tirto.id - Seiring bertumbuh dewasa, kita mungkin mulai menyadari pernah dibesarkan oleh orang tua dengan cara yang ternyata meninggalkan rasa kecewa berkepanjangan bahkan trauma.
Jesslyn, misalnya. Beberapa tahun belakangan, Jesslyn tersadar bahwa sebagian kesulitan yang ia hadapi sekarang mustahil dipisahkan dari keputusan-keputusan orang tuanya di masa lalu.
Ia masih ingat betul saat meminta izin untuk masuk ke jurusan perkuliahan yang disukai. Orang tuanya melarang dengan alasan jurusan tersebut kurang menjanjikan sehingga tidak akan membantu Jesslyn mendapatkan pekerjaan ideal.
Meski Jesslyn berhasil merampungkan studinya, bertahun-tahun kemudian ia merasa periode di masa mudanya itu turut berperan menciptakan kebingungan dalam perjalanan kariernya.
"Aku merasa karierku sekarang tidak terarah, bahkan sampai sekarang bingung sebenarnya minatku apa," katanya.
"Coba kalau dulu aku dapat arahan yang lebih jelas dari orang tua atau diperbolehkan masuk jurusan yang sesuai dengan keinginan, ceritanya sekarang mungkin berbeda," tambahnya lagi.
Andien juga merasakan kekesalan yang mirip.
Kendati tidak pernah kekurangan apa pun semasa kecilnya, ia merasa ada pengalaman di masa kecil yang membuatnya kurang percaya diri, tidak mandiri, dan sulit mengambil keputusan.
"Pas kecil, aku sering dilarang saat ingin mencoba membantu orang tua entah itu di dapur atau kalau ada aktivitas lain," ungkap Andien.
Seperti Jesslyn dan Andien, beberapa dari kita mungkin menyimpan luka atas perlakuan keliru orang tua, seperti yang ayah yang absen, ibu yang terlalu menuntut, atau orang tua yang suka meremehkan usaha anak-anaknya.
Nyatanya, menjadi orang tua juga merupakan pengalaman baru bagi semua orang.
Demikian pernah disampaikan psikoterapis Melissa Stanger di New York, dikutip dari Business Insider.
Maka dari itu, melakukan kesalahan sebagai orang tua tentu manusiawi. Pertanyaannya, sampai batas mana kesalahan ini dapat diterima dan dimaklumi oleh anak?
Dalam banyak kasus, orang tua mungkin tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan ternyata meninggalkan efek mendalam pada anak-anak.
Kondisi tersebut bisa terjadi karena adanya pengabaian dan penelantaran dari orang tua sehingga anak kurang mendapat perhatian, pengawasan, dan kasih sayang baik secara fisik maupun emosi.
Misalnya, orang tua sibuk bekerja sehingga tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi dan memberikan sentuhan kasih sayang kepada anak.
Selain itu, ada pula orang tua yang kesulitan membagi perhatian kepada masing-masing anak sehingga ada anak yang merasa dibedakan.
Ketika kita menyadari berbagai kekecewaan itu ketika dewasa, tak jarang reaksi yang muncul melibatkan segudang emosi negatif yang bikin marah atau jengkel.
Bukan tidak mungkin, pada titik tertentu, kekecewaan tersebut melahirkan gesekan konflik atau hubungan yang tegang dengan orang tua.
Pada waktu sama, berdamai dengan luka masa kecil dan memaafkan orang tua tentu tidak mudah dilakukan.
Dilansir dari Psychology Today, Yvonne Castañeda, MSW, LICSW, penulis memoar Pork Belly Tacos with a Side of Anxiety (2022) mengungkapkan alasan mengapa memaafkan orang tua begitu sulit.
Menurutnya, beberapa orang tidak akan dapat memaafkan orang tuanya sebelum pihak orang tua mau mengakui bahwa merekalah penyebab rasa luka itu.
Castañeda berpendapat, hal tersebut berkaitan dengan rasa keadilan: mengapa harus memaafkan orang tua jika mereka tidak meminta maaf terlebih dahulu?
Selain itu, orang tua acap kali sulit menyadari bahwa perilakunya berdampak pada penderitaan si anak. Argumen mereka biasanya berangkat dari klaim bahwa mereka telah kerja keras mengorbankan seluruh hidupnya demi masa kecil si anak.
Yang muncul kemudian adalah penyangkalan dari orang tua, sebuah reaksi lumrah yang membuat pihak anak semakin sulit memaafkan mereka.
Psikolog yang berpraktik di RS Telogorejo Semarang ini melanjutkan, "Untuk menyelesaikan konflik dan kekecewaan terhadap orang tua, idealnya diperlukan pertemuan dan komunikasi yang tepat dan konstruktif sehingga hubungan baik dapat kembali terjalin."
Namun, apabila kita belum siap untuk menyampaikannya atau merasa orang tua akan merespons dengan negatif, tidak ada salahnya untuk menundanya.
Di satu sisi, menahan perasaan sendiri membuat kita tidak tenang dan relasi dengan orang tua semakin berjarak.
"Perlu waktu untuk menyampaikan kekecewaan tersebut, mengingat ini bukan hal mudah bagi anak untuk menjadi lebih asertif, terlebih apabila komunikasi dengan orang tua tidak terbangun dengan baik sejak kecil," terang Woro.
Lalu, apa yang dapat kamu lakukan jika belum siap menyampaikan kekecewaanmu secara langsung pada orang tua?
Terkait ini, Woro menyarankan untuk memulainya dari diri sendiri.
Pertama, kelola emosi, perilaku, dan pikiran ketika mendapati hal-hal tidak menyenangkan yang berasal dari orang tua.
Caranya dengan menciptakan komunikasi yang baik, respons secara tenang, dan tidak reaktif.
Saran kedua dari Woro adalah membangun rasa empati terhadap orang tua.
Maka kamu akan paham, dan perlahan-lahan dapat menerima mengapa orang tua kita bersikap seperti sekarang dan mengapa mereka membesarkan kita dengan cara tertentu.
Meski begitu, seperti ditekankan oleh Castañeda, mengetahui masa lalu orang tua bukan berarti kemudian menjadikan pengalaman dan emosimu tidak valid.
Masa lalu orang tua cukup diterima sebagai bagian penting dari proses penyembuhan luka dan kekecewaanmu.
Nah, apabila kamu sudah siap untuk menyampaikan kekecewaanmu pada orang tua, fokuslah pada upaya berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan yang selama ini dipendam, alih-alih berusaha mengendalikan atau mengharapkan perubahan perilaku dari orang tua.
Ini penting agar kamu tidak merasa kecewa jika perubahan yang kamu harapkan tidak terjadi.
"Ada baiknya kita menyelesaikan emosi kita terhadap orang tua daripada lari dan memutuskan hubungan," papar Woro.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kamu tahu bahwa dirimu sudah pulih dan mampu memaafkan? Ini akan terlihat dari pembawaanmu yang lebih tenang dan tidak terpancing emosi saat mengingat pengalaman mengecewakan akibat perilaku orang tua.
Di balik upaya-upaya di atas, Woro menambahkan, tidak ada salahnya untuk membuat boundaries—batasan—apabila kita merasa orang tua masih menunjukkan perlakuan yang tidak menyenangkan secara verbal maupun fisik.
Kamu dapat mempertimbangkan untuk membatasi frekuensi pertemuan jadi secukupnya saja. Imbangi keseharianmu dengan aktivitas-aktivitas di luar rumah, sebut di antaranya melakukan hobi seperti olahraga atau bersosialisasi dengan teman dan kerabat.
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































