tirto.id - “Aku menuntut keadilan!” seru Calabos.
“Keadilan, atau dendam?” tanya sang ibu, Thetis.
Dialog dari film epos fantasi klasik Clash of the Titans(1981) tersebut menceritakan tentang Thetis, seorang nimfa laut di mitologi Yunani, dalam mencari keadilan bagi anaknya yang dikutuk menjadi monster buruk rupa oleh Zeus.
Meski sudah mencoba balas dendam pada pihak-pihak yang dianggap pantas jadi sasaran, upaya Thetis dan Calabos tidak berbuah manis. Di akhir cerita, mereka harus mengakui kekalahan.
Tak bisa dimungkiri, dendam merupakan reaksi alamiah yang acap kali muncul tatkala kita dilukai. Sekadar membayangkannya saja terasa memuaskan, seolah-olah menguatkan dan memberdayakan kita yang tengah terpuruk. Pertanyaannya, seberapa efektif dampaknya untuk jangka panjang?
"Segala jalan yang ditempuh untuk membalas dendam mungkin akan berujung pada keadilan, mungkin juga tidak, tetapi yang pasti akan memperpanjang penderitaan dan rasa sakit hati," tulis psikolog klinis Lori S. Katz, PhD dalam artikelnya di Psychology Today.
Mengapa bisa begitu?
Selain itu, tindakan pembalasan yang tujuannya “sekadar pelajaran” bisa jadi direspons dengan pembalasan lagi. Akibatnya, kita terjerumus dalam jurang pembalasan tak berujung. Sampai kapan pun, kita mungkin akan sulit melepas ikatan atau memori buruk dengan orang yang pertama menyakiti kita.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan ketika tebersit pikiran untuk membalas dendam?
Psikolog Karyn Hall, PhD menyarankan untuk mengelola hasrat balas dendam dengan mengerahkan energi pada penyembuhan mental diri sendiri. Bagaimana caranya?
Pertama-tama, sadari bahwa kepercayaan yang kita berikan pada orang lain telah dilanggar sehingga lahirlah kekecewaan dan keinginan balas dendam.
Dengan bersikap mindful dalam menerima kenyataan tersebut, kita akan mulai menyadari bahwa dendam tidak pernah bisa mengembalikan kepercayaan yang sudah rusak atau menegakkan keadilan bagi masing-masing pihak.
Dari situlah, emosi menjadi lebih tenang. Alih-alih bertindak impulsif, kita dapat berpikir lebih rasional sebelum mengambil keputusan apa pun.
Langkah lain untuk dipertimbangkan adalah membuka dialog dengan orang yang telah menyakiti kita.
Mungkin saja, kegaduhan ini terjadi karena kesalahpahaman atau miskomunikasi semata. Dengan menyampaikan pandangan dan isi hati secara jujur pada orang yang menyakiti kita, siapa tahu, semakin terbuka peluang padanya untuk meminta maaf pada kita.
Namun, penting diingat, ada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol atau di luar kendali kita. Jika sudah begitu, cobalah untuk melepaskannya.
"Belajarlah untuk menerima bahwa akan ada orang-orang yang mengkhianati kepercayaanmu. Itu adalah cerminan diri mereka, alih-alih dirimu. Responsmu terhadap hal itulah yang merupakan cerminan dirimu sendiri,” papar Hall.
Selain fokus pada penyembuhan mental diri, hasrat balas dendam juga dapat dialihkan menjadi kesibukan yang produktif, termasuk yang berkaitan dengan pertumbuhan atau perkembangan diri.
Pakar komunikasi Vanessa Van Edwards dalam tulisannya di Science of Peoplemengamini “sukses” sebagai balas dendam terbaik. Kerahkan amarah ke tujuan hidup baru yang memungkinkan kita bertumbuh menjadi versi diri lebih baik.
Saran lain dari Van Edwards, berolahraga. Pukul karung tinju atau lari di treadmill sampai badan pegal-pegal. Coba lakukan aktivitas olahraga yang tidak kita gemari selama 20 menit sembari membayangkan “musuh” kita remuk redam oleh setiap gerakan kita.
Meski simpel, tujuan-tujuan baru tersebut dapat mengaktifkan pusat penghargaan (reward) di otak kita. Pikiran untuk membalas dendam orang-orang yang menyakiti kita akan terkesan sepele. Kita pun sadar, energi kita terlalu berharga untuk dicurahkan kepada mereka.
Dikutip dari Vox, dosen psikologi University of Calgary, Susan Boon, tidak menampik bahwa tindakan pembalasan sehari-hari yang terkesan sepele dapat menjadi pelajaran efektif daripada sekadar kata-kata.
Misalnya, dalam konteks hubungan asmara, pasangan kita berkali-kali lupa mengembalikan handuk atau membuang sampah pada tempatnya.
Sebagai pembalasan, kita mungkin akan mendiamkannya atau memberikan “silent treatment”. Tentu reaksi tersebut tidak mencerminkan dinamika relasi yang sehat, tetapi pada satu titik cukup efektif untuk menyadarkan pasangan bahwa kita sedang kesal pada mereka.
“Jika seseorang sudah berulang kali berbuat salah, dan kalian terus memaafkannya tanpa ada konsekuensi apa pun, bagaimana mungkin orang itu bisa mengerti bahwa perilakunya adalah masalah buat kalian, jika kalian tidak pernah menyatakannya dengan jelas?” ujar Boon.
Meski begitu, bukan berarti pembalasan dendam adalah solusi.
Menurut Boon, memaafkan bukan berarti membenarkan kesalahan pelaku, melainkan sebuah bentuk penegasan diri bahwa kita menolak terikat pada luka yang telah ditimbulkan oleh mereka yang menyakiti kita.
Namun, perlu diingat, apabila konflik yang berlangsung terlampau pelik atau di luar kewajaran, jangan segan-segan untuk membicarakannya dengan teman yang dapat dipercaya atau berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental yang dapat mengevaluasi situasi secara objektif.
Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan untuk menavigasi amarah terhadap orang yang pernah melukaimu?
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































