tirto.id - Purbaya Yudhi Sadewa nampak paham betul apa yang harus ia lakukan usai menjabat sebagai menteri keuangan. Kurang dari sepekan setelah dilantik, ia langsung mengumumkan kebijakan yang seperti muskil dilakukan pendahulunya Sri Mulyani Indrawati: memindahkan uang pemerintah dari rekening Bank Indonesia ke Himbara.
Jumat (12/9/2025) ia resmi mengesahkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 yang jadi dasar kebijakan tersebut. Dengan beleid ini, ia mengeksekusi pemindahan Rp200 triliun—sekitar setengah dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) pemerintah—dari rekening Bank Indonesia ke Himbara secara bertahap.
Lima bank pelat merah menjadi sasaran kebijakan tersebut. Bank Rakyat Indonesia , Bank Negara Indonesia dan Bank Mandiri akan mengantongi tambahan likuiditas masing-masing Rp55 triliun, sedangkan Bank Tabungan Negara Rp25 triliun, dan Bank Syariah Indonesia Rp10 triliun.
Dana tersebut akan ditempatkan dalam bentuk deposito on call dengan tenor enam bulan yang dapat diperpanjang. Beleid yang sama juga menegaskan bahwa bank penerima dana dilarang menggunakan penempatan uang negara untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN).
Dus, kelima bank mitra tersebut wajib menyampaikan laporan bulanan penggunaan dana kepada Menteri Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perbendaharaan, sementara pengawasannya akan dilakukan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP).
Purbaya mengatakan, langkah mitigasi risiko juga telah disiapkan pemerintah jika perbankan tak mampu mengembalikan dana tersebut. Caranya, dengan menetapkan mekanisme debit langsung pada Giro Wajib Minimum (GWM) di Bank Indonesia. Di atas kertas, kebijakan yang dirumuskan dan meluncur kilat—kurang dari sepekan usai Purbaya dilantik—tesebut membawa angin segar bagi perekonomian.
Sebabnya jelas, menurut Purbaya saat bicara dalam acara Great Lecture pada Kamis (11/9/2025), selama ini likuiditas perbankan jadi perkara macetnya penyaluran kredit yang berimbas buruknya kinerja sektor riil. Ini, salah satunya terlihat dari M0 (uang beredar likuid) pada Juli dan Agustus 2025 yang meningkat terbatas—hanya 0,02 persen dan 0,34 persen. Imbasnya, kata Purbaya, terlihat pada penyaluran kredit: Juni dan Juli 2025 hanya 7,77 persen dan 7,03 persen.
"Ketika ekonomi memburuk, banyak pemecatan-pemecatan pegawai kan pasti, rakyat hidupnya makin susah dan kita enggak terlalu peduli, turun lah ke jalan masyarakat kita. Itu expected menurut saya," ucapnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Eko Listyanto, menilai bahwa ide untuk menginjeksi likuiditas memang sejalan dengan ambisi pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi di bawah kepemimpinan menteri keuangan baru.
Namun, ia mewanti-wanti bahwa target pertumbuhan delapan persen hanya bisa dicapai jika kebijakan fiskal dan moneter sama-sama bekerja mendorong sektor riil. “Ujungnya nanti ada di sektor riil. Menggeliatnya sektor riil itulah yang akan menjadi PDB,” ujarnya dalam diskusi yang digelar INDEF, Kamis (11/9/2025).
Kebijakan ini juga akan berdampak positif terhadap persaingan bunga pinjaman perbankan, yang pada gilirannya dapat mendorong penyaluran kredit. Sebabnya jelas: sejauh ini, longgarnya likuiditas belum cukup untuk mengatrol pertumbuhan kredit kepada masyarakat maupun sektor usaha.
Ini terlihat dari tingginya angka kredit menganggur (undisbursed loan) yang, menurut catatan Bank Indonesia, pada Agustus 2025 masih mencapai Rp2.372,11 triliun atau 22,71 persen dari total plafon kredit yang tersedia.
Ditambah kebijakan Bank Indonesia yang cukup agresif menurunkan suku bunga dalam beberapa bulan terakhir, langkah Purbaya secara teori membuat arah kebijakan fiskal dan moneter sama-sama pro growth.
Karena itu lah, untuk merasakan efek nyata dari pemindahan SAL Rp200 triliun pemerintah ke HIMBARA, reformasi sektoral seperti deregulasi, pemberantasan pungutan liar, kemudahan akses pasar, hingga penyediaan kredit murah perlu disegerakan.
Tanpa langkah-langkah tersebut, pergeseran dana hanya akan menjadi perpindahan rekening belaka.
“Bank pada hari ini juga lagi mencari siapa yang mau pinjam. Padahal mereka punya kewajiban membayar bunga kepada para penabung,” kata Eko.
Eko juga mengingatkan soal strategi pengelolaan APBN. Efisiensi penting untuk memastikan belanja negara optimal, tetapi jangan sampai memangkas ruang hidup sektor usaha. Ia mencontohkan alokasi untuk program MBG sebesar Rp335 triliun yang masih seret realisasi, baru Rp15 triliun terserap.
Menurutnya, hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah tepat menyediakan anggaran jumbo jika penyerapan rendah dan bahkan muncul ribuan kasus keracunan di lapangan?
Selain itu, percepatan belanja strategis juga mendesak dilakukan agar likuiditas tidak mandek. Ia menekankan pentingnya menjaga dana transfer daerah tetap utuh. Jika dipotong, daerah hanya bisa menjalankan pelayanan dasar tanpa kemampuan mendorong ekonomi lokal. “Kalau daerah tumbuh dengan baik, ekonomi bisa tumbuh dengan baik juga,” tegasnya.
Dari sisi penerimaan, Eko sepakat jika Purbaya turut menolak kebijakan yang terus menyasar wajib pajak patuh.Sebab, dalam kondisi saat ini, akan lebih efektif bagi pemerintah jika memperluas basis pajak, bukan mengusik yang sudah membayar.
Pemerintah juga didorong memperkuat program peningkatan keterampilan tenaga kerja. Tujuannya agar pelaku sektor riil berani memanfaatkan kredit, punya modal, dan bisa meningkatkan produktivitas. Tanpa itu, tambahan likuiditas akan tetap menganggur.
Ekonom Paramadina, Wijayanto Samirin, memberikan catatan berbeda. Ia menyoroti psikologi dunia usaha yang enggan ekspansi karena situasi ekonomi belum kondusif. Dalam keadaan seperti itu, menambah dana ke bank tanpa memperbaiki sisi permintaan berpotensi hanya membuat penyaluran kredit tetap lesu.
“Mengguyur dengan likuiditas, tanpa memperbaiki sisi demand atau menstimulasi ekspansi ekonomi, tidak akan membantu,” ujarnya.
Data per Juli 2025 menunjukkan rasio alat likuid terhadap dana non-inti (AL/NCD) mencapai 119,43 persen, jauh di atas batas minimal 50 persen. Sementara rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) berada di level 27,09 persen, jauh di atas ambang minimal 10 persen.
Angka itu menandakan bank punya cadangan kas lebih dari cukup. Sementara LDR tercatat 86,54 persen, menunjukkan bank masih punya ruang menyalurkan kredit lebih banyak.
Dengan kondisi ini, Wijayanto menilai skenario realistis yang akan dilakukan bank adalah menggunakan dana Rp200 triliun tersebut untuk refinancing kredit yang sudah ada. Setelah itu, hasilnya dialihkan ke pembelian SBN atau SRBI yang menawarkan bunga sekitar 6 persen, lebih tinggi daripada bunga dana pemerintah yang hanya 4 persen.
“Dana likuiditas Rp200 triliun akan digunakan untuk me-refinancing kredit eksisting, lalu proceed hasil refinancing tersebut akan dibelikan SRBI atau SBN,” jelasnya.
Menurutnya, larangan pemerintah agar bank tidak membeli instrumen itu sudah tepat meskipun cukup sulit dilakukan. Pasalnya, SBN dan SRBI merupakan instrumen penting bagi sistem keuangan nasional. Jika bank dilarang membeli, justru bisa terjadi disrupsi serius yang menakuti investor.
Jika hal ini tak bisa benar-benar dimitigasi, alih-alih menggerakkan sektor riil, dana jumbo yang dialirkan ke bank kemungkinan besar kembali ke pemerintah atau Bank Indonesia dalam bentuk pembelian surat utang.
Dunia usaha yang diharapkan menjadi penerima manfaat utama justru tetap tertekan oleh minimnya permintaan, rendahnya kepercayaan, dan lambannya perbaikan iklim investasi.
“Apakah mungkin melarang bank membeli SRBI dan SBN? Tentu saja tidak mungkin, ini akan menimbulkan disrupsi luar biasa pada sistem keuangan kita,” ujarnya.
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































