tirto.id - Kebijakan pemerintah menempatkan dana sebesar Rp200 triliun ke lima bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menuai kekhawatiran dari para ekonom.
Mereka memprediksi dana tersebut berpotensi dialihkan ke instrumen surat berharga seperti Surat Berharga Negara (SBN) atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), alih-alih mendorong pertumbuhan sektor riil.
Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025. Beleid itu menjabarkan penempatan dana pemerintah di Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan Bank Syariah Indonesia (BSI) dengan total alokasi Rp200 triliun. Berturut-turut besaran transfer ke masing-masing Himbara: Rp55 triliun, Rp55 triliun, Rp55 triliun, Rp25 triliun, dan Rp10 triliun.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebenarnya sempat menegaskan bahwa dana tersebut wajib disalurkan dalam bentuk kredit. Dia mengatakan dana tersebut tidak boleh dialihkan ke SBN atau SRBI.
Namun, Wijayanto Samirin, ekonom dari Paramadina, menyoroti kondisi kelebihan likuiditas yang sudah dialami perbankan nasional akibat lesunya pertumbuhan kredit. Menurutnya, kebijakan ini berisiko tidak efektif jika tidak diiringi perbaikan sisi permintaan.
“Saat ini perbankan kita sedang kelebihan likuiditas akibat pertumbuhan kredit yang rendah karena dunia usaha mengerem ekspansi, ini disebabkan kondisi ekonomi yang tidak kondusif. Mengguyur dengan likuiditas, tanpa memperbaiki sisi demand atau menstimulasi ekspansi ekonomi, tidak akan membantu,” kata Wijayanto saat dihubungi Tirto, Sabtu (13/9/2025).
Kondisi likuiditas perbankan hingga Juli 2025 masih cukup kuat untuk melakukan ekspansi kredit. Rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD), yang mengukur kemampuan bank memenuhi penarikan dana besar jangka pendek, tercatat sangat tinggi 119,43 persen, di atas batas minimal 50 persen.
Sementara itu, AL/DPK, yang membandingkan aset likuid dengan total dana pihak ketiga juga berada di level 27,09 persen, melampaui batas minimum 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa bank memiliki cadangan kas yang lebih dari cukup untuk mengantisipasi penarikan dana secara tiba-tiba.
Di sisi penyaluran kredit, loan to deposit ratio (LDR) berada pada level 86,54 persen, yang menandakan bahwa bank masih memiliki ruang yang cukup untuk meningkatkan pemberian kreditnya.
Berbasis data itu, menurut Wijayanto skenario tidak langsung yang mungkin dilakukan perbankan adalah, dana sebesar Rp200 triliun tersebut akan dimanfaatkan untuk memberikan kredit ulang atau refinancing kredit existing, alih-alih menyalurkan kredit baru dan menggerakkan berbagai sektor.
Lalu hasilnya, sambung Wijayanto, akan dialihkan ke pembelian SBN atau SRBI yang memberikan bunga lebih tinggi dari bunga kredit yang diberikan pemerintah sebesar 4 persen.
“Dana likuiditas Rp200 triliun akan digunakan untuk me-refinancing kredit eksisting, ini pasti dilakukan bank mengingat dana dari pemerintah tersebut sebenarnya tidak murah karena berbunga 4 persen, lalu proceed hasil refinancing tersebut akan dibelikan SRBI atau SBN dengan bunga sekitar 6 persen,” paparnya.
Dengan begitu, dana jumbo yang diharapkan dapat menjadi penggerak roda-roda perekonomian akan kembali ke pemerintah atau Bank Indonesia dengan kontribusi minim pada sektor riil.
“Yang mungkin terjadi, dana tersebut justru akan kembali ke BI atau pemerintah secara tidak langsung melalui pembelian SRBI dan SBN oleh bank,” ujarnya.

Meskipun Menteri Keuangan telah menginstruksikan bank agar tidak menggunakan dana pemerintah itu untuk membeli SBN atau SRBI, Wijayanto menegaskan bahwa melarang bank membeli instrumen tersebut tidak mungkin dilakukan karena dapat mengakibatkan disrupsi pada sistem keuangan.
“Apakah mungkin melarang bank membeli SRBI dan SBN? Tentu saja tidak mungkin, ini akan menimbulkan disrupsi luar biasa pada sistem keuangan kita, yang membuat sistem pincang dan investor ketakutan,” tuturnya.
Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa penyaluran dana ini tidak serta merta menggerakkan perekonomian. Hal ini bergantung kepada di program apa dana ini disalurkan perbankan.
“Kebijakan memindahkan dana pemerintah dari BI ke bank himbara belum tentu mendorong ekonomi jika prasyaratnya tidak terpenuhi,” ucapnya.
Ia menyoroti tiga tantangan utama dari penempatan dana pemerintah tersebut. Pertama, risiko penyaluran kredit kepada proyek berisiko tinggi, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP).
Menurutnya, penyaluran kredit ke program semacam ini berpeluang menciptakan moral hazard. Pasalnya, tingkat serapan anggaran untuk program MBG masih di bawah 15 persen hingga saat ini. Hal membuktikan bahwa ada masalah implementasi dalam program tersebut.
“Lagipula MBG serapan baru di bawah 15 persen, berarti ada masalah implementasi bukan soal ketersediaan anggaran. Jangan sampai juga himbara tidak selektif menyalurkan kredit program dan meminimalisir moral hazard kredit fiktif,” ujarnya.
Kedua, kekhawatiran dana justru digunakan untuk membiayai sektor energi fosil daripada energi terbarukan. Ini berpotensi menciptakan aset terlantar. Ketiga, perlunya regulasi spesifik atau perjanjian dengan perbankan lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk memastikan penyaluran dana sejalan dengan agenda transisi energi.
“Pak Purbaya harus lebih berhati-hati, tidak bisa sekadar diserahkan ke bank Himbara dalam pembiayaan kas pemerintah, karena langkah ini berisiko terjadinya aset terlantar (stranded asset),” tegas Bhima.
Bhima juga mendorong agar penyaluran kredit ditargetkan kepada sektor yang menciptakan lapangan kerja hijau, mengingat kontribusi bank Himbara untuk energi terbarukan masih di bawah 1 persen.
“Likuiditas tambahan bagi bank Himbara bukan sekadar mendorong pertumbuhan kredit, tapi juga targeted, tepat sasaran ke sektor yang membuka lapangan kerja,” ucapnya.
Sama halnya dengan Wijayanto, Bhima mewanti-wanti agar Menteri Keuangan Purbaya tidak lengah dengan akrobatik kredit yang dilakukan perbankan. Jangan sampai dana ini justru masuk ke obligasi.
“Celios juga mendorong ketegasan Kemenkeu agar dana Rp200 triliun tidak diparkir oleh bank ke SBN,” tuturnya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id






































