Menuju konten utama

Membaca Fiksi Membuat Kepribadian Lebih Baik

Kutubuku kerap dianggap sebagai makhluk sosial yang buruk: kurang ramah, agak kikuk, bahkan penyendiri. 

Membaca Fiksi Membuat Kepribadian Lebih Baik
Anak-anak membaca buku di Perpustakaan Umum Daerah. [ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra]

tirto.id - Menjelang Idul Adha, pemuda yang mengaso sendirian di beranda masjid dekat perbatasan kampung tiba-tiba menyergap seekor kambing gondrong yang terparkir di dekatnya dan berupaya menyelipkan perkakasnya ke burit hewan tersebut. Tapi, tak lama, seorang pembikin sangkar burung yang pulang dari hutan bambu lewat dan buru-buru melaporkan kejadian itu kepada warga lain.

Pemuda itu dirubung puluhan pria dewasa. Sesaat sebelum bogem mereka membikin lunak tulang-belulangnya, ia berlutut dengan lagak dramatis, menggapai-gapai ke langit, dan menjeritkan permohonan ampun kepada Allah SWT sekaligus mengutuk iblis, sang penyesat keturunan Adam. Hening sejenak. Pemuda itu diminta mengenakan celana, diceramahi, dibekali tasbih kayu, lalu disuruh pulang.

Selang dua hari, ia datang lagi pada tengah malam, ketika seantero kampung berkabut dan sepi dan redup, buat menunaikan urusannya yang tertunda. Si kambing mendengking-dengking dalam senyap, lalu mati dengan mulut berbusa.

Hal itu dapat terjadi dalam kenyataan. Ketika membaca berita semacam itu, Anda bisa marah, geli, heran, atau merasakan ketiganya sekaligus, namun pada akhirnya Anda maklum bahwa segala sesuatu telah dan mungkin terjadi di dunia yang fana ini.

Tetapi, andai penyemburitan itu hendak dituliskan sebagai cerita, khususnya kisah rekaan atau fiksi, si juru kisah mesti bekerja ekstra. Kejadian tersebut perlu dijelaskan secara memadai: apa motif dan bagaimana latar belakang pelaku, bagaimana sistem nilai dalam masyarakat tempat peristiwa itu terjadi, dan seterusnya. Hanya dengan begitu sebuah cerita bisa jadi masuk akal.

Satu-satunya pembeda fiksi dari kenyataan adalah fiksi harus masuk akal. Aforisme terkenal itu, dalam bentuk yang tak persis, mula-mula digunakan oleh Mark Twain, seorang penulis klasik Amerika Serikat, dalam buku catatan perjalanannya yang berjudul Following the Equator.

Meski memantulkan kenyataan, fiksi bukan semata-mata salinannya. Kisah-kisah rekaan yang berhasil ialah hasil tebang pilih dan pemadatan kenyataan. Kebetulan murni, kebertele-telean, dan pelbagai hal tak menarik lain yang berceceran dalam kehidupan sehari-hari senantiasa dihindari atau dipermak menjadi sesuatu yang baru oleh para penulis yang baik.

Keith Oatley, ahli psikologi kognitif dari University of Toronto, pernah membandingkan membaca fiksi dengan menjalankan alat simulasi pesawat terbang: “Ia melemparkanmu ke dalam pelbagai situasi dalam tempo singkat … Itu jauh lebih padat ketimbang jika kau menunggu pengalaman-pengalaman itu mendatangi hidupmu.”

L'Etranger karya Albert Camus, contohnya. Novel ringkas itu langsung menempatkan pembaca dalam keadaan genting: Meursault, sang tokoh utama, menerima kawat bahwa ibunya meninggal dunia. Meursault tidak menangis. Ia datang dan menunggui jenazah si ibu, tapi perangainya biasa-biasa saja. Ia merokok dan minum kopi dengan santai seakan yang mati cuma seekor lele dumbo.

Meursault diajak kawin oleh seorang perempuan dan ia setuju-setuju saja. Meursault diajak berlibur oleh seorang kawannya dan ia setuju-setuju saja. Meursault menembak mati orang Arab di sebuah pantai dan di pengadilan orang-orang memandang dia sebagai si bejat yang tidak terselamatkan. Tapi, bagi Meursault yang dijatuhi hukuman mati, hiduplah yang sebetulnya tidak terselamatkan, dan kita, manusia, tak pernah punya kesempatan sejak awal.

Karena L'Etranger masuk akal, para pembaca dapat memahami cara berpikir serta tindakan-tindakan Meursault. Tak ada keharusan untuk sepakat, memang, tetapi alangkah sukar untuk tak berempati kepadanya.

Fiksi Mengasah Empati

“Seumur hidupku, aku adalah si cupu,” tulis Sarah Kaplan di The Washington Post pada 22 Juli silam.

“Bocah yang membaca buku di pojok kelas pada waktu istirahat dan bicara tentang Jo March (dari novel Little Woman karya Louisa May Alcott) dan Ponyboy (protagonis novel The Outsider karya S.E. Hinton) seakan-akan mereka adalah orang-orang sungguhan. Aku ingat, saat berumur 8 atau 9 tahun, aku terjaga saat larut jam tidurku untuk membaca Bridge to Terabithia karya Katherine Paterson dengan bantuan senter. Begitu tiba di bagian akhir yang memilukan, aku menangis cukup keras sampai-sampai ibuku datang.”

Kaplan mengisahkan pengalaman itu kepada Oatley. Dan pihak yang disebut belakangan mengatakan Kaplan semestinya tak merasa aneh atau tolol pernah sedemikian peduli terhadap nasib karakter-karakter fiksi.

“Kau hanya berlaku sebagai manusia,” katanya.

Sekitar satu dekade lalu, Oatley terlibat dalam sebuah penelitian tentang efek fiksi terhadap kejiwaan pembaca. Ukuran yang tim itu gunakan ada dua, yaitu Interpersonal Reactivity Index buat mengukur empati dan tes pengenalan keadaan emosional yang tergambar dari foto-foto sorot mata sejumlah aktor. Selain itu, responden juga diminta mengenali nama-nama penulis sebagai proksi untuk mengukur seberapa luas bacaan mereka dan apa saja jenisnya.

Hasilnya: para subjek yang memiliki pengalaman membaca fiksi yang luas mendapat nilai lebih tinggi ketimbang subjek dari kelompok-kelompok lain. Penelitian itu menyimpulkan bahwa keterbiasaan pembaca fiksi membayangkan diri sebagai karakter anggitan dan berada dalam situasi yang dialami karakter itu menjadikan empati mereka lebih tinggi dan jadi lebih peka terhadap situasi pikiran orang lain.

“Ketika kita membaca, kita menjadi Anna Karenina atau Harry Potter,” kata Oatley kepada Kaplan. “Kita mengerti mereka dari dalam.” Menurutnya, hal itulah yang menjadikan pembaca fiksi pintar memahami orang. Dan konsekuensi dari hal itu ialah kemampuan sosial yang lebih baik. Mereka jadi lebih mudah bekerjasama.

Penelitian itu ialah hantaman telak terhadap stereotipe bahwa kutubuku adalah makhluk sosial yang buruk. Mereka boleh jadi kurang ramah dan agak kikuk (tersebab minder dan berbagai soal lain), namun, terbukti bahwa mereka sebenarnya lebih mengerti pikiran serta perasaan Anda dibanding cool kids yang seru dan harum dan cihuy tapi tak sanggup membedakan 'seraya' dan 'senantiasa.'

Dalam 15 tahun terakhir, ada sejumlah penelitian dengan kesimpulan serupa. Pada 2000, Jemeljan Hakemulder dari Utrecht University menerbitkan buku The Moral Laboratory yang merangkum hasil 12 eksperimen yang menghubungkan pengalaman membaca dengan kemampuan sosial yang lebih baik. Penelitian tahun 2013 di jurnal terbitan American Psychological Association menemukan bahwa tahapan membayangkan adegan sewaktu membaca memperbaiki empati dan perangai sosial orang.

Selain itu, Raymond Mar, yang terlibat dalam penelitian yang sama dengan Oatley pada 2006, menemukan bahwa bagian otak yang berfungsi mencerna pikiran dan perasaan orang lain terlihat aktif (lewat magnetic resonance imaging atau MRI) tatkala seseorang mencerna cerita.

Anda kerap merasakan syak wasangka terhadap orang-orang yang berbeda dari Anda? Anda benci Cina dan nonmuslim dan orang-orang berkulit hitam? Hati-hati, boleh jadi itu berarti hidup Anda miskin pengalaman.

Tapi, tenang, Anda tak perlu repot-repot menabung untuk ikut kursus kepribadian atau membuang waktu menelusuri pelosok-pelosok dunia untuk menyembuhkannya. Lagi pula itu tak membantu, sebab soalnya ada dalam kepala Anda. Bergeserlah sedikit ke pojok dan mulailah membaca cerita yang bagus.

Sebuah penelitian baru di Amerika Serikat yang menelaah 1.200 orang subjek menyatakan bahwa para pembaca seri novel Harry Potter cenderung tidak akan mendukung Donald Trump. Si tampan itu mungkin mengingatkan mereka kepada Kau-Tahu-Siapa alias Ia-yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebutkan.

Kristian Wilson dari Bustle menulis tentang temuan itu: “Dengan demikian, aku tak perlu bukti tambahan bahwa membaca memang menjadikan orang lebih baik.”

Baca juga artikel terkait HUMANIORA atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani