tirto.id - Wakil Presiden Ma'ruf Amin bersyukur Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sistem pemilu proporsional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dengan putusan MK itu maka Pemilihan Legislatif 2024 tetap menggunakan skema proporsional terbuka.
"Kalau saya bersyukur tentu, sebab kita kan ingin tidak ada gejolak dalam menghadapi pemilu," ujar Wapres di sela kunjungan kerja di Samarkand, Uzbekistan, Kamis (15/6) malam, dikutip dari Antara.
Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu menyebut putusan MK mengakhiri gejolak menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Sebab, kata dia, mayoritas kalangan menghendaki pemilu menggunakan skema proporsional terbuka.
"Saya kira itu artinya (putusan MK) tidak mengubah, ya. Dan itu kan yang banyak saya baca di koran dikehendaki masyarakat dan juga partai-partai peserta pemilu juga ingin (sistem) terbuka. Dengan diputuskan begitu maka diperkirakan tidak ada reaksi, tidak ada gejolak. Kalau diputuskan yang lain mungkin akan ada protes, ada gejolak," ujarnya.
Lebih lanjut, Ma'ruf menilai putusan MK tersebut menambah keadaan yang lebih kondusif dalam menghadapi Pemilu 2024.
Sebagai informasi, majelis hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan para pemohon pada sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, Kamis 15 Juni 2023.
Dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa para pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.
Menurut mahkamah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil para pemohon adalah sesuatu yang berlebihan.
"Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon," tutur Saldi Isra.
Sedangkan terkait dengan kekhawatiran calon anggota DPR/DPRD yang tidak sesuai dengan ideologi partai, Saldi Isra menjelaskan bahwa partai politik memiliki peran sentral dalam memilih calon yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan.
Editor: Fahreza Rizky