tirto.id - Ribuan masyarakat Filipina memadati jalan di Manila pada 21 September lalu. Mereka mengusung agenda peringatan 45 tahun kebijakan Darurat Militer (Martial Law) Ferdinand Marcos pada 1972 dan mengkritik kesewenang-wenangan pemerintahanan Rodrigo Duterte.
Salah satu potret wajah Duterte, di antara ratusan spanduk protes lain, dibakar. Warga Manila marah atas tindakan Duterte yang menghabisi nyawa warga dalam kebijakan apa yang disebut "perang melawan narkoba." Kekerasan, pembunuhan, dan main hakim sendiri oleh regu kepolisian menjadi pemandangan rutin sejak kebijakan teror tersebut dicetuskan Duterte.
Saat kampanye pemilihan presiden tahun lalu, Duterte berseru "melupakan hukum hak asasi manusia" terhadap bandar narkoba: "Saya akan menghabisi mereka dan membuang jenazahnya ke Teluk Manila."
Lewat kampanye tersebut, politikus yang pernah menjabat Walikota Davao ini mulus menduduki Istana Malacanang. Tak lama selepas dilantik pada 30 Juni 2016, kebijakan "perang melawan narkoba" diterapkan. Tindakan teror menghantui Kota Manila.
Baca juga:
Perang Narkoba Duterte adalah Perang Melawan Orang Miskin
Presiden ke-16 ini mengabaikan prosedur hukum dengan memberlakukan eksekusi tanpa pengadilan atau "tembak di tempat" kepada mereka yang melawan. Itu memicu dampak buruk: banyak kelompok vigilante di seluruh Filipina mengikuti praktik pembunuhan. Mereka memburu para pengedar dan pengguna narkoba layaknya serangga.
Berdasarkan klaim Kepolisian Nasional Filipina dan Badan Penegakan Obat Filipina, ada 1,2 juta pengguna narkoba dan sekitar 90 ribu bandar narkoba diringkus di bawah kebijakan teror tersebut. Transaksi narkoba diakui berkurang 26 persen dan tingkat kriminalitas turun 29 persen.
Sementara menurut Badan Informasi Filipina, jumlah warga sipil yang tewas dalam operasi resmi maupun aksi brutal kelompok vigilante menyentuh angka 5.617 jiwa. Dari sisi aparat keamanan: 68 personel tewas dan 184 lain luka-luka.
Kebijakan brutal "perang melawan narkoba" Duterte menyentuh bagian yang tak terhindarkan: salah sasaran. Salah satu korbannya adalah Kian Delos Santos, seorang siswa sekolah menengah, yang tewas oleh polisi pada Agustus 2017. Itu memicu protes dan menambah kecemasan warga atas hak hidup mereka. Terdesak, Duterte mengakui ada kesalahan dalam operasi tersebut dan memerintahkan kepolisian untuk merombak struktur jajarannya.
Baca juga:Pemerintahan Baru Vigilante Ala Rodrigo Duterte
The New York Times dalam laporan Desember lalu menggambarkan bagaimana tindakan brutal pemerintahan Duterte terhadap pelaku narkoba yang dijalankan kelompok-kelompok vigilante.
Ada pola lazim usai pembunuhan: mayat dibiarkan tergeletak, polisi datang terlambat ke lokasi kejadian, dan para pewarta mengambil gambar dari berbagai sisi untuk diunggah ke situs berita masing-masing. Masyarakat sudah paham bila ada kerumunan dan mayat tergeletak, kesimpulannya satu: itu pengguna atau bandar narkoba.
LaporanThe Guardian pada Agustus tahun lalu mengisahkan bagaimana aksi-aksi para pembunuh itu tak sebatas memakai senjata api melainkan senjata tajam guna menyerang pengedar dan pengguna narkoba.
Dalih Memberantas Kejahatan dengan Aksi Kejahatan
Bukan kali ini Duterte bertindak kejam dengan dalih “memberantas kejahatan.” Semasa Walikota Davao, kota paling terubanisasi di pulau Mindanao, ia melakukan hal serupa. Lewat Regu Pembunuh Davao (Davao Death Squad/ DDS) yang dihidupkannya lagi, Duterte menghabisi satu per satu para pengedar dan pengguna narkoba sampai anak jalanan yang dianggap "meresahkan."
Dalam laporan Human Rights Watch pada April 2009, “You Can Die Any Time: Death Squad Killings Mindano,” selama medio 1990-an hingga 2009 ada lebih dari seribu orang dieksekusi mati oleh DDS, kebanyakan ditembak dan ditusuk pisau tajam. Dalam operasinya, DDS mendapat bantuan dari kepolisian dalam pasokan senjata maupun daftar orang-orang yang mesti dibunuh.
Kebijakan lain Duterte adalah menerapkan kembali hukuman mati, dan ia sempat berkata akan mempraktikannya "dalam wujud eksekusi gantung." Bagi Duterte, “mematahkan sumsum tulang belakang” dalam hukuman gantung lebih manusiawi dibanding eksekusi tembak. Penetapan hukuman gantung adalah bagian dari kebijakan "perang melawan narkoba." Filipina sudah menghapus hukuman mati pada 2006 menyusul penentangan keras oleh Gereja Katolik.
Meluasnya pembunuhan demi memberantas narkoba tak dibarengi pembenahan institusi kepolisian, yang menempati urutan pertama sebagai lembaga pemerintah terkorup. Selain itu, pernah ada kasus dua personel polisi menjadi tersangka dalam penculikan dan pembunuhan Jee Ick-joo, pengusaha asal Korea Selatan, pada bulan Oktober 2016. Jose Antonio Custodio, sejarawan militer Filipina, mengatakan kesalahan utama pemerintahan Duterte adalah gagal berupaya secara serius menekan korupsi di kepolisian.
Kebijakan memberantas narkoba juga dinilai tidak akan pernah berhasil karena ia hanya memberantas masalah di permukaan, tanpa menyusuri pemasok, dan Duterte bertanggung jawab atas kematian ribuan orang.
Cesar Gaviria, yang pernah menjabat Presiden Kolombia (1990-1994), meminta Duterte tak melakukan kesalahan seperti yang dilakoninya saat memerangi bandar narkoba di Kolombia. Menurut Gaviria, menerjunkan banyak pasukan bersenjata hanya membuang banyak uang selain memperburuk situasi.
Duterte Memuji dan Pengin Meniru Diktator Marcos
Demonstrasi massa di jalan Manila rupanya ditanggapi berbeda oleh Duterte. Seruan keadilan dan menuntut penghapusan kebijakan teror justru dibalas Duterte dengan mengancam pemberlakuan Darurat Militer secara nasional. Sebelumnya, kondisi Darurat Militer pernah diberlakukan Duterte saat perang melawan simpatisan ISIS di Mindanao, selatan Filipina.
Baca juga:Selamat Datang di Marawi, Kota Hantu Penuh Peluru
Jika benar ancaman Darurat Militer itu diterapkan, Duterte praktis mengikuti diktator Filipina, Ferdinand Marcos, sejawat Presiden Soeharto, yang memberlakukan kebijakan itu pada 23 September 1972 demi membungkam kelompok-kelompok demokrasi dan pers bebas.
Langkah Marcos itu berjalan sembilan tahun, mengubah konstitusi Filipina agar ia dan keluarganya langgeng di Malacanang, sesuka hati menuduh pemrotes sebagai komunis, dan pamer kekerasan terhadap lawan politiknya seperti yang terjadi pada Benigno Aquino Jr.
Sebagaimana polah diktator dan seperti halnya keluarga Cendana, Marcos doyan menimbun kekayaan untuk diri sendiri, keluarga, maupun kolega-koleganya. Puncak protes atas kekuasaan Marcos yang mutlak korup terjadi pada 1986 ketika jutaan rakyat Filipina turun ke jalan buat melengserkan rezim 20 tahun tersebut.
Baca juga:
Kepahlawanan dan Keditaktoran Ferdinand Marcos dan Soeharto
Mulut Besar Duterte dan Masa Depan Militer Filipina
Merekam Desahan Marcos dan Dovie Beams
Selain hendak menerapkan kebijakan darurat perang, Duterte pengin menyematkan gelar pahlawan bagi Marcos. Langkah itu juga ditentang oleh publik. Sekitar 1.500-an warga berdemonstrasi di depan Taman Makam Pahlawan Manila guna menolak pemindahan makam Marcos.
Menutupi Reformasi Sosial Filipina
Pemerintahan Duterte bukan tanpa pencapaian. Misalnya, ia meminta Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam menangguhkan izin operasional puluhan perusahaan tambang yang dianggap merusak lingkungan. Ia juga menandatangani Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim demi mengurangi emisi karbon global. Ia juga tengah menjajaki larangan merokok di tempat umum.
Duterte juga menggandeng beberapa tokoh kelompok kiri, yang belum pernah terjadi dalam politik Filipina. Ia juga tengah melanjutkan perundingan damai dengan pemberontak komunis dalam usaha mengakhiri salah satu konflik terpanjang di Asia. Kedua kubu misalnya membahas kemungkinan membicarakan reformasi sosial-ekonomi, termasuk distribusi lahan ke petani secara gratis, serta langkah-langkah gencatan senjata.
Namun, alih-alih meneruskan capaian reformasi ini, Duterte kembali giat berfokus menjalankan kebijakan teror atas narkoba yang telah menelan korban sipil sebagai instruksi prioritasnya.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Fahri Salam