ke perempuan bekerja. Sifatnya personal, dari usia, status, kecantikan, sampai ukuran badan.

Taylor Swift dan Kritik Bias Gender terhadap Perempuan
Header diajeng Taylor Swift dan Kritik Personal Perempuan. tirto.id/Quita

tirto.id - Ruang gerak perempuan masa kini sudah tak seharusnya terbelenggu oleh tabu atau mitos yang dilandasi keyakinan patriarki.

Ingin mengurus anak di rumah sembari berbisnis daring? Berkarier di kantor? Menempuh sekolah tinggi di negeri nun jauh? Menggeluti hobi? Kita semua punya segudang pilihan untuk memaknai produktivitas sekaligus menjadi versi terbaik dan paling memuaskan menurut diri masing-masing.

Mirisnya, memasuki paruh kedua 2024, masih saja upaya perempuan untuk mengeksplorasi diri dan minatnya, termasuk di ranah profesional, dipertanyakan atau dikaitkan dengan kritik yang bersifat personal.

Acap kali, pertanyaan terhadap profesionalitas perempuan juga dipertentangkan dengan peran tradisional sebagai ibu di ranah rumah tangga.

Inilah yang baru-baru saja terjadi pada Taylor Swift.

Akhir Juni silam, dalam kolom opini di Newsweek, jurnalis John Mac Ghlionn menyebut Swift figur yang buruk bagi anak-anak perempuan. Alasannya sesederhana karena perempuan peraih 14 Grammy Awards ini belum menikah dan belum punya anak.

John menuliskan, "Pada usia 34, Swift masih belum menikah dan tidak memiliki anak, sebuah fakta yang mungkin dianggap tidak relevan dengan statusnya sebagai teladan. Namun, menurut saya, penting untuk mempertimbangkan teladan seperti apa yang dapat diberikan kepada remaja putri. Seorang teladan adalah seseorang yang patut ditiru”.

Menariknya, kita belum pernah mendengar kritik serupa ditujukan pada aktor populer lain, sebut saja salah satunya figur superhero Marvel pemeran Captain America, Chris Evans (yang baru saja menikah saat berusia 42 tahun) atau pegulat profesional John Cena (yang belum mau punya anak meskipun sudah menikah).

Kritik yang bias gender ini lazim ditemui di kehidupan sehari-hari perempuan bekerja. Vita (36), misalnya, adalah konsultan keuangan yang rutin melakukan kunjungan bisnis ke luar.

"Saya pernah ditanya oleh seseorang, ‘Ibu kan kerjanya sering ke luar kota. Siapa yang mengurus anak-anak di rumah?’" ungkap Vita.

"Mengapa hal ini tidak pernah ditanyakan ke seorang manajer pria? Pria bebas bekerja sepanjang waktu tanpa diminta mengurus anak, seolah-olah tugas perempuanlah yang wajib mengurus anak 24 jam," keluhnya.

Selama beberapa generasi, bias dan diskriminasi gender konsisten mewarnai pengalaman perempuan bekerja. Alih-alih dikritik dengan komentar yang sifatnya membangun dan profesional, yang diungkit justru hal-hal yang tidak relevan dengan pekerjaan.

Menurut tiga perempuan peneliti Amy Diehl, PhD, Leanne M. Dzubinski, PhD, dan Amber L. Stephenson, PhD, kritik bias gender punya andil dalam menghambat karier perempuan untuk mencapai level manajer atau pemimpin.

Seperti diulas di situs Fast Companypada 2023, mereka melakukan riset terhadap 913 perempuan pemimpin dari empat industri yang didominasi perempuan di AS (pendidikan tinggi, organisasi nirlaba keagamaan, hukum, dan layanan kesehatan).

Pandangan yang marak selama ini menekankan bahwa perempuan begitu sering dikritik dalam berbagai hal. Akibatnya, mereka jadi terbiasa diremehkan. Kritik yang merendahkan demikian kemudian ditanggapi dengan serius sehingga perempuan selalu berupaya melakukan perbaikan.

Seiring waktu, bukan tidak mungkin mereka juga memendam perasaan sakit hati atau tersinggung, sehingga lama-kelamaan percaya bahwa kritik yang ditujukan kepadanya memang benar adanya: mereka tidak tepat untuk jadi pemimpin.

Terlepas itu, riset yang dilakukan Diehl dkk menunjukkan temuan lain, bahwasanya hampir semua karakteristik perempuan dapat dijadikan kritik untuk mendiskriminasi dan merugikannya.

Menurut Diehl dkk, total terdapat 30 karakteristik kritik berdasarkan identitas dan ciri-ciri kepribadian yang kerap ditujukan untuk perempuan bekerja, di antaranya usia, status sebagai orang tua, aksen bahasa, penampilan atau kecantikan, ukuran badan, warna kulit, gaya berkomunikasi, agama, kesehatan, dan orientasi seksual.

“Poin rangkuman yang kami dapatkan adalah, tidak peduli siapa perempuan tersebut, mereka tidak akan pernah tepat,” tulis Diehl dkk.

Terkait usia, misalnya. Menurut pengakuan seorang dokter perempuan dalam penelitian, "Aku berusia paruh baya—dan laki-laki seusiaku dipandang sebagai pemimpin yang matang, sedangkan perempuan seusiaku dipandang pemimpin tua."

Contoh lain, status orang tua. Seorang petinggi sekolah bercerita, masyarakat menganggapnya tidak perlu berkarier tinggi-tinggi di kantor karena ia punya anak untuk diurus. Perempuan ini jadi merasa perlu bekerja ekstra untuk membuktikan dirinya mampu memimpin.

Sebaliknya, seorang dokter tanpa anak merasa dirinya diharapkan untuk “bekerja lebih keras” daripada kolega perempuan lain. Sementara itu, perkembangan karier juga terhambat pada pekerja yang berstatus ibu, sebagaimana terjadi pada seorang pengacara yang baru saja bercerai. Alasannya, “karena persepsi bos laki-laki bahwa aku tidak bisa atau tidak seharusnya menangani urusan-urusan besar”.

Perempuan yang dikritik begitu mungkin akan menafsirkannya sebagai kegagalan personal, atau lebih parah, ingin menekan ambisi kariernya.

Lantas, mengapa peran kepemimpinan perempuan masih disepelekan?

Dikutip dari Forbes, jurnalis senior dan penulis buku The Authority Gap, Mary Ann Sieghart menjelaskan bahwa sedari usia dini, kita diperkenalkan tentang bagaimana norma-norma gender menciptakan peran sosial dan harapan tentang seharusnya laki-laki dan perempuan berperilaku.

“Kesenjangan otoritas adalah ukuran seberapa serius kita menanggapi laki-laki dibandingkan perempuan. Kita condong berasumsi laki-laki paham apa yang diomongkan sampai dia membuktikan sebaliknya. Tidak demikian pada perempuan, sehingga mereka cenderung dipandang sebelah mata. Mereka sering diinterupsi, lebih banyak dibicarakan,” kata Sieghart.

Ketika perempuan karier berusaha menunjukkan ciri-ciri maskulin agar dianggap serius, ia menjadi percaya diri atau tegas. Itulah yang membuat beberapa orang merasa kurang nyaman karena melihat keberanian perempuan 'melawan' norma gender.

Akibatnya, perempuan di posisi tinggi acap kali diberi label negatif sebagai individu yang kasar, agresif, atau sombong.

“Sementara, jika mereka tidak cukup percaya diri, mereka tidak dihormati. Mereka tidak akan ditanggapi serius,” kata Sieghart.

Senada dengan Sieghart, Ima Santika Jayati, M.Psi, Psikolog menjelaskan, banyaknya kritik pada perempuan berkarier berawal dari stereotip perempuan memiliki utama tugas domestik seperti mengurus rumah, merawat anak dan suami yang bekerja untuk mencari nafkah.

"Meski wanita saat ini banyak yang bekerja, bahkan diakui untuk memimpin perusahaan atau negara, namun masyarakat ada yang masih meremehkan wanita, karena sifat lebih lembut dan mengutamakan perasaan, perempuan sering dilabeli 'baperan'. Padahal ini menjadi kekuatan, agar mengambil keputusan lebih hati-hati, bijak, dan terencana," jelas Ima.

Perempuan karier di posisi pemimpin menghadapi pandangan sosial yang berat, karena selalu dilihat juga kehidupan pribadinya—berbeda dari bos laki-laki.

Menjadi bos perempuan juga serba salah, karena penampilan selalu dinilai, alih-alih kompetensinya. Melansir Business Journals, penampilan termasuk unsur yang mustahil dipisahkan dari pegawai perempuan.

“Di tempat kerja, perempuan merasakan tekanan untuk memenuhi ekspektasi berpenampilan menarik agar mendapat rasa hormat dari orang lain, namun jangan terlalu feminin dan terlalu menarik, karena itu tidak mencerminkan kecerdasan dan gaya bisnis,” ungkap Parves Kahn, CEO organisasi global untuk riset pasar Esomar.

Di sisi lain, seperti dipaparkan dalam studi di jurnal Sex Roles (2019), perempuan yang terlihat atraktif juga dianggap kurang dapat dipercaya oleh lingkungan kerja atau karyawannya—dikenal dengan istilah Femme Fatale Effect.

Alih-alih berupaya ‘memperbaiki’ perempuan dengan kritik-kritik dangkal, mari alihkan saja itu semua jadi pertanyaan konstruktif untuk laki-laki yang arogan, sok tahu, atau terlalu percaya diri. Sebab, seperti dipaparkan Cindy Gallop dan Tomas Chammoro-Premuzik untuk Harvard Business Journal, selama ini laki-laki sudah terlalu lama mencengkeram sistem dan status quo.

Perkara sesepele suara perempuan yang terlalu melengking atau terlalu pelan, misalnya. Faktanya, tidak ada korelasi antara kenyaringan suara dan kemampuan bekerja. Alih-alih menyuruh perempuan mengubah volume suaranya, coba untuk bertanya pada kolega atau bos laki-laki, “Bagaimana cara kalian menggunakan suara saat berada dalam rapat?”

Selain itu, daripada menyuruh perempuan murah senyum dan ramah agar disukai banyak orang, coba tanyakan pada laki-laki, “Apakah kalian sudah mencoba bersikap baik dan rendah hati?”

Alih-alih menyuruh perempuan agar lebih mudah diajak bekerja sama, tanyakan pada laki-laki, “Apakah kalian mempertimbangkan bagaimana orang lain menilai kalian?”

Psikolog Ima menambahkan, upaya untuk menumbuhkan respek dan apresiasi terhadap perempuan karier mustahil dipisahkan dari peran laki-laki. Caranya dapat dimulai dengan laki-laki untuk menghargai perempuan terdekat dalam hidupnya—baik ibu, istri, dan saudara perempuan.

"[Cobalah untuk] mendorong wanita untuk bekerja, sehingga ilmu mereka dapat berguna di masyarakat, serta menyadari wanita juga memiliki potensi dan kemampuan sama dengan pria, untuk saling melengkapi di lingkungan kerja," pungkas Ima.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih