Menuju konten utama

Rawa Rontek Ala Duterte

Presiden Filipina Rodrigo Duterte baru-baru ini menyatakan siap keluar dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) apabila mereka tidak berhenti campur tangan terhadap kebijakan negaranya. Duterte baru-baru ini dikecam karena kebijakan ekstra judisial yang membunuh banyak orang dalam perang melawan narkoba.

Rawa Rontek Ala Duterte
Jennelyn Olaires, 26, memeluk tubuh pasangannya, yang tewas di jalan dalam serangkaian pembunuhan terkait narkoba di kota Pasay, Metro Manila Filipina. Tulisan pada papan yang ditemukan dekat jenazah berbunyi "Pusher Ako" berarti "Aku penjual narkoba". [ANTARA FOTO/REUTERS/Czar Dancel]

tirto.id - Politik tidak bisa menyenangkan semua orang. Seringkali seorang pemimpin didesak untuk memutuskan pilihan yang pelik. Membuat kebijakan populis yang tak punya nilai guna, seperti memberikan pendakwah dalam moda transportasi publik, atau membuat kebijakan non populis seperti penggusuran lahan untuk pembangunan ruang kota. Setiap pemimpin dalam pandangan utilitarianisme, mesti mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan yang lain, meski kadang harus melanggar hukum atau melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Machiavelli, pemikir politik asal Italia, dalam suratnya kepada Piero Soderini mengatakan bahwa sebuah kebijakan mestilah dinilai dari hasil yang didapatkan ketimbang proses kebijakan itu sendiri. Tidak penting apakah caranya halus atau kasar, benar atau salah, apabila hasil dari kebijakan itu baik maka seluruh proses kebijakan tersebut tak perlu dipikirkan.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte menjadi perhatian dunia karena keputusannya melakukan perang terhadap narkoba dilakukan dengan jalan ekstra yudisial. Setidaknya dari pihak kepolisian Filipina yang dikutip via Wall Street Journal menyebut kurang lebih 1.800 orang terbunuh dalam perang ini. Korban yang terbunuh itu dihabisi oleh polisi atau kelompok bersenjata di luar sistem hukum yang ada.

Kepala Kepolisian Nasional Filipina, Ronald Dela Rosa, melaporkan pada senat bahwa pihaknya tengah melakukan penyelidikan terkait pembunuhan bersenjata terhadap 712 orang yang dibunuh di luar hukum. Pembunuhan ini terkait dari mereka yang diduga terlibat dalam kartel narkoba dalam Operation Double Barrel yang diluncurkan sejak 1 Juli, sehari setelah Duterte menjabat sebagai kepala negara. Sementara untuk 1.067 orang lainnya ia merasa tidak bertanggung jawab dan mengutuk keras. Ia menduga pembunuhan yang lain itu dilakukan sendiri oleh sesama sindikat narkoba yang ingin menguasai daerah lawannya.

Menariknya, meski membuat kebijakan ekstra yudisial yang membunuh banyak orang, Presiden Duterte malah mendapatkan banyak dukungan di dalam negeri. Sejak menjabat menjadi presiden Filipina, setiap hari setidaknya ada 13 orang yang mati terbunuh oleh sesama preman atau pihak kepolisian yang sedang gencar melancarkan perang terhadap sindikat narkotika. Kebijakan ini membuat Duterte populer, yang tergambar dari approval rating Duterte di Senat Filipina mencapai 91 persen, tertinggi dalam sejarah Filipina.

Filipina hari ini memang mirip dengan negara tanpa hukum. Di kawasan kumuh yang dulunya dikenal sebagai daerah kriminal dan kejahatan narkotika, hampir setiap hari ditemukan orang yang dibunuh. Beberapa korban pembunuhan dilengkapi tanda yang bertuliskan “Jangan ikuti aku, aku seorang bromocorah,”. Foto-foto korban pembunuhan ini bermunculan di berbagai media internasional. Korban bergeletak dengan tubuh berdarah karena peluru, kawasan kotor, dan miskin.

Pihak Kepolisian Filipina melaporkan bahwa setelah tujuh minggu pemberlakuan kebijakan perang Duterte, ada 673.978 orang yang terkait tindak pidana narkotika menyerahkan diri. Sebagian besar mereka yang menyerahkan diri merasa takut akan dibunuh dalam perang ini. Beberapa yang menyerahkan diri merupakan pejabat di kalangan pemerintahan, kepolisian, dan militer. Sementara di luar angka itu ada 11.784 pecandu dan pengedar kecil yang ditangkap.

Duterte sebelumnya adalah seorang Wali Kota Davao Filipina. Maret lalu saat kampanye presiden ia mengeluarkan slogan “Bantai Habis” kepada penjahat dan bandar narkoba. Ia mengaku jika terpilih sebagai presiden maka tak akan memberi ampun kepada pengendar narkoba. Duterte bahkan secara terbuka mengumumkan nama-nama pejabat yang diduga terkait dengan bisnis narkoba. Komitmen seriusnya ini membuat banyak rakyat Filipina mendukung secara buta.

Masyarakat Filipina merayakan penjagalan ini sebagai upaya melawan kejahatan yang selama ini tidak tersentuh. Kepolisian Nasional Filipina mengklaim bahwa angka kejahatan di negara itu turun 31 persen dibanding tahun lalu. Pada Juli tahun lalu ada 17.105 kasus kejahatan, namun sejak Duterte memberlakukan kebijakan ekstra yudisial, turun menjadi 11.800 kasus. Kejahatan yang mengalami penurunan paling signifikan adalah kejahatan pemerkosaan, perampokan, pencurian mobil, dan penyerangan. Di sisi lain, kasus pembunuhan meningkat, kasus ini sayangnya jika dilakukan oleh polisi yang sedang melakukan perang terhadap narkoba tidak akan diusut atau diberikan impunitas.

Kebijakan berdarah serupa juga pernah diterapkan di Indonesia. Pada kurun waktu 1962 sampai 1985 Indonesia digemparkan dengan fenomena Petrus atau Penembak Misterius. Petrus ini merupakan operasi ekstra judisial yang diperintahkan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Republik Indonesia. Operasi ini dikhususkan untuk mengurangi angka kejahatan yang dilakukan oleh preman di seluruh Indonesia. Pelakunya tidak hanya dari aparat negara namun juga pelaku individu yang bertindak secara aktif dan disebut sebagai "operator".

Berdasarkan laporan dari Tim Ad Hoc Komnas HAM diperkirakan korban akibat Petrus mencapai 2.000 orang. Sementara berdasarkan laporan penelitian David Bourchier yang berjudul "Crime, Law, and State Authority in Indonesia" pada 1990, diperkirakan korban petrus mencapai 10.000 orang. Angka itu termasuk korban terbunuh, disiksa, atau hilang sampai hari ini. Pola pembunuhan preman di Indonesia ini sangat mirip dengan pola pembunuhan bandar atau pengedar narkoba di Filipina.

Jika di Filipina korban yang dibunuh diberi tanda sebagai pengedar, di Indonesia di atas tubuh mayat korban petrus diberikan uang Rp10 ribu untuk biaya penguburan mayat. Operasi ini dilakukan oleh aparat negara dengan sepengetahuan pejabat tinggi. Operasi ini pula dilakukan untuk upaya pengendalian ketertiban masyarakat. Di Filipina target utamanya adalah pengedar atau bandar narkoba, di Indonesia target utamanya adalah preman yang identik dengan tato.

Sejauh ini komitmen Duterte melawan narkoba didukung seluruh elemen masyarakat dan pejabat. Dalam kepolisian sendiri mulai ada pengawasan dan penindakan terkait aparat yang terlibat. Kepolisian Filipina merilis bahwa sebelum proyek perang Double Barrel ini dilaksanakan, mereka telah menguji pihak polisi yang akan ikut serta. Hasilnya 130 personel polisi terbukti positif dalam tes yang dilakukan secara mendadak. Sementara itu ada 301 pejabat polisi yang diawasi oleh intelijen, 20 di antaranya ditangkap, enam telah dituntut secara administratif, tujuh orang dituntut secara hukum dan 11 lainnya terbunuh saat operasi penangkapan. Sisanya dimutasi agar tak bisa melanjutkan keterlibatan mereka dalam bisnis narkoba.

Meski angka kejahatan menurun dan banyak penjahat yang menyerahkan diri, Duterte banyak mendapatkan kritik dari kelompok pejuang HAM. Kebijakan ekstra judisial ini membuat pemerintahan Duterte seolah menjadi kebal terhadap hukum. Duterte mengancam akan menutup DPR apabila mereka menghalangi rencananya. Duterte juga mengancam akan memberlakukan darurat militer ketika Jaksa Agung mengkritik kebijakannya terhadap perang Double Barrel. Awak media juga pernah mengalami ancaman secara tersirat ketika ia berkata bahwa konstitusi Filipina tidak bisa melindungi wartawan yang membuat orang lain dihina.

Filipina kemungkinan akan mendapatkan kecaman atau bahkan mungkin embargo ekonomi terkait kebijakan brutalnya. Negara-negara yang peduli terhadap penegakan hak asasi manusia seperti Amerika Serikat, Australia dan Uni Eropa sudah mengeluarkan keberatan atas sikap Duterte. Peter Perfecto, Executive Director Makati Business Club, khawatir jika Filipina akan mengalami krisis ekonomi jika ada protes dari negara-negara lain.

Baru-baru ini Duterte mengancam akan membuat Filipina keluar dari PBB apabila ia terus dikritik terkait pembunuhan pengedar narkoba. Duterte menyebut PBB sebagai organisasi dungu karena mengintervensi kebijakan negaranya. Duterte juga menyebut perwakilan PBB Agnes Callamard boleh datang ke Filipina untuk mencari tahu tentang penjagalan masal tertuduh bandar narkoba di negaranya. Perwakilan hukum Duterte, Salvador Panelo, mengatakan bahwa negaranya tak punya apapun untuk disembunyikan.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Politik
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti