tirto.id - Tudingan bahwa Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ingin mengambil alih kekuasaan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Partai Demokrat sejak awal Februari lalu ternyata terbukti. Pertarungan antara mantan jenderal dan mantan mayor di tubuh partai biru itu semakin panas.
Moeldoko resmi menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) yang diselenggarakan di Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (6/3/2021) lalu. Kongres itu diselenggarakan para eks kader yang dipecat karena terbukti berambisi melengserkan AHY, putra Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dari kursi ketua umum.
Selain diselenggarakan eks kader, KLB problematis karena berpotensi menabrak banyak aturan. Salah satunya anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) partai yang ditetapkan pada Maret 2020 dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM—dokumen legalitas terakhir yang dimiliki Partai Demokrat.
Salah dua yang mungkin ditabrak itu adalah pasal 20 ayat (1) dan pasal 97. Di sana disebutkan bahwa badan bernama 'mahkamah partai' bertugas menyelesaikan perselisihan beragam masalah internal. Anggota mahkamah dipilih dan ditetapkan oleh Ketua Majelis Tinggi Partai, yang saat ini dijabat SBY.
Pada 27 Februari lalu, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, mengklaim bahwa Jhoni Allen Marbun—salah satu inisiator KLB—pernah mendatangi SBY untuk melakukan 'rekonsiliasi'. Meski tak ada kesepakatan, kubu Jhoni ngotot menyelenggarakan KLB.
Ada juga pasal 17 ayat (6) huruf (f) yang menyebut bahwa “Majelis Tinggi Partai berwenang mengambil keputusan strategis tentang Calon Ketua Umum Partai Demokrat yang maju dalam Kongres atau Kongres Luar Biasa (KLB).” Demikian juga Pasal 8: “Dalam hal Ketua Umum tidak menjalankan tugas kewajibannya dan/atau berhalangan tetap, Majelis Tinggi Partai mengangkat dan menetapkan salah satu Wakil Ketua Umum sebagai Plt. Ketua Umum sampai dengan Ketua Umum definitif terpilih dan ditetapkan dalam Kongres atau Kongres Luar Biasa.”
Mengacu itu, posisi AHY hanya bisa diganti oleh orang yang dipilih oleh SBY. Sementara posisi SBY dalam kasus ini jelas: membela anaknya melawan Moeldoko.
Ada juga pasal 98 ayat (2) dan (3) yang menyebut KLB bisa mengubah AD/ART asal diajukan 2/3 dari 34 Ketua DPD dan 1/2 dari 514 Ketua DPC yang disetujui Ketua Majelis Tinggi Partai. Sedangkan dalam Pasal 84 ayat (4), diatur KLB hanya dapat diadakan atas permintaan Majelis Tinggi Partai atau sekurang-kurangnya 2/3 dari 34 Ketua DPD dan 1/2 dari 514 Ketua DPC.
Berdasarkan dari dua pasal di atas, KLB Deli Serdang tak memenuhi kriteria. Pertama, karena tidak disetujui oleh SBY. Kedua, AHY sendiri mengklaim bahwa 34 Ketua DPD, yang juga mewakili Ketua DPC se-Indonesia, berada dikubunya. “Mereka pemilik suara yang sah,” kata AHY, Senin (8/3/2021) pagi.
Belum lagi jika berbicara nama-nama inisiator KLB—seperti Jhoni Allen Marbun, Marzuki Alie, Hengky Luntungan, hingga Yus Sudarso—tidak masuk ke dalam struktur DPP Partai Demokrat yang disahkan oleh Kemenkumham, baik versi 2017 maupun yang 2020.
Bantahan dan Tudingan
Wartawan Tirto telah mencoba menghubungi Moeldoko lewat pesan tertulis di WhatsApp. Hingga Senin (8/3/2021) sore tak ada jawaban.
Namun salah satu anggota Partai Demokrat yang merupakan inisiator KLB, Muhammad Rahmad, menegaskan “apa yang dilakukan para kader di Demokrat di Deli Serdang sangat sesuai, mengikuti peraturan, dan sangat konstitusional.” Ia mengklaim KLB di Deli Serdang mengacu pada peraturan yang lebih lawas, AD/ART partai tahun 2005, sementara AD/ART 2020 mereka sebut tidak demokratis.
Itu pula mengapa satu dari 12 keputusan strategis KLB adalah menghancurkan AD/ART 2020. “AD/ART 2020 itu tidak konstitusional. Di pemerintah, AD/ART yang terdaftar itu yang 2005, bukan 2020. Tahun 2020 ini bagi kami demokratis abal-abal,” klaim dia, 7 Maret lalu.
Rahmad panjang lebar menyoroti beberapa aturan di AD/ART tahun 2020 yang baginya tidak demokratis. Salah satunya AD/ART hanya mengizinkan pemilihan ketua umum, bukan ketua majelis tinggi.
“Kedua, forum tertinggi di PD itu kongres atau majelis tinggi? Kalau kongres, maka tidak perlu pelaksanaan kongres itu mendapat izin dari majelis tinggi yang hanya memiliki 9 suara. Sementara peserta kongres, 34 kali dua adalah 68 DPD suara, tambah 514 suara DPC. Majelis hanya sembilan suara, kok harus izin majelis tinggi? Ini demokratis abal-abal di KLB Surabaya Maret 2020,” kata dia.
Terkait itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD menegaskan AD/ART 2020 masih berlaku dan Ketua Umum Partai Demokrat yang sah masih AHY.
AHY sendiri lagi-lagi mencela kongres ini sebagai kongres abal-abal saat melaporkan kejadian ke Menteri Yasonna Laoly, Senin pagi. AHY mengaku ia dan pengurus lain membawa sejumlah berkas yang menunjukkan bahwa KLB tidak memenuhi aturan AD/ART partai, baik dari sisi penyelenggara maupun peserta.
“Mereka yang datang bukanlah pemegang hak suara yang sah. Mereka hanya diberikan jas Partai Demokrat seolah-olah mewakili suara yang sah. Proses pengambilan tidak sah, kuorum tidak dipenuhi, tidak ada unsur DPP. Harusnya sesuai AD/ART, KLB bisa diselenggarakan dan disetujui jika ada sekurang-kurangnya 2/3 Ketua DPD. Nyatanya 34 Ketua DPD ada di sini semua,” kata AHY.
Begitu juga dengan para Ketua DPC. AHY mengatakan AD/ART partai menyebut kegiatan KLB sah jika sekurang-kurangnya ada 1/2 jumlah Ketua DPC se-Indonesia. Namun, kata dia, para Ketua DPC tak ikut agenda di Deli Serdang.
“Terakhir, harus disetujui Majelis Tinggi Partai. Nyatanya tak ada permintaan atau persetujuan dari Majelis,” kata dia. “Belum lagi mereka tidak menggunakan konstitusi Partai Demokrat yang sah, yang sudah disahkan Kemenkumham pada Mei 2020 lalu.”
AHY sendiri mendatangi Yasonna agar kementeriannya menolak kepengurusan tersebut terdaftar secara resmi. Selain itu juga “menyatakan bahwa gerakan pengambilalihan Partai Demokrat melalui para pelaku klaim sebagai KLB, sebagai ilegal, konstitusional, dan abal-abal.”
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino