tirto.id - Saat membaca novel atau cerita fiksi, pernahkan kamu merasakan seakan-akan juga ikut hidup bersama tokohnya? Menyaksikan suka duka mereka, merasakan kegelisahan yang sama, atau bahkan ikut lega saat konflik akhirnya selesai?
Pengalaman semacam ini bukan sekadar hiburan semata. Berbagai penelitian justru menemukan bahwa membaca fiksi dapat membantu kita dalam melatih empati, yakni kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain.
Melansir Discover Magazine, membaca buku memang tidak serta-merta membuat dunia terbebas dari masalah. Namun, aktivitas ini bisa menjadi jendela kecil yang memperluas cara kita memandang orang lain.
Melalui kisah-kisah fiksi, kita akan dibawa masuk ke dalam kehidupan karakter yang mungkin sangat berbeda dari keseharian kita, berbeda juga dari latar budaya, pengalaman, hingga cara berpikir.
Menariknya, efek ini tidak otomatis muncul hanya karena membaca fiksi. Kuncinya terletak pada seberapa jauh kamu benar-benar terbawa ke dalam cerita secara emosional.
Ketika sebuah kisah berhasil membuat pembacanya ikut merasakan dunia tokohnya, empati pun bisa bertambah.
Sebaliknya, membaca tanpa keterlibatan emosional justru tidak memberi pengaruh yang sama.
Maka, pertanyaan yang tepat, apakah dengan rajin membaca fiksi, kita bisa benar-benar menjadi pribadi yang lebih berempati?
Benarkah Membaca Fiksi Bisa Melatih Empati?
Nonfiksi menggambarkan dunia atau realitas yang kita jalani, tetapi fiksi menciptakan jagat baru yang aman untuk dieksplorasi.
Jadi, ada baiknya untuk mengimbangi proses akumulasi pengetahuan kita dari buku-buku nonfiksi dengan bacaan di ranah fiksi juga.
Hal ini membantu membuat rileks dan dapat meningkatkan kemampuan empati, yang membuat kamu berpotensi menjadi pemimpin, manajer, atau rekan kerja yang lebih baik.
Tim peneliti dalam artikel yang terbit di jurnal PLoS One (2013) mencoba menyelidiki bagaimana pengalaman narasi fiksi berhubungan dengan keterampilan empati seiring waktu.
Melalui dua eksperimen, terbukti bahwa membaca narasi fiksi secara lengkap (misalnya membaca novel sampai selesai) akan memengaruhi tingkat empati seiring waktu; kurangnya membaca dikaitkan dengan empati yang lebih rendah, sementara tingkat membaca fiksi yang tinggi mungkin terkait dengan empati yang lebih tinggi juga.
Ini menunjukkan bahwa pengalaman narasi fiksi memiliki dampak pada keterampilan seseorang, yakni empati.
Studi ini juga melaporkan bahwa efek membaca fiksi justru dipengaruhi oleh proses yang lebih panjang, bahkan melibatkan apa yang disebut sebagai efek tidur.
Artinya, pengaruh sebuah cerita lebih mungkin terlihat setelah beberapa waktu, misalnya dalam kurun satu minggu, ketimbang langsung setelah selesai membaca.
Hal ini dapat terjadi karena proses transformasi seseorang memang membutuhkan waktu untuk berkembang.
Orang cenderung mengingat kembali dan memutar ulang cerita dalam pikirannya, seolah-olah kembali terlibat dengan tokoh dan peristiwa di dalamnya.
Proses mental inilah yang memberi ruang bagi empati untuk tumbuh secara perlahan hingga akhirnya menjadi bagian dari konsep diri pembaca.
Riset dari America Psychological Association (APA) pada 2015 menegaskan bahwa efek positif membaca fiksi terhadap empati bertahan dalam jangka panjang, dan memang tidak selalu muncul secara instan, tetapi berkembang seiring waktu saat pembaca mengaplikasikan pengalaman fiksinya ke dunia nyata dan orang lain.
Oleh sebab itu, kaitan pengalaman membaca fiksi dan empati sebaiknya juga mempertimbangkan dimensi waktu.
Apabila sekadar soal perasaan senang atau hiburan, efeknya bisa langsung terasa. Namun, jika bicara empati atau kreativitas, butuh masa “inkubasi” dulu sebelum benar-benar jadi bagian dari diri kamu sendiri. Setuju?
Hal lain terkait empati juga bisa dibaca di tautan ini.
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































