Menuju konten utama
Dunia Anak

Kapan Sebaiknya Anak Usia Dini Dikenalkan pada Cerita Fiksi?

Narasi imajinatif dapat menstimulasi anak dan mendukung pembelajaran moral. Seiring itu, orang tua perlu mendampingi dan membantu memberikan konteks.

Kapan Sebaiknya Anak Usia Dini Dikenalkan pada Cerita Fiksi?
Header Diajeng Seri Hiburan Anak. tirto.id/Quita

tirto.id - Sejak kecil, anak-anak sudah mengenal berbagai macam hiburan seperti buku cerita bergambar berisi dongeng dan fabel, atau yang bersifat audiovisual seperti serial kartun pendek dan film animasi yang berdurasi lebih panjang.

Seiring itu, karakter-karakter dalam cerita yang bersifat fiktif, dari superhero seperti PJ Masks sampai binatang seperti Shaun the Sheep, dikemas sebegitu menggemaskan dan penuh warna sehingga kerap menjadi idola anak-anak—terbukti dari begitu banyaknya anak dan balita yang mengoleksi pakaian, tas, sepatu, dan berbagai aksesori lainnya dengan ilustrasi karakter fiktif kesayangan mereka.

Yang jadi pertanyaan menarik, kapan idealnya anak usia dini mulai diperkenalkan dengan narasi-narasi berunsur fiktif dan imajinatif?

Menurut sebuah studi tahun 2006 yang dilakukan Jacqueline Woolley dari The University of Texas at Austin di Amerika Serikat, anak-anak ternyata belum dapat memahami perbedaan antara fantasi dan kenyataan sampai setidaknya berusia tiga tahun.

Kemampuan membedakan baru dapat berkembang ketika mereka berada di usia kisaran 3 sampai 5 tahun.

Anak-anak, sampai usianya 4 tahun, kata Woolley, masih belajar menerapkan konteks pada informasi-informasi baru yang diterima di kepala mereka agar dapat membedakan mana yang nyata, mana yang fiktif belaka.

Woolley dan rekannya dari University of Virginia mencoba memperkenalkan istilah baru kepada sekitar 400 anak berusia antara 3 dan 6.

Anak-anak tersebut kemudian diminta menyimpulkan apakah kata-kata yang baru pertama mereka dengar itu memang nyata adanya, atau sekadar karangan.

“Dari studi-studi ini, terlihat jelas bahwa anak usia dini tidak langsung memercayai segala hal yang mereka dengar, dan bahwa mereka dapat menggunakan konteks di sekitarnya untuk menarik kesimpulan tentang apakah suatu hal bersifat nyata atau fiktif,” terang Woolley.

Menurut Psikolog Klinis Anak dan Dewasa dari Be Sha Counseling, Marsya Rezkita Dewi, M.Psi., Psikolog, anak diperbolehkan untuk mengenal cerita fiksi saat berusia dua hingga tiga tahun.

Sebab, kata dia, secara garis besar berdasarkan sejumlah teori psikologi, usia dua hingga tiga tahun merupakan tahap awal di mana otak anak sudah mulai siap untuk berpikir simbolis, membayangkan, memahami emosi tokoh, dan mulai bermain secara imajinatif.

"Di satu sisi, karena usianya masih tergolong dini, anak-anak sering menganggap fiksi sebagai nyata. Sebagai mitigasinya, orang tua perlu memberikan konteks dan mendampingi, bukan hanya membiarkan anak menonton dan membaca sendiri. Nilai plus dari situ adalah anak bisa lebih dekat dengan orang tua atau pendampingnya," jelas Marsya.

Selain itu, kata Marsya, cerita fiksi dapat menjadi semacam sarana untuk menumbuhkan inisiatif dan rasa percaya diri anak.

"Cerita fiksi atau tidak nyata juga bisa menjadi stimulasi atau rangsangan yang bagus untuk anak. Namun, orang tua tetap harus menyesuaikannya dengan kemampuan anak, dan tentu saja dengan pendampingan. Apabila anak ingin benar-benar dilepas, tunggu setidaknya sampai usianya tujuh tahun,” tambah Marsya.

Narasi fiktif yang dibacakan oleh orang dewasa kepada anak-anak tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan keterampilan literasi mereka, melainkan juga mendukung perkembangan sosial dan moral anak.

Namun begitu, di balik fungsinya sebagai medium edukasi, tidak semua cerita fiktif bermanfaat bagi anak usia dini.

Demikian pernah ditegaskan oleh Angelito Malicse dalam artikel bertajuk “The Impact of Fictional Stories on Young Children: A Critical Analysis and Possible Solutions” (2025).

Malicse menyoroti bahwa beberapa cerita fiksi mengandung unsur-unsur kompleks, menakutkan, atau ambigu, yang berpotensi menimbulkan konsekuensi buruk pada anak.

Terlebih dari itu, beberapa kandungan cerita fiksi dapat menimbulkan “luapan emosi” pada anak usia dini dan membebani mereka yang perasaannya masih cenderung rentan serta sensitif.

Alur cerita dengan unsur kejadian traumatis, kekerasan, atau tema-tema kelam, tulis Malicse, berpotensi memicu rasa takut, cemas, atau sedih terutama pada anak-anak yang belum memiliki cukup kemampuan emosional untuk memproses perasaan-perasaan tersebut.

Belum lagi, cerita tentang monster atau kekuatan jahat, bisa jadi akan terus melekat di pikiran anak, membuatnya merasa tidak aman dan batinnya tidak tenang.

Selain itu, narasi fiksi dapat pula menimbulkan kebingungan bagi anak untuk memahami apa yang benar dan salah.

Tidak sedikit, kata Malicse, cerita yang menampilkan dilema moral yang kompleks atau karakter abu-abu—yang tidak semudah itu dikategorikan “baik” atau “jahat”.

Aspek penting lainnya dalam perkembangan kognitif anak-anak adalah batasan antara imajinasi dan kenyataan—yang masih dipelajari oleh anak usia dini.

“Kisah-kisah fiktif yang mengaburkan batasan tersebut—seperti kisah tentang hewan yang bisa berbicara, makhluk ajaib, atau skenario yang tidak realistis—bisa jadi menimbulkan kebingungan tentang mana yang nyata,” tulis Malicse.

Memang betul, anak-anak perlu didukung untuk bermimpi dan mengembangkan imajinasinya.

Meski begitu, Malicse mengingatkan, beberapa cerita fiktif yang ada mungkin kurang relevan bagi anak usia dini. Sejumlah karakter dalam cerita pun mungkin kurang tepat dijadikan panutan bagi mereka.

Oleh karena itu, pengawasan dan partisipasi orang tua sangatlah penting untuk memastikan bahwa cerita fiksi berfungsi sebagai alat pembelajaran yang bermanfaat, alih-alih menjadi biang ketakutan, kebingungan, atau perilaku buruk.

Ya, pada akhirnya, orang tua berhak memutuskan jenis cerita seperti apa yang dapat dikonsumsi oleh anak-anaknya.

Nah, bagaimana dengan kalian? Apakah tertarik untuk membiasakan anak dengan cerita fantasi sedari kecil? Atau, apabila tidak setuju, apa alasannya?

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Putri Annisa

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Putri Annisa
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih